Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) menolak keputusan Menteri Keuangan tentang kenaikan Bea Keluar (BK) tembaga secara bertahap hingga 60% pada 2016. Keputusan Menkeu tersebut dinilai kurang tepat karena dilakukan secara sepihak.
Pemerintah telah merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.011/2014 pada 11 Januari 2014. Beleid ini mengatur perubahan kedua atas PMK Nomor 75/PMK/011/2012 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan BK dan tarif BK.
Dalam regulasi baru tersebut, bea keluar tembaga naik dari 20% menjadi 25% pada 2014, kemudian naik menjadi 35%-40% pada 2015 serta 50%-60% pada 2016.
Advertisement
“Keputusan itu merupakan keputusan yang tidak inovatif. Ini keliru, jangan sampai APBN defisit dan pengusaha tambang yang merupakan kontributor APBN/APBD jadi korban Kebijakan Menkeu,” kata Ketua ATEI Natsir Mansyur yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah di Jakarta, Rabu 15 Januari 2014.
Natsir menyayangkan langkah Menteri Keuangan Chatib Basri yang menetapkan BK secara sepihak tanpa mengajak bicara pengusaha tambang tembaga, asosiasi, dan Kadin.
“Konsentrat yang diolah kadar minimumnya 15%, berarti sudah ada nilai tambah dari 0,5%-15%. Ini kan sudah melalui proses industri, sudah menggunakan biaya produksi dan investasi tentu ada hitungan industrinya,” terang Natsir.
Dikhawatirkan, lanjut dia, kebijakan tersebut bisa merusak bisnis tambang ke depan. Menurut dia, jika mineral masih mentah/ore boleh dikenakan setinggi-tingginya, namun bila sudah menjadi konsentrat tembaga 15% artinya sudah mineral olahan.
Sebelumnya, ATEI menilai keputusan pemerintah sudah tepat dengan menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2014 serta Permen ESDM No.1/2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian. Kebijakan tersebut mengakomodasi kepentingan pemerintah pusat dan daerah dan pengusaha pemegang IUP, IUP khusus Pengolahan pemurnian dan KK, untuk Mineral tembaga.
Sementara itu terkait penetapan bea keluar, kata Natsir, sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu dengan pelaku usaha karena adanya pertimbangan teknis industri, sehingga pemerintah tidak menetapkannya secara sepihak.
“Jangan asal menetapkan BK, karena semangat PP No.1/2014, Permen ESDM No.1/2014, sudahbaik dan tepat,namun dengan adanya penetapan BK yang tinggi akan merusak bisnis mineral tembaga, PHK terjadi, ekonomi daerah tidak jalan,bisnis penambang tutup,” paparnya.
Natsir mengingatkan, tujuan UU Minerba, PP No.1/2014, dan Permen No.1/2014 itu agar program hilirisasi mineral dapat tercapai, namun jika ada kebijakan yang tidak mendukung terhadap hal itu seperti keputusan Menkeu menetapkan BK yang tinggi, maka justru bisa mencederai semangat hilirisasi itu sendiri.
Seharusnya, kata dia, Menkeu bisa memahami semangat Indonesiaincorporated, kongkritnya seperti yang dilakukan oleh Kementrian ESDM dalam menetapkan kadar minimum dengan melibatkan Kadin, ATEI, IMA, IUP,IUP khusus pengolahan Pemurnian, KK PT Freeport dan PT Newmont. (Ndw)
Baca Juga
Pajak Ekspor Mineral Naik, Freeport Bakal PHK Karyawan?
Larangan Ekspor Bijih Mineral RI Bikin Dunia Panik
RI Larang Ekspor Mineral, Rupiah Kokoh di Level 11 Ribu/US$
ESDM Pastikan Larangan Ekspor Mineral Tetap Berlaku 12 Januari