Liputan6.com, Jakarta: Kecewa. Kata ini bernuansa negatif dan salah satu yang paling dibenci. Siapa pun tak akan mau kecewa, dikecewakan atau dinilai mengecewakan. Namun, siapa pun tak bisa menghindari kondisi ini. Rasanya tak ada orang yang tak pernah kecewa. Sebab, kecewa sejatinya adalah tanda kehidupan.
No hope = no life. Fondasi kehidupan adalah harapan. Orang yang tak lagi punya harapan sesungguhnya sudah mati walaupun jasadnya masih bernyawa. Dan karena tak semua harapan selalu menjadi kenyataan, muncul kekecewaan.
Minggu, 6 Desember 2015, di tengah acara makan bersama yang digelar Bayern München dalam rangka menyambut Natal, kekecewaan itu menyelinap di kalbu Chief Executive Karl-Heinz Rummenigge.
Kalle, sapaan akrabnya, harus kecewa karena pelatih Josep Guardiola mengungkapkan putusan untuk tak memperpanjang kontraknya yang habis pada akhir musim nanti.
Putusan Pep itu tentu membuat Kalle kecewa. Sejak tahun lalu, Kalle tak lelah membujuk pelatih asal Katalonia itu agar bertahan lebih lama di Sabener Strasse, markas Bayern.
Baca Juga
Draft kontrak baru dengan kenaikan gaji pun disiapkan. Upaya keras itu membuat dia yakin Pep akan bertahan. Fakta berkata lain karena Pep tetap meninggalkan Bayern.
Advertisement
Dua pekan kemudian, ketika putusan itu disiarkan kepada publik, lebih banyak orang yang kecewa. Bukan hanya bagi Bayern, bagi Bundesliga pun keberadaan Pep adalah berkah tersendiri.
Reputasi besarnya membuat Bundesliga mendapat sorotan lebih besar dari publik sepak bola dunia. Dia pun memberikan warna tersendiri terhadap permainan Die Roten. Kepergian Pep tentulah kerugian besar bagi Bundesliga dan Bayern.
TAK ISTIMEWA
Di samping karena merasa akan kehilangan, kekecewaan juga muncul karena Pep sejauh ini belum menunjukkan hal yang luar biasa. Pep belum sepenuhnya mewujudkan ekspektasi banyak orang sejak kedatangannya di Muenchen 2013 silam.
Kala itu, Pep dan Bayern dianggap perjodohan sempurna. Meski baru kembali dari masa sabbatical, Pep masih dianggap pelatih terbaik dunia.
Dua gelar juara Liga Champions, tiga kali juara Divisi Primera, dan dua trofi juara Copa del Rey dalam kurun lima tahun adalah buktinya. Sementara itu, Bayern pada 2013 adalah tim terbaik Eropa. Mereka merajai Liga Champions, Bundesliga, dan DFB Pokal.
Sebuah perjodohan yang sempurna tentunya diharapkan melahirkan kesempurnaan. Tak sedikit orang, terutama fans Bayern, yang di sudut hatinya berharap Die Roten jadi monster yang invincible ‘tak tertundukkan’. Mereka membayangkan treble winners sebagai tradisi baru bagi Bayern.
Faktanya jauh panggang dari api. Bahkan Jamie Redknapp, eks gelandang Liverpool dan timnas Inggris, menilai Muenchen malah alami kemunduran ketimbang era Jupp Heynckess.
Bersama Guardiola, Bayern memang tetap berprestasi. Namun, dua kali juara Bundesliga dan sekali juara DFB Pokal dalam dua musim awal tidaklah cukup untuk memuaskan fans Muenchen.
Demikian pula rekor terlama tak terkalahkan, rentetan kemenangan terpanjang, sepuluh kemenangan beruntun awal musim, lima kali beruntun jadi herbstmeister “juara paruh musim”, hingga tim paling sedikit kebobolan dalam semusim.
Sebaliknya, kekalahan dari Real Madrid dan Barcelona di dua semifinal Liga Champions serta takluk dari Borussia Dortmund di semifinal DFB Pokal mengguratkan kekecewaan yang amat dalam. Bila sebelumnya Bayern adalah duri bagi Madrid dan Barcelona, kini mereka inferior bahkan sebelum peluit kick off dibunyikan wasit.
Dari segi permainan, Pep berhasil menerapkan gaya baru yang menekankan pada penguasaan bola. Namun, karena terlalu fanatik terhadap falsafahnya sendiri, Pep justru membuat Bayern begitu mudah diterka.
Padahal, pada musim terakhir Heynckes, Bayern adalah tim yang sangat fleksibel dan adaptif. Lawan seperti apa pun selalu mampu diatasi. Di Liga Champions, Kedisiplinan ala Juventus, tiki taka ala Barcelona, dan gegenpressing ala Dortmund sanggup diredam.
