Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta sudah membatalkan surat Gubernur Joko Widodo mengenai penangguhan UMP DKI Jakarta 2013. Artinya, Jokowi terbukti sudah kalah di PTUN Jakarta terkait penangguhan UMP DKI 2013.
"Pengadilan secara tidak langsung menolak kebijakan upah murah, tetapi Jokowi dengan arogannya kembali memutuskan kebijakan upah murah di DKI Jakarta 2014 hanya naik Rp 241 ribu per bulan atau mengalami kenaikan 10,97%, kalah dengan daerah-daerah besar lainnya," ujar Said ketika ditemui di Jakarta, Senin (11/11/2013).
Said menjelaskan, jika melihat kenyataan pahit kenaikan UMP DKI Jakarta 2014 hanya sebesar Rp 241 ribu, maka kenaikan upah di DKI Jakarta terbilang minim jika dibandingkan kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia.
Bayangkan saja kota Bekasi mengalami kenaikan 40% atau setara Rp 840 ribu, Surabaya mengalami kenaikan 26,42% atau setara Rp 459 ribu, Kendari mengalami kenaikan 33,33% atau setara Rp 400 ribu.
Sementara itu, Bangka Belitung mengalami kenaikan 29,64% atau setara Rp 375 ribu, Kalimantan Barat mengalami kenaikan 30,19% atau setara Rp 320 ribu dan Subang mengalami kenaikan 50% atau setara Rp 500 ribu.
"Ada apa dengan tidak bergemingnya Jokowi terhadap tuntutan buruh untuk merevisi UMP 2014. Ini yang patut kita duga bersama," tegasnya.
Selain itu, ada dugaan penggunaan dana Corporate Sosial Responsibility (CSR) dari para taipan dan pengusaha besar ikut mempengaruhi keputusan UMP DKI 2014 ini. Persoalan CSR itu tidak cukup hanya tentang transparan dan accountablility saja, tapi imbal balik dari CSR itu secara politik perlu dipertanyakan.
"KNGB dan Forum Buruh DKI Meminta DPRD mempertanyakan ini kepada Gubernur Jokowi dan bila perlu membentuk panja CSR VS UMP DKI 2014 yang tidak pro rakyat kecil dan buruh," ujar Said.
Said juga mempertanyakan selisih UMP 2014 dengan kebutuhan hidup layak/KHL. Menurut Said, patut dicermati dengan UMP Rp 2,441 juta padahal Kebutuhan Hidup Layak/KHL 2014 Rp 2,767 juta. Dari selisih tersebut hampir mencapai Rp 300 ribu, jika dikalikan 300.000 buruh DKI untuk tiap tahunnya bisa mencapai Rp 10,8 triliun per tahun.
"Untuk itu hentikan CSR karena patut diduga berimplikasi negatif terhadap kebijakan upah murah, gunakan APBD DKI untuk membangun DKI," kata Said. (Dis/Ahm)
"Pengadilan secara tidak langsung menolak kebijakan upah murah, tetapi Jokowi dengan arogannya kembali memutuskan kebijakan upah murah di DKI Jakarta 2014 hanya naik Rp 241 ribu per bulan atau mengalami kenaikan 10,97%, kalah dengan daerah-daerah besar lainnya," ujar Said ketika ditemui di Jakarta, Senin (11/11/2013).
Said menjelaskan, jika melihat kenyataan pahit kenaikan UMP DKI Jakarta 2014 hanya sebesar Rp 241 ribu, maka kenaikan upah di DKI Jakarta terbilang minim jika dibandingkan kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia.
Bayangkan saja kota Bekasi mengalami kenaikan 40% atau setara Rp 840 ribu, Surabaya mengalami kenaikan 26,42% atau setara Rp 459 ribu, Kendari mengalami kenaikan 33,33% atau setara Rp 400 ribu.
Sementara itu, Bangka Belitung mengalami kenaikan 29,64% atau setara Rp 375 ribu, Kalimantan Barat mengalami kenaikan 30,19% atau setara Rp 320 ribu dan Subang mengalami kenaikan 50% atau setara Rp 500 ribu.
"Ada apa dengan tidak bergemingnya Jokowi terhadap tuntutan buruh untuk merevisi UMP 2014. Ini yang patut kita duga bersama," tegasnya.
Selain itu, ada dugaan penggunaan dana Corporate Sosial Responsibility (CSR) dari para taipan dan pengusaha besar ikut mempengaruhi keputusan UMP DKI 2014 ini. Persoalan CSR itu tidak cukup hanya tentang transparan dan accountablility saja, tapi imbal balik dari CSR itu secara politik perlu dipertanyakan.
"KNGB dan Forum Buruh DKI Meminta DPRD mempertanyakan ini kepada Gubernur Jokowi dan bila perlu membentuk panja CSR VS UMP DKI 2014 yang tidak pro rakyat kecil dan buruh," ujar Said.
Said juga mempertanyakan selisih UMP 2014 dengan kebutuhan hidup layak/KHL. Menurut Said, patut dicermati dengan UMP Rp 2,441 juta padahal Kebutuhan Hidup Layak/KHL 2014 Rp 2,767 juta. Dari selisih tersebut hampir mencapai Rp 300 ribu, jika dikalikan 300.000 buruh DKI untuk tiap tahunnya bisa mencapai Rp 10,8 triliun per tahun.
"Untuk itu hentikan CSR karena patut diduga berimplikasi negatif terhadap kebijakan upah murah, gunakan APBD DKI untuk membangun DKI," kata Said. (Dis/Ahm)