Harga Kapas Dunia Cetak Rekor Tertinggi 10 Tahun, Apa Dampaknya?

Mengetahui dampak terhadap pengecer dan konsumen pada kenaikan harga pasar yang meroket tinggi setelah 1 dekade lalu.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Okt 2021, 11:50 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2021, 11:50 WIB
Ilustrasi ladang kapas.
Ilustrasi ladang kapas. (Source: AP)

Liputan6.com, Jakarta Harga kapas kembali melonjak setelah 1 dekade berlalu. Chief Executive Levi Strauss Chip (Levi’s) Bergh mengatakan lonjakan harga merupaka tertinggi dalam sejarah, mencapai USD 2 per pon (Rp 28.418/pon).

Harga kapas naik diakibatkan meningkatnya permintaan tekstil setelah pemulihan ekonomi dari krisis keuangan global.

Sementara itu, India sebagai negara pengekspor utama kapas membatasi pengiriman untuk membantu perusahaan dan mitra domestiknya.

“Harga kaos katun naik sekitar USD 1,5 (Rp 21.314) menjadi USD 2 (Rp 28.418),” jelas Kepala Ekonom National Retail Federation Jack Kleinhenz kepada CNBC, Senin (11/10/2021).

Tentunya kenaikan tersebut berdampak pada konsumen sekaligus memberikan keuntungan bagi perusahaan.  Bergh menilai inflasi harga kapas saat ini tidak akan terlalu berpengaruh pada industri.

Produsen dan pengecer memiliki kekuatan harga. Perusahaan akan dapat menanggung biaya yang lebih tinggi tanpa merusak permintaan dari konsumen.

Alasan tersebut menjadi penguat bahwa kenaikan yang terjadi tidak akan menghambat proses transaksi yang berlangsung.

“Situasinya sangat berbeda hari-hari ini. Kami telah mengambil harga selama 12 bulan terakhir dan hal itu dapat bertahan. Penetapan harga yang terjadi akibat beberapa tekanan inflasi sempat memukul perusahaan,” papar Bergh.

Harga kapas melonjak tercatat pada Jumat kemarin yang berada pada angka USD 1,16 (Rp16.482) per pon sejak 7 Juli 2011. Harga komoditas juga naik 6 persen minggu ini dan telah naik 47 persen sejak memasuki 2021.

Analis pasar menemukan bahwa keuntungan sedang diintensifikasikan atau diprediksi lebih jauh terhadap para pedagang yang ingin mempersiapkan penutupan dari harga jual yang mereka berikan di pasar.

Pemerintah AS pada masa jabatan Trump pernah memblokir kegiatan impor kapas dan produk kapas lainnya dari wilayah Xinjiang Barat China karena adanya kekhawatiran menggunakan tenaga kerja paksa dari penduduk etnis Uighur.

Kebijakan tersebut tetap diberlakukan saat pergantian jabatan oleh Biden. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, AS memaksa perusahaan-perusahaan China untuk membeli kapas mereka, lalu memproduksi barang dengan kapas tersebut di China dan kembali menjualnya ke AS.

Perubahan cuaca yang ekstrim, seperti kekeringan telah merusak seluruh tanaman kapas di AS, yang juga menjadi pengekspor komoditas terbesar di dunia. Sementara itu, di India justru kekurangan hujan tipe monsun yang dapat merusak produksi kapas.

Kerusakan dan penurunan produksi ini juga telah menurunkan saham HanesBrands⎼produsen pakaian pakaian dalam dan kaos katun terkenal. Sahamnya anjlok 7 persen selama seminggu terakhir hingga ditutup pada skor USD 16,23 (Rp230.618) setelah turun lagi 5 persen.

 

 

Kekuatan Harga Pasar

Panen Kapas di Hebei
Mesin pemetik kapas beroperasi di sebuah ladang di Wangdaozhai, Kota Nangong, Provinsi Hebei, China utara, pada 27 Oktober 2020. (Xinhua/Mu Yu)

Michael Binetti sebagai analis Credit Suisse menyoroti kekhawatiran atau penurunan beberapa saham dari perusahaan ritel akibat kenaikan harga kapas yang cukup tinggi.