Ini mengecewakan karena Pep dikenal sebagai maniak dalam hal taktik. Bila menemukan sebuah ide, dia tak segan menelepon pemain meski pada dinihari sekalipun.
“Meski pukul 3 pagi sekalipun, Pep akan senang hati berbincang soal sepak bola dengan Anda,” kata winger Arjen Robben. Saat di Barcelona, Pep pernah memanggil Lionel Messi ke kantornya jelang tengah malam untuk membicarakan taktik tertentu.
Meski demikian, di mata para jurnalis sepak bola Jerman, Pep bukan sosok istimewa. Buktinya, dalam dua musim, Pep tak terpilih sebagai pelatih terbaik Bundesliga meski membawa Muenchen jadi juara.
Dalam pemilihan yang dilakukan Kicker dengan melibatkan para jurnalis sepak bola itu, dia bahkan selalu berada di bawah pelatih semenjana, Markus Weinzierl.
Pada 2014, Pep yang membawa Bayern memecahkan juara tercepat di Bundesliga hanya meraih 89 poin dan berada di posisi ketiga. Dia kalah dari Joachim Löw (timnas Jerman) dengan 248 suara dan Weinzierl (FC Augsburg) yang mendapat 152 suara.
Tahun berikutnya, Pep malah terpuruk jauh di posisi ke-8 dengan 15 poin. Dia terpaut sangat jauh dari Dieter Hecking (VfL Wolfsburg) yang terpilih sebagai pelatih terbaik dengan 203 suara. Adapun Weinzierl kembali jadi runner-up. Kali ini dengan 191 suara.
Advertisement
TERLALU TAKUT
Kekecewaan lain terhadap Pep adalah menyangkut penanganan pemain muda. Melihat rekam jejaknya semasa di Barcelona, Pep diharapkan mampu mengorbitkan sejumlah talenta yang ada di tim junior Bayern.
Meski kualitas mereka tentu berbeda dengan para pemain di La Masia, tetap saja ada keyakinan Pep mampu memoles dan mengorbitkan beberapa di antaranya.
Dari Ylli Sallahi pada 5 April 2014 hingga Milos Pantovic pada 17 Oktober 2015, total ada tujuh pemain dari tim junior yang diberi debut di Bundesliga oleh Guardiola. Namun, tak satu pun yang mendapat kepercayaan penuh.
Sebagai perbandingan, dalam empat musim di Barcelona, ada 22 pemain yang melakukan debut. Beberapa lantas menjadi pilar. Salah satunya, Sergio Busquets.
Puja-puji bagi Gianluca Gaudino pada awal musim 2014-15 pun tak ubahnya kilat sesaat. Memasuki musim 2015-16, bukannya memberikan lebih banyak kesempatan, Pep malah “mendegradasi” Gaudino ke Bayern II. Dalihnya, Gaudino bersama Sinan Kurt dan Julian Green ditugasi membantu Bayern II promosi dari Regionalliga Bayern.
Kegagalan Pep dalam menangani pemain muda terlihat jelas dalam kasus Pierre-Emile Hojbjerg. Pada awal kedatangannya, Guardiola begitu terkesan oleh talenta asal Denmark yang oleh Albert Celades disebut sebagai berlian yang belum terasah itu.
Saat pramusim 2013-14, Hojbjerg mengingatkan Guardiola pada Busquets. Dia punya kemampuan membaca permainan dan sanggup melepas umpan kejutan yang membelah pertahanan lawan. Namun Hojbjerg gagal bersinar dan lalu dipinjamkan ke Augsburg musim lalu. Kini, dia dipinjamkan lagi ke Schalke.
Pep terkesan terlalu takut memberikan kepercayaan besar kepada pemain yang masih mentah. Beda halnya dengan talenta-talenta yang sebelumnya telah tertempa. Lihat saja Juan Bernat yang musim lalu bergabung pada umur 21 tahun.
Pengalaman 51 kali berlaga di Divisi Primera bersama Valencia menjadikan Pep yakin. Demikian pula dengan Kingsley Coman musim ini yang berbekal pengalaman 15 kali berlaga di Serie-A bersama Juventus.
Pep masih punya waktu setengah musim untuk mencapai kesempurnaan yang diharapkan dari “perkawinannya” dengan Bayern. Bila gagal memberikan treble, Bayern mengalami kekalahan memalukan, dan tak ada pemain muda yang melejit, tidak salah kiranya menyebut Pep pergi dari Muenchen dengan mengecewakan. Bisa disebut, dia gagal tuntaskan misi di Muenchen.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.