Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menunda penerapan pajak karbon. Rencana awal, pajak karbon akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Ini merupakan penundaan kedua penerapan pajak karbon di tahun ini setelah sebelumnya juga ditunda pada April 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah masih menghitung eaktu yang tepat untuk menerapkan pajak karbon guna mendorong seluruh kegiatan ekonomi rendah emisi.
“Rencana ini perlu terus dikalibrasi ulang, mengingat keadaan masih rentan, pemulihan ekonomi kita masih sangat rapuh, terutama karena pandemi dan sekarang dilanda krisis energi dan pangan,” katanya dikutip dari Belasting.id, Rabu (14/9/2022).
Advertisement
Sri Mulyani menjelaskan instrumen atau kebijakan pajak karbon tidak berdiri sendiri, melainkan terbentuk dari paket kebijakan yang komprehensif.
Itu mencakup aturan pelaksanaan perdagangan karbon, tarif karbon, serta metode pengenaan pajak karbon. Tujuannya sama, untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong lebih banyak ekonomi hijau.
Kendati pajak karbon belum diterapkan, Sri Mulyani menuturkan pemerintah telah menyediakan kebijakan yang relevan untuk menciptakan lingkungan hijau rendah karbon bagi sektor manufaktur.
Dia mencontohkan ada peraturan pemerintah (PP) No.73/2019 stdd PP No.74/2021 yang mengatur tentang pajak penjualan atas barang mewah berupa kendaraan bermotor.
Melalui aturan itu, kata Sri Mulyani, pajak dikenakan pada kendaraan sesuai kapasitas silinder atau CC. Dimana semakin tinggi CC-nya dianggap semakin mewah dan pajak yang dikenakan lebih tinggi.
Menkeu menambahkan tidak hanya menilik kapasitas mesin kendaraan, apabila kendaraan tersebut semakin berpolusi maka tarif yang dikenakan juga semakin tinggi. Berbeda dengan kendaraan listrik atau battery electric vehicle (BEV) yang dikenakan pajak penjualan 0 persen.
Sekedar informasi, penerapan pajak karbon dituangkan dalam UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang seharusnya sudah dieksekusi pada bulan Juni 2022.
Usai PLTU, Pajak Karbon Bakal Menyasar Sektor Transportasi
Pajak karbon yang tadinya bakal diterapkan pada 1 Juli 2022 kembali ditunda untuk kedua kalinya. Pemerintah melihat adanya faktor ketidakpastian di tingkat global dan menimbang kembali kesiapan pelaku industri dalam menerapkan pajak karbon.
Kementerian ESDM menyatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama. Ke depan setelah PLTU batu bara, pajak karbon bakal menyasar ke sektor transportasi.
Menteri ESDM Arifin Tasrif pun meminta masyarakat menggunakan sumber energi bersih untuk kebutuhan transportasi dengan berevolusi dalam kendaraan bermotor. Jika saat ini dominasi kendaraan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan akan didorong bergeser menggunakan sumber energi listrik.
Pergeseran pola transportasi dibutuhkan dalam jangka panjang. Pasalnya, harga energi fosil akan makin mahal dan ditambah potensi bertambahnya beban pajak untuk penggunaan energi tidak terbarukan.
"Inilah evolusi kendaraan bermotor, yang tadinya bermotor bakar menjadi berlistrik. Apabila tetap menggunakan bahan bakar fosil, akan semakin mahal. Belum lagi ke depannya nanti kena pajak karbon. Jadi memang kita harus beralih ke energi bersih terbarukan yang memang sumbernya di alam," katanya dikutip dari Belasting.id, Selasa (6/9/2022).
Oleh karena itu, Menteri ESDM mendukung penuh upaya transisi kendaraan bermotor menjadi berbasis baterai listrik.
Menurutnya, pemerintah membuka kesempatan kepada semua pihak dalam upaya transisi energi ramah lingkungan. Hal tersebu berlaku pada sektor transportasi seperti mobil listrik atau motor listrik.
"Jadi memang siapa pun bisa ikut, bagaimana kita bisa mendorong demand kendaraan listrik," terangnya.
Advertisement
Mengenal Pajak Karbon dan Penerapannya di Negara Lain
Pajak karbon yang tadinya akan mulai berlaku pada 1 Juli 2022 lalu kembali ditunda untuk kedua kalinya. Pemerintah dikabarkan masih melihat adanya faktor ketidakpastian di tingkat global dan menimbang kembali kesiapan pelaku industri sehingga langkah penundaan diambil untuk memastikan implementasi akan berjalan dengan baik.
Pajak karbon sedang diperkenalkan di Indonesia dalam upaya untuk mengendalikan perubahan iklim dan memerangi pemanasan global. Kebijakan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan DPR sejak 7 Oktober 2021.
Kementerian ESDM menyatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama.
Menurut Kementerian Keuangan, dana yang terkumpul dari pajak karbon akan digunakan untuk menambah dana pembangunan, mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta program bantuan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
“Kita perlu mengapresiasi langkah awal pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan pertumbuhan ekonomi hijau, salah satunya dengan adanya penerapan pajak karbon kepada sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca," ungkap CEO Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (23/7/2022).
“Namun penerapan pajak karbon harus dilakukan dengan perencanaan dan kalkulasi yang matang sehingga dapat meminimalisir dampak negatif seperti inflasi. Penerapan pajak karbon dapat menimbulkan potensi kenaikan harga energi seperti BBM maupun listrik dengan bertambahnya ongkos produksi," imbuh Johanna.
Pengertian Pajak Karbon
Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, dan lain - lain.
Pajak karbon bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca sebagai langkah memerangi pemanasan global.
Menerapkan pajak karbon di Indonesia dapat membantu mengurangi pemanasan global dan mengendalikan perubahan iklim, serta meningkatkan pendapatan pajak dan efisiensi energi bagi konsumen dan bisnis.
Jika melihat data Bank Dunia, sampai pertengahan 2021, terdapat sekitar 35 negara yang telah menerapkan pajak karbon. Tiap negara menerapkan kebijakan pajak yang beragam.
Finlandia misalnya, menerapkan tarif pajak berbeda terhadap emisi karbon dari kendaraan dan pembangkit listrik. Kendati bentuknya berbeda-beda, pajak karbon di skala global umumnya dihitung dengan satuan dolar Amerika Serikat per ton CO.
Advertisement
Negara yang Terapkan Pajak Karbon
Selain itu, ada juga negara yang menerapkan pengendalian emisi karbon melalui instrumen kebijakan pasar karbon atau Emission Trading System (ETS) seperti Tiongkok, Korea Selatan, Selandia Baru, beberapa negara anggota Uni Eropa, dan sejumlah negara bagian Amerika Serikat.
Di tahap awal nanti, Indonesia akan mengenakan pajak karbon kepada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, dengan tarif Rp 30.000 atau sekitar USD 2,1 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e).
Mekanismenya dengan menetapkan cap atau batas maksimal emisi untuk tiap sektor dan pajak akan ditetapkan pada emisi di atas cap tersebut, bukan atas keseluruhan emisi.
“Edukasi terkait pentingnya pajak karbon juga perlu diberikan secara berkelanjutan oleh pemerintah, terutama terkait risiko perubahan iklim terhadap masyarakat. Sehingga nantinya, ketika pemerintah menerapkan pajak karbon secara penuh, masyarakat dapat menerima dengan baik.” tutup Johanna.