“Hanya 2 persen dari harga pokok penjualan Hanes Brands berasal dari pembelian kapas berlangsung. Kembali pada 2012 lalu, angka itu lebih tinggi sekitar 6 persen,” papar Binetti.

Mengingat lonjakan harga kapa tertinggi terjadi pada 2011, HanesBrands pernah menaikkan harga dari berbagai barang produksi kapas dengan persentase dua digit, tiga kali lipatnya agar dapat mengimbangi inflasi.

Keuntungan yang diterima menyusut dari semua biaya yang harus ditanggung. Meskipun demikian, perusahaan mempertahankan sebagian harga yang ada dari hasil kenaikan tersebut. Keputusan tersebut membuahkan perusahaan berada posisi yang lebih sehat dan keuntungan yang lebih kuat.

Sementara itu, pengecer pakaian telah mencapai kekuatan pada penetapan harga secara proaktif untuk menghindari potongan harga atau menjual barang karena kelebihan persediaan/stok. Pandemi COVID-19 telah menjadi batu sandungan bagi perusahaan untuk mencari untung.

Kemacetan dari rantai pasokan yang sedang berlangsung juga berperan untuk membantu memperketat persediaan. Adanya dinamika ini telah mendorong pengeluaran dari berbagai biaya sehingga bisnis yang menaikkan harga tetap membuat konsumen ingin membeli barang.

“Kamu pikir inventaris akan tetap rasional, margin akan tetap kuat, dan pengecer dapat mendorong kenaikan harga yang lebih besar dan konsisten dibanding apa yang sudah mereka lakukan selama satu dekade belakang,” tegas Binetti.

Menurut analis UBS Robert Samuels, pengecer diperkirakan akan menjadi pihak paling terpukul akibat kenaikan harga komoditas, terutama yang berfokus pada penjualan denim. Kapa menyumbang lebih dari 90 persen bahan baku untuk membuat jin dan produk denim lainnya.

 

 

Lonjakan Level Tertinggi

Ilustrasi celana jeans
Ilustrasi celana jeans (Foto: Unsplash)

Merek Levis, seperti yang diketahui memproduksi produk denim dan jin sebagai produk utama dari perusahaan. Kenaikan ini sempat membuat takut akan bisnis yang dijalankan.

Dikabarkan bahwa perusahaan telah melakukan negosiasi sebagian besar biaya produknya hingga kuartal I di tahun dengan dengan tingkat inflasi yang sangat rendah. Untuk kuartal II 2021, diharapkan dapat mengalami peningkatan.

Pihaknya berencana untuk mengimbangi kenaikan yang ada dengan penetapan harga yang sudah diputuskan. Upaya lain yang dilakukan adalah mengalihkan bisnisnya dari grosir ke basis campuran yang memiliki pangsa penjualan langsung ke konsumen yang dapat terus meningkat.

Permintaan yang cukup tinggi di kalangan konsumen membuat perusahaan dapat menjual produk lebih banyak dengan harga normal, tanpa harus dipotong.

“Kapas menyumbang sekitar 20 persen dari biaya untuk membuat celana jin Levis⎼setiap celana mengandung sekitar dua pon kapas,” ujar Chief Financial Officer Harmit Singh, Senin (11/10/2021).

Perusahaan jin ini menjadi yang pertama untuk memberikan komentar tentang lonjakan harga kapas. Sementara yang lain baru memberikan respons dan melaporkan hasil fiskal dari kuartal ketiga setelah beberapa minggu ke depan.

“Setelah kenaikan biaya kapas, mulai muncul laporan laba rugi dari pengecer, mengingat adanya kontrak dari waktu pembelian kapas yang dilakukan,” jelas analis Goldman Sachs.

Sebenarnya tidak hanya Levis saja perusahaan yang terkena dampak dari kenaikan ini, analis Goldman Sachs menyatakan perusahaan seperti Ralph Lauren, Gap Inc., Kontoor Brands, dan PVH pemilik Calvin Klein juga terdampak.

Untuk saham Kontoor Brands, perusahaan yang memiliki jin Wrangler dan Lee turun 6 persen minggu lalu, sedangkan PVH, Gap, dan Ralph Lauren masing-masing turun kurang dari 2 persen minggu lalu.

Reporter: Caroline Saskia

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya