Liputan6.com, Jakarta Tahun ini, sepak bola menampakkan wajah berbeda-beda. Mei lalu, ketika musim 2014-15 berakhir, wajah sepak bola sungguh menjemukan. Juventus juara Serie-A untuk keempat kalinya secara beruntun, Bayern München di Bundesliga dan Paris Saint-Germain di Ligue 1 menegaskan dominasi dalam tiga musim berturut-turut. Lalu, Barcelona lagi-lagi merengkuh treble winners seperti musim 2008-09.
Memasuki musim baru, wajah sepak bola berubah total. Banyak kejutan yang tersaji. Mulai dari Chelsea, juara bertahan Premier League, yang terpuruk habis-habisan, gawang Manuel Neuer yang dibobol Kevin Volland saat laga baru berjalan sembilan detik pada spieltag ke-2 Bundesliga, hingga Jamie Vardy yang menorehkan rekor baru, selalu mencetak gol dalam 11 laga beruntun di Premier League.
Namun semua kabar menarik itu berakhir pada akhir November lalu, tepatnya Senin (30/11). Wajah membosankan kembali muncul saat FIFA mengumumkan tiga kandidat akhir perebut FIFA Ballon d’Or tahun ini. Dua tempat lagi-lagi diisi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Adapun satu tempat lainnya menjadi milik Neymar, rekan seklub sekaligus calon penerus kebesaran Messi.
Sejak Ballon d’Or dilebur dengan FIFA World Player of The Year pada 2009, Messi dan Ronaldo hampir selalu berada di tiga besar. Anomali hanya terjadi pada 2010 ketika Ronaldo tak berada di sana. Sejak 2009, FIFA Ballon d’Or hanya untuk Messi atau Ronaldo. Empat tahun untuk Messi yakni 2009,2010,2011 dan 2012. Sedangkan dua tahun berikutnya direbut Ronaldo.
Bila ditarik ke sebelum peleburan, dengan pengecualian pada 2010 itu, dominasi Messi dan Ronaldo di 3-besar Ballon d’Or telah berlangsung satu windu. Bahkan, sejak 2008, pemenang bola emas sudah pasti antara Ronaldo dan Messi. Padahal, dalam beberapa kesempatan, sejatinya bukan kedua pemain itu yang paling menjulang.
Pada 2010, Xavi Hernandez dinilai banyak pihak lebih pantas merengkuh FIFA Ballon d’Or. Begitu pula Franck Ribéry pada 2013. Namun, pada akhirnya, mereka harus gigit jari. Alih-alih merebut bola emas, keduanya hanya finis di posisi ketiga. Duo penggawa Belanda, Wesley Sneijder (2010) dan Arjen Robben (2014) bahkan gagal masuk 3-besar walau menjalani musim luar biasa, baik di klub maupun timnas.
KONTES POPULARITAS
Itu terjadi karena FIFA Ballon d’Or mengalami pergeseran makna. Bola emas bukan lagi untuk pesepak bola yang paling gemilang sepanjang musim. FIFA Ballon d’Or kini tak ubahnya kontes popularitas belaka. Bola emas diberikan kepada pemain yang dianggap terhebat dan terpopuler, tak peduli apakah dia paling gemilang pada musim itu atau tidak.
Untuk tahun ini, Messi dan Neymar nyata-nyata menyebut Luis Suarez lebih pantas masuk ke 3-besar dibanding Ronaldo. Itu sangat beralasan. Seperti Neymar dan Messi, Suarez adalah elemen vital keberhasilan Barcelona merengkuh treble winners musim lalu. Bandingkan dengan Ronaldo yang hanya menjadi Pichichi.
“Akan sangat menyenangkan bila berada di podium Ballon d’Or bersama Neymar dan Luis,” kata Messi. Sementara itu, Neymar berujar, “Dinominasikan merebut Ballon d’Or tentu sangat berarti. Suarez juga mestinya berada di sana.”
Akan tetapi, pandangan para pemilik suara, terutama para pelatih dan kapten timnas anggota FIFA, masih tetap sama. Saat menghadapi pemilihan peraih FIFA Ballon d’Or, hal yang terlintas di kepala mereka adalah, “Siapakah pemain terhebat dunia saat ini?” Secara otomatis, nama yang muncul pertama kali adalah Messi dan Ronaldo.
Sangat sulit membayangkan nama Suarez terbersit ketika ada pertanyaan tentang pemain terhebat. Reputasi Suarez dibangun dari fragmen-fragmen kontroversi. Wajahnya penuh cemong oleh sejumlah ulah miring. Pemain yang pernah menggigit Otman Bakkal, Branislav Ivanovic, dan Giorgio Chiellini mana bisa merengkuh FIFA Ballon d’Or yang diperuntukkan bagi superhero.
