Liputan6.com, Jakarta Ombudsman Republik Indonesia menduga terjadinya potensi maladminsitrasi data di Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), terhadap kasus gagal ginjal akut pada anak yang disebabkan oleh obat sirup untuk anak.
Hal itu disampaikan Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam Konferensi Pers dengan tema "Problem Layanan Kesehatan: Kasus Obat Sirup yang Mengancam Gagal Ginjal pada Anak", Selasa (25/10/2022).
“Kami meminta kepada Pemerintah untuk benar menghadirkan data yang valid dan real per bulannya. Setiap bulannya berapa hingga kejadian hari ini, yang konon melihat data per 24 Oktober 2022 kemarin bahwa sudah terjadi kasus ini ke 245 anak-anak yang merupakan pasien dan diantaranya 141 meninggal dunia khususnya bagi mereka yang berusia 5 tahun kebawah,” kata Robert.
Advertisement
Dia menegaskan berapapun angka, nyawa tetaplah sesuatu yang berarti. Hanya memang untuk Ombudsman sangat penting bagi Pemerintah untuk mengakuratkan data yang ada. Tujuannya agar ombudsman dan masyarakat memiliki gambaran yang komprehensif yang lengkap terkait dengan data, sehingga Pemerintah terhindarkan dari dugaan potensi maladministrasi data yang terjadi.
Lebih lanjut, dari sisi stakeholder ombudsman menyoroti secara khusus dua pihak yaitu Kementerian Kesehatan dan BPOM. Kementerian Kesehatan sebagai mana terlihat dalam pembagian kerja memiliki kewenangan dalam hal penyusunan kebijakan, perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan, dan juga pencegahan dan pengendalian penyakit dan pelayanan kesehatan, serta kefarmasian hingga ke alat kesehatan.
Kemudian Kementerian Kesehatan punya fungsi pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan. Menurut Robert, semestinya kasus seperti ini bisa dideteksi jauh-jauh hari.
“Disisi lain kami melihat BPOM juga memiliki kewenangan, sekaligus membawa tanggung jawab disana terkait menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
BPOM juga memiliki fungsi untuk melakukan intelejen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terakhir, BPOM juga memiliki kewenangan pemberian sanksi adminsitratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditujukan bagi perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan.
Maka kedua dua pihak inilah yang menjadi sorotan Ombudsman, nantinya akan menjadi objek penelitian, baik Kementerian Kesehatan dan BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi pokok masing-masing institusi.
“Tetapi dari penggalian informasi dan data sejauh ini, kami paling tidak pada kesimpulan awal ini ada dugaan terjadinya potensi maladminsitrasi dikedua institusi ini,” katanya.
Kelalaian di Kemenkes
Pertama, di Kementerian Kesehatan, Ombudsman melihat potensi maladminsitrasinya ini terlihat pada tidak dimilikinya data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemologi yang kemudian berakibat pada kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus gagal ginjal akut pada anak.
“Jadi, Kementerian kesehatan sesungguhnya hingga pada Agustus kemarin masih belum mengerti dengan masalah yang ada, masih belum punya data dan baru kemudian sadar ini ada kejadian yang darurat, ketika kemudian IDAI menyuplai data yang ada barulah di tracking ke belakang sejak kapan kasus ini mulai terjadi, dna munculnya jumlah-jumlah yang belum tentu akurat,” ujarnya.
Kedua, Ombudsman menilai atas ketiadaan data tersebut, Kemenkes RI tidak dapat melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi gagal ginjal akut pada anak.
Maka, dapat diartikan sebagai ketiadaan keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait kasus gagal ginjal akut pada anak.
Ketiga, ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan, baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan Fasilitas Tingkat Lanjut (FKTL), sehingga menyebabkan belum terpenuhi standar publik (SPP) termasuk pelayanna pemeriksaan laboratorium.
Advertisement
Kelalaian di BPOM
Ombudsman RI menyoroti adanya kelalaian dari BPOM dalam pengawasa pre market yaitu proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan, dan post market control yaitu pengawasan setelah produk beredar.
Robert pun merinci bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh BPOM. Untuk sisi pre market, yaitu pertama, ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (Uji mandiri).
“Mekanisme uji mandiri seolah-olah diberikan kewenangan negara untuk melakukan pengujian tanpa control yang kuat dari BPOM. Yang kami temukan mekanismenya itu justru adlaah uji mandiri dilakukan perusahaan farmasi, kemudian mereka melaporkan ke BPOM. BPOM terkesan pasif,” ujarnya.
Kedua, Ombudsman menilai terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM RI dengan implementasi di lapangan. Ketiga, Ombudsman menilai BPOM RI wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.
Untuk sisi post market, kelalaian yang dilakukan BPOM yaitu, Ombudsman menilai dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM RI pasca pemberian izin edar. Lalu, BPOM RI perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.