Liputan6.com, Jakarta - Lantunan lagu adalah hiburan yang umum bagi kebanyakan orang. Bahkan, bisa dikatakan, hampir tak ada orang yang tak suka dengarkan lagu, lantunan lirik puitis yang diselaraskan dengan untaian melodi.
Itu karena lagu pada dasarnya adalah cermin diri dalam kehidupan. Sebuah lagu malah kerap dibuat untuk menandai peristiwa dan perasaan tertentu. Sebaliknya, setiap peristiwa dalam hidup selalu bisa dicarikan lagunya sendiri.
Bagi para Juventini, lagu yang paling pas untuk valentine lalu rasanya The King is Back dari album Sick Like That yang dirilis pada 2008 oleh rapper Jimi Blue Ochsenknecht. Lirik lagu itu sangat pas dengan perjalanan Juventus di Serie-A.
Oh yeah, ladies and gents
It's been a long time
It's been a long, long time
This is the comeback of the year
Of the king is back
You know the king is back
Bait pertama The King is Back itu tepat menggambarkan Juventus yang akhirnya menjadi capolista (pemuncak klasemen) setelah a long, long time, tepatnya sejak awal musim. Kemenangan atas capolista sebelumnya, Napoli, dalam laga giornata ke-25, Minggu (14/2/2016) dinihari WIB, membawa sang petahana Serie-A kembali ke singgasananya. The king is back!
Karena harus menunggu hingga 25 giornata dan merangkak dari papan bawah, langkah I Bianconeri menggapai capolista adalah sebuah comeback of the year. Siapa pun sulit melakukan kebangkitan luar biasa seperti yang diperlihatkan Juventus musim ini.
Hingga pekan ke-6, Gianluigi Buffon cs masih berada di posisi ke-15. Itu merupakan start terburuk mereka dalam kurun satu abad.
Penantian capolista selama 25 pekan juga di luar kebiasaan I Bianconeri. Sejak 2011-12, mereka paling lama hanya menunggu hingga giornata ke-13 untuk menapakkan kaki di puncak klasemen Serie-A.
Gebrakan luar biasa I Bianconeri juga diwarnai hal istimewa. Gianluigi Buffon cs membukukan 15 kemenangan beruntun. Itu menjadi rekor baru bagi Juventus dan hanya terpaut dua kemenangan lagi dari rekor Serie-A milik Internazionale yang dibuat pada 2006-07.
KEYAKINAN TINGGI
Banyak faktor di balik sukses Juventus merangkak dari papan bawah hingga menggapai capolista. Namun, hal yang paling mendasar, I Bianconeri punya keyakinan diri sangat tinggi. Seperti kata pepatah, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Kemauan keras itulah yang selalu diserukan allenatore Massimiliano Allegri.
Bahkan saat terpuruk di papan bawah pun, Allegri tetap menyatakan target Juventus adalah Scudetto. Salah satunya saat mereka berada di posisi ke-12 dan terpaut sembilan poin dari Fiorentina, sang pemimpin klasemen, saat kompetisi menyelesaikan tujuh giornata.
"Kami yakin akan Scudetto. Tapi, kami saat ini butuh konsistensi. Itu adalah hal yang diperlukan untuk memenangkan gelar," ujar Allegri pada 11 Oktober 2015 seperti dikutip La Gazzetta dello Sport.
Hal itu terus diulang-ulang oleh Allegri dalam pelbagai kesempatan. Setiap kali ditanya target Juventus, dia tanpa keraguan selalu menyebut Scudetto. Tak terkecuali ketika para pakar menganggap Juventus tak lagi berpeluang juara.
Pada 9 November 2015, Claudio Ranieri menyebut I Bianconeri tak bisa lagi berharap juara karena kehilangan pilar-pilar utama. "Anda tak bisa berharap Allegri memenangkan Scudetto lagi setelah kehilangan (Carlos) Tevez, (Arturo) Vidal, dan (Andrea) Pirlo. Anda tak bisa menuntut gelar setiap tahun. Ini adalah musim peralihan," kata manajer Leicester City tersebut kepada Football Italia.
Sepekan kemudian, seolah mencibir Ranieri, Allegri berujar, "Tujuan kami adalah Scudetto. Tapi, sekarang ini kami harus mengumpulkan poin dari para rival karena kami masih tertinggal."
Sikap Juventus ini berbeda dengan Inter. Meski terus beredar di papan atas dan sempat menjadi capolista, La Beneamata tak punya cukup kepercayaan diri untuk mengklaim sebagai calon juara. Presiden Erick Thohir dan allenatore Roberto Mancini hanya membidik target masuk zona Liga Champions.
Dampaknya sangat nyata. Juventus yang berbekal keyakinan tinggi pelatihnya terus berlari kencang. Sementara itu, Inter yang diganduli pesimisme presiden dan pelatihnya kian terpuruk. Sejak gagal memastikan diri sebagai campione d'inverno (paruh musim pertama), La Beneamata justru kian menjauh dari capolista.
Advertisement
TAKKAN TERKUDETA
Ketika sang raja sudah kembali ke singgasana, siapa pun hanya bisa menjadi pengikut, setia kepada titah yang diberikannya. Apalagi mereka memang menginginkan sang raja berada di singgasananya lagi.
Simak saja ucapan Mancini (Inter), Maurizio Sarri (Napoli), dan Paulo Sousa (Fiorentina) yang begitu menjagokan Juventus walau klub-klub yang mereka tangani juga berpeluang meraih Scudetto. Mereka begitu minder, inferior terhadap sang raja. Apalagi ketika I Bianconeri berlari kencang mengejar mereka.
Kini, setelah Juventus menjadi capolista, entah apa yang ada di benak mereka. Satu hal yang pasti, Scudetto kian jauh dari jangkauan, tetap jadi impian belaka bagi mereka. Seperti dalam reffrain The King is Back, sekali kembali, sang raja tak akan pergi lagi. ... Oh yes, I'm back/ Once again, never left/ I'm on attack//
Itu pula sifat I Bianconeri. Setidaknya, lihat saja tiga musim ke belakang. Sejak 2012-13, mereka tak bisa lagi dikudeta kala sudah menjadi capolista. Tiga musim itu selalu diakhiri dengan trofi juara.
Sudah barang tentu, I Bianconeri takkan sudi tradisi itu terhenti. Apalagi, sejak beberapa bulan lalu, capolista memang ada dalam rencana mereka. "Rencana kami adalah memasuki perburuan gelar pada Maret dan mencapai periode itu dalam performa terbaik," ungkap Allegri pada medio Oktober silam.
Itu menunjukkan kesiapan luar biasa dari Juventus. Secara implisit, Allegri mengingatkan bahwa sekali timnya berada dalam posisi dan performa terbaik, para lawan bersiaplah gigit jari.
Sekarang, bersiaplah menyaksikan Buffon dkk kembali merajai Serie-A untuk kelima kalinya secara beruntun. Bosan? Tentu tidak, karena klub-klub lain memang masih sangat menikmati peran sebagai hamba. Tak satu pun yang betul-betul siap mengambil alih takhta dari sang raja. Setuju tidak?