Popularitas dan reputasi juga berlaku di kategori pelatih terbaik. Keberadaan Josep Guardiola di kandidat akhir pelatih terbaik tahun ini adalah buktinya. Pep memang membawa Bayern menjuarai Bundesliga untuk kali ketiga secara beruntun.Namun, kiprahnya musim lalu bisa dikatakan lebih buruk dari musim sebelumnya. Raihan gelar menurun, trofi Bundesliga 1 juga tak direngkuh dengan menajamkan rekor gelar tercepat.
Di Jerman, Pep juga bukan pelatih terbaik. Dalam pemilihan yang dilakukan Majalah Kicker dengan melibatkan para jurnalis sebagai juri, pelatih terbaik musim lalu adalah Dieter Hecking yang membawa VfL Wolfsburg juara DFB Pokal dan runner-up Bundesliga. Di bawah Hecking ada Markus Weinzierl (FC Augsburg) dan Lucien Favre (Borussia Mönchengladbach). Adapun Pep hanya berada di peringkat ke-8.
Advertisement
INSPIRASI VARDY
Karena hanya untuk para superhero, FIFA Ballon d’Or jadi trofi yang paling menjemukan dan sangat mudah ditebak. Padahal, sosok pahlawan tanpa embel-embel super pun seharusnya berhak mendapatkan penghargaan tersebut. Setiap musim, selalu ada sosok-sosok pahlawan seperti itu.
Untuk musim ini, tengoklah Vardy. Keberhasilan mencetak gol dalam sebelas laga beruntun membuat dia melewati Ruud van Nistelrooy yang tak henti membobol gawang lawan dalam sepuluh pertandingan berturut-turut pada 2003. Total, dalam 14 pekan, Vardy sudah mengemas 14 gol. Gol-gol tersebut berkontribusi besar terhadap geliat klubnya, Leicester City, yang sempat berada di puncak klasemen pada pekan ke-13.
Vardy sangat cocok dengan gambaran pahlawan menurut penulis asal Amerika Serikat, Jeff Goins, yang antara lain menelurkan buku You Are A Writer dan The Art of Work. Goins menyebut tujuh karakteristik pahlawan sekaligus unsur yang membuat kita menyukai sosok pahlawan.
Pahlawan itu, menurut Goins, tak terduga, tak diketahui atau bukan sosok ternama, orang biasa-biasa, muncul dari kemalangan, datang pada saat-saat terakhir, mengatasi ketakutan, dan berjuang untuk orang lain.
Vardy musim ini memenuhi kriteria tersebut. Dia sosok biasa-biasa saja dan bukan siapa-siapa. Karena musim lalu hanya mencetak lima gol dalam 34 penampilan di Premier League, dia dipandang sebelah mata. Di pelbagai bursa taruhan, Vardy hanya diberi odds 200/1 untuk menjadi pencetak gol terbanyak. Bahkan, Paddy Power tak menempatkan dia dalam daftar kuda hitam sekalipun.
Vardy juga sosok yang bangkit dari kemalangan. Dia sempat putus asa dan meninggalkan sepak bola selama delapan bulan gara-gara didepak dari akademi Sheffield Wednesday. “Masuk ke akademi dan bermain sepak bola setiap hari adalah hal yang paling saya inginkan. Ketika dilepas karena terlalu kecil, saya benar-benar sakit hati. Itulah alasan saya berhenti karena saya pikir tak akan pernah bisa menjadi pesepak bola profesional,” kisah pria kelahiran 11 Januari 1987 itu kepada Leicester Mercury.
Sepak terjangnya lantas bak dongeng. Dari pemain paruh waktu yang dibayar 30 pounds per pertandingan untuk Stocksbridge pada pertengahan 2000-an, Vardy melesat bersama Leicester dan merasakan atmosfer Premier League pada musim lalu. Hanya berselang tiga tahun dari saat bergabung dengan Leicester, dia menjulang tinggi. Vardy menembus timnas Inggris dan memecahkan rekor Van Nistelrooy dalam umur yang tak lagi muda, 28 tahun.
Sosok Vardy adalah inspirasi. Bagi Alan Pardew yang juga sempat memebela lima klub nonliga sebelum bergabung dengan Crystal Palace pada 1987, Vardy setidaknya menjadi teladan bagi para pemain di klub-klub nonliga untuk tetap merenda mimpi. Tentu sangat disayangkan bila sosok-sosok seperti ini diabaikan dari penghargaan besar hanya karena bukan talenta spesial dan tidak populer.
Bila mampu menjadi pemain tertajam di Premier League dan Leicester terbang tinggi, tak ada alasan untuk mengabaikan Vardy. Apalagi kalau dia sampai melewati rekor Messi yang pada 2013 tak henti mencetak gol dalam 21 laga beruntun. Bukan saja pantas masuk ke 3-besar, Vardy malah sangat berhak merebut FIFA Ballon d’Or tahun depan. Namun, cukupkah itu untuk mengalahkan pahlawan super yang sangat populer dan kadung dicintai banyak orang?
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.