[Cek Fakta] Kenapa Gus Dur Tak Jadi Pahlawan Nasional?

Presiden menetapkan empat Pahlawan Nasional baru. Bagaimana nama-nama kandidat diseleksi?

oleh Edmiraldo Siregar diperbarui 10 Nov 2017, 09:00 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2017, 09:00 WIB
Penganugerahan Gelar Pahlawan
Presiden Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional 2017 di Istana Negara (Liputan6.com/ Septian Deny)

Liputan6.com, Jakarta Empat tokoh ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Mereka adalah Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Madjid, Laksamana Malahayati, Sultan Mahmud Riayat Syah, dan Prof. Drs. Lafran Pane. 

Jasa keempat sosok tersebut sama sekali tak diragukan. Namun, sejumlah orang bertanya-tanya, mengapa bukan Gus Dur atau tokoh lain yang mendapatkan penghargaan tingkat tertinggi di Indonesia itu?

Penetapan Pahlawan Nasional tahun 2017 ini melalui prosedur yang berlapis. Sembilan nama direkomendasikan Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) ke Dewan Gelar. Lalu keputusan diserahkan ke pemerintah.

Wakil Ketua Dewan Gelar, Jimly Asshiddiqie, mengatakan semua rekomendasi TP2GP diseleksi ketat pihaknya.

"Semangatnya persatuan nasional, agar setiap daerah ada tokoh yang diberi gelar secara resmi," kata dia menjelaskan salah satu kriterianya, ketika dihubungi Liputan6.com, Kamis (9/11/2017).

Selain unsur kedaerahan, ada kriteria lain yang digunakan Dewan Gelar. Menurut Jimly, kriteria itu lebih bersifat pertimbangan politik nasional.

Ia mengilustrasikan bila ada potensi polemik saat seorang tokoh menjadi Pahlawan Nasional. Dalam kasus semacam itu, Dewan Gelar memilih mengurungkannya menjadi Pahlawan Nasional.

Namun, hal itu tak berarti mengecilkan peran TP2GP. Jimly mengatakan TP2GP lebih fokus pada teknis sejarah. Pertimbangan Dewan gelar, ucap Jimly, memiliki kriteria yang lebih luas.

Ia juga menjelaskan Dewan Gelar juga tidak mau royal memberikan gelar Pahlawan Nasional.

"Bangsa kita sudah jadi negara yang paling banyak gelar pahlawan," ucap Jimly. Dengan tambahan empat tokoh, total, Indonesia memiliki 173 Pahlawan Nasional.

Dewan Gelar yang beranggotakan tujuh orang itu juga tidak asal menetapkan pilihan. Diskusi antara mereka berlangsung tiga kali sebelum diambil keputusan untuk diserahkan ke Presiden Jokowi.

Jimly mendeskripsikan perbincangan mereka cukup alot. Setiap orang punya ego dan pendapatnya masing-masing.

Dewