Pajak Karbon Bisa jadi Sumber Alternatif Pembiayaan EBT di Indonesia

Sebelumnya, pemerintah membatalkan penerapan pajak karbon pada 1 April tahun ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Okt 2022, 15:28 WIB
Diterbitkan 04 Okt 2022, 15:28 WIB
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menyayangkan keputusan pemerintah untuk menunda pelaksanaan pajak karbon pada Juli 2022 lalu. Sebelumnya, pemerintah juga membatalkan penerapan pajak karbon pada 1 April tahun ini.

Padahal, lanjut Bhima, penerapan pajak karbon dapat menjadi alternatif baru pembiayaan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia.

"Pajak karbon itu salah satu cara untuk mengurangi beban pembiayaan (EBT)," kata Bhima dalam acara Polemik Transisi Energi Terbarukan dalam Perpres 112/2022 di Jakarta, Selasa (4/10).

Bhima menambahkan, pajak karbon juga menjadi pelecut bagi industri untuk mengurangi penggunaan sumber energi kotor berbasis sumber daya alam (SDA). Terutama batubara dan minyak bumi.

"Kan selama ini sumber utama listrik yang dipakai industri masih berbasis batubara," ungkapnya.

Untuk itu, pihaknya mempertanyakan sikap pemerintah yang tak kunjung berani menerapkan pajak karbon. Tercatat, pemerintah sudah dua kali membatalkan penerapan pajak karbon di tahun ini.

 

Pemerintah Masih Tunggu Waktu yang Tepat Terapkan Pajak Karbon

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Dalam rangka menurunkan emisi karbon, pemerintah telah membuat instrumen pengenaan pajak bagi kegiatan usaha yang menghasilkan emisi. Sayangnya, instrumen pajak karbon yang seharusnya diterapkan per 1 April 2022 lalu masih belum diimplementasikan.

Alasannya karena ketidakpastian global yang membuat ekonomi belum stabil. Sehingga pemerintah masih menunggu momen yang pas untuk bisa merealisasikan amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

"Karena ketidakpastian ekonomi global, penerapan pajak karbon telah ditunda," kata Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso dalam Webinar CGS-CIMB: Balancing Between Economics Development and Green Policy, Jakarta, Selasa (9/8).

Adi menuturkan saat ini pemerintah masih akan terus memantau kondisi ekonomi dalam negeri. Pemerintah ingin penerapan pajak karbon tidak menjadi beban baru sektor yang menjadi sasaran utama, yakni pembangkit listrik berbasis batubara.

"Kita terus memantau kondisi ekonomi dalam negeri untuk melihat momen yang tepat untuk penerapan pajak karbon nanti," katanya.

Sambil menunggu, pemerintah terus merumuskan peraturan yang diterapkan jika pajak karbon telah berlaku. Sehingga akan makin menyempurnakan pemberlakuannya nanti.

 

Usai PLTU, Pajak Karbon Bakal Menyasar Sektor Transportasi

Dampak Asap Knalpot Kendaraan Bermotor bagi Kesehatan (LanaElcova/shutterstock)
Dampak Asap Knalpot Kendaraan Bermotor bagi Kesehatan (LanaElcova/shutterstock)

Pajak karbon yang tadinya bakal diterapkan pada 1 Juli 2022 kembali ditunda untuk kedua kalinya. Pemerintah melihat adanya faktor ketidakpastian di tingkat global dan menimbang kembali kesiapan pelaku industri dalam menerapkan pajak karbon.

Kementerian ESDM menyatakan bahwa dalam penerapan pajak tersebut, pemerintah akan memfokuskan PLTU berbasis batu bara untuk tahap pertama. Ke depan setelah PLTU batu bara, pajak karbon bakal menyasar ke sektor transportasi.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pun meminta masyarakat menggunakan sumber energi bersih untuk kebutuhan transportasi dengan berevolusi dalam kendaraan bermotor. Jika saat ini dominasi kendaraan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan akan didorong bergeser menggunakan sumber energi listrik.

Pergeseran pola transportasi dibutuhkan dalam jangka panjang. Pasalnya, harga energi fosil akan makin mahal dan ditambah potensi bertambahnya beban pajak untuk penggunaan energi tidak terbarukan.

"Inilah evolusi kendaraan bermotor, yang tadinya bermotor bakar menjadi berlistrik. Apabila tetap menggunakan bahan bakar fosil, akan semakin mahal. Belum lagi ke depannya nanti kena pajak karbon. Jadi memang kita harus beralih ke energi bersih terbarukan yang memang sumbernya di alam," katanya dikutip dari Belasting.id, Selasa (6/9/2022).

Oleh karena itu, Menteri ESDM mendukung penuh upaya transisi kendaraan bermotor menjadi berbasis baterai listrik.

Menurutnya, pemerintah membuka kesempatan kepada semua pihak dalam upaya transisi energi ramah lingkungan. Hal tersebu berlaku pada sektor transportasi seperti mobil listrik atau motor listrik.

"Jadi memang siapa pun bisa ikut, bagaimana kita bisa mendorong demand kendaraan listrik," terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya