Bertarung untuk (Tidak) Menang

Titel atau gelar bukan satu-satunya ukuran bagi petinju profesional.

oleh Marco Tampubolon diperbarui 02 Apr 2019, 18:30 WIB
Diterbitkan 02 Apr 2019, 18:30 WIB
Ilustrasi sarung tinju
Ilustrasi sarung tinju

Liputan6.com, Jakarta Dalam dunia olahraga, judul di atas boleh jadi terasa ganjil. Namun di tinju profesional, hal seperti ini justru jamak ditemukan. Apalagi saat jalan menuju prestasi terasa semakin sempit.

Bergelut dalam dunia yang menggabungkan olahraga dan hiburan, petinju profesional ibarat artis. Apapun perannya, baik sebagai pemenang atau pecundang, akan tetap mendapat bayaran.

Floyd Mayweather Jr, salah seorang petinju terbaik dunia bahkan pernah berkata,"Saya bertanding bukan untuk sebuah pengakuan. Saya bertanding untuk cek. Saya ada di sini untuk bebisnis."

Ini menggambarkan kalau bayaran merupakan prioritas Mayweather Jr. 

Hingga pensiun Mayweather Jr tidak pernah kalah dan pernah menjadi juara dunia di lima kelas berbeda. Pria kelahiran Michigan itu juga tercatat sebagai salah satu atlet terkaya di dunia.

Dalam sekali bertanding melawan Manny Pacquiao di Las Vegas, empat tahun lalu, Mayweather Jr pernah menerima bayaran sebesar 300 juta dolar atau Rp 3,8 triliun.

Di Indonesia, tinju juga pernah populer seperti halnya sepak bola dan bulu tangkis. Prestasi yang diraih petinju profesional di pentas dunia membuat olahraga adu jotos ini terkenal.

Di era 80-an, publik tentu mengenal sosok Ellyas Pical. Pria asal Saparua itu merupakan petinju Indonesia pertama yang meraih gelar juara dunia dari ring tinju . Tiga kali petinju kidal itu menyandang sabuk juara dunia kelas Bantam Yunior versi IBF. 

Elly tidak hanya terkenal lewat olahraga ini. Kehidupannya juga berubah. Bayaran yang diterima dari setiap pertandingan mengubahnya menjadi salah satu atlet elite Tanah Air.

Di era yang sama juga muncul nama Nico Thomas. Petinju kelahiran Ambon, 10 Juni 1966 tersebut merebut gelar juara dunia kelas terbang mini versi WBA pada 17 Juni 1989. Setelah Nico, menyusul generasi Muhamad Rachman, Chris John, hingga Daud 'Cino' Yordan.

Banyak petinju yang ingin mengikuti jejak mereka. Sasana pun menjamur. Para petinju mengantre untuk bisa tampil di pertandingan-pertandingan rutin yang digelar promotor. Selain bayaran, tentu saja harapan untuk bisa meraih gelar juara menjadi motivasi mereka dalam mempersiapkan diri.

 

 

 

 

 

 

Video Bertarung untuk Kalah (Tinju Profesional di Indonesia)

Tinju Profesional Meredup

Suasana sasana tinju KPJ Bulungan
Suasana sasana tinju KPJ Bulungan (Okie/Bola.com)

Sayang, dalam tiga tahun terakhir, demam tinju yang sempat melanda Tanah Air perlahan meredup. Tidak ada lagi jalur yang tersedia untuk meniti karier ke pentas dunia. Pertandingan tinju lokal yang rutin yang disiarkan oleh stasiun televisi nasional juga sudah berhenti sama sekali.

Dalam situasi seperti ini, sebagian petinju profesional memilih tetap bertanding agar dapur tetap mengepul. Kalah atau menang, bukan lagi jadi soal. Asal bayaran cocok, mereka siap naik ring. Iming-iming dolar dari penata tanding luar negeri pun semakin menggoda meski sadar keberangkatannya hanya akan menambah rapor merah pada catatan rekor bertandingnya.

Liputan6.com berkolaborasi dengan Bola.com merekam lebih jauh mengenai fenomena ini. Seperti apa liputannya, video lengkapnya bisa disaksikan di bawah ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya