Harga Emas Merosot, Imbas Data Tingkat Pengangguran di AS Turun

Harga emas memperpanjang kerugian hingga merosot hampir 1 persen pada hari Jumat

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 06 Agu 2022, 07:30 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2022, 07:30 WIB
Ilustrasi Harga Emas Hari Ini di Dunia. Foto: DAVID GRAY | AFP
Ilustrasi Harga Emas Hari Ini di Dunia. Foto: DAVID GRAY | AFP

Liputan6.com, Jakarta Harga emas memperpanjang kerugian hingga merosot hampir 1 persen pada hari Jumat karena laporan pekerjaan AS yang menggembirakan. Ini sekaligus meredakan kekhawatiran resesi dan meningkatkan harapan Federal Reserve akan tetap pada jalur pengetatan agresifnya.

Dikutip dari CNBC, Sabtu (6/8/2022) harga emas di pasa spot gold turun 0,92 persen menjadi USD 1.774,97 per ounce. Sementara emas berjangka AS turun 0,87 persen menjadi USD 1.791,1.

“Emas baru-baru ini reli di tengah pemikiran bahwa The Fed akan beralih dari hawkish ke dovish. Tetapi data pekerjaan menunjukkan ekonomi AS kuat dan ini dapat mendorong Fed untuk lebih agresif, yang bukan merupakan cerita yang baik untuk emas,” kata Bart Melek, kepala strategi komoditas di TD Securities.

Lingkungan suku bunga tinggi merugikan emas karena tidak menghasilkan bunga.

Pengusaha AS mempekerjakan jauh lebih banyak pekerja dari yang diharapkan pada bulan Juli, dengan tingkat pengangguran turun ke level terendah sebelum pandemi sebesar 3,5 persen.

Gambaran ketenagakerjaan yang positif memberi The Fed ruang lingkup lebih lanjut untuk kenaikan suku bunga di masa depan tanpa risiko membawa ekonomi ke dalam resesi, dan kenaikan emas kemungkinan akan dibatasi pada USD 1.800, Rupert Rowling, analis pasar di Kinesis Money, mengatakan dalam sebuah catatan.

 


Penguatan Dolar AS

Harga Emas Terus Bersinar di Tahun 2020, Penjualan Emas Antam Capai Rp 6,41 T
Untuk memperkuat nilai tambah produk emas, Antam terus melakukan inovasi produk dan penjualan.

Indeks dolar naik 1,1 persen, membuat emas lebih mahal untuk pembeli luar negeri, sementara imbal hasil Treasury AS memperpanjang kenaikannya setelah data tersebut.

Di sisi fisik, premi emas di China naik minggu ini karena permintaan safe-haven yang didorong oleh meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat atas Taiwan.

“Jika ada pop-up dalam masalah geo-politik, maka ini akan membantu emas, tetapi itu tidak akan menjadi reli yang berkelanjutan ... Katalisator berikutnya untuk harga emas adalah cetakan CPI AS yang keluar minggu depan,” tambah Melek mengacu pada harga konsumen.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Sri Mulyani: AS hingga Eropa Dilanda Tsunami Inflasi

Indeks harga konsumen Amerika Serikat
Seseorang mengendarai skuter melewati toko pencairan cek dan pinjaman gaji di pusat kota Los Angeles, California, Jumat (11/3/2022). Laju inflasi AS pada Februari 2022 melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun. Ini didorong naiknya harga bensin, makanan dan perumahan. (Patrick T. FALLON/AFP)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan diagnosis terkait tsunami inflasi yang melanda Amerika Serikat hingga negara-negara maju di kawasan Benua Eropa dalam beberapa waktu terakhir.

Bendahara Negara ini mengatakan, faktor pertama penyabab kencangnya laju inflasi yang melanda Amerika Serikat dan sejumlah negara maju di Eropa ialah gangguan rantai pasok (supply chain disrupstion) akibat pandemi Covid-19.

"Kalau kita lihat fenomena sekarang apa yang terjadi di Amerika Serikat, di negara-negara Eropa kenapa terjadi over heating inflasi?. Pertama, diagnosanya adalah supply chain disrupstion. Jadi demand side, jauh lebih cepet dari supply recovery," ujar Sri Mulyani acara Soft Launching Buku: Keeping Indonesia Safe from COVID 19 Pandemic di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (5/8).

Sri Mulyani menambahkan, meningkatnya laju inflasi yang melanda negara-negara maju di berbagai belahan dunia saat ini juga dipengaruhi oleh konflk antara Rusia dan Ukraina. Mengingat, dua negara tersebut merupakan produsen komoditas energi dan pangan dunia.

"Kemudian dikombinasikan dengan perang di Ukraina. Makanya terjadi kenaikan harga," bebernya.

Faktor lainnya, Sri Mulyani menyebut kebijakan fiskal maupun moneter yang di oleh pemerintah maupun bank sentral AS dan Eropa lakukan terlalu ekstrim untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi pasca meredanya pandemi Covid-19.

"Entah itu dalam tadi penurunan suku bunga sampai negatif kalau di Eropa, sementara di Amerika 0 persen. Kemudian, mencetak uang dengan membeli bond sampai dari korporat pun di beli, gitu kan kira-kira," terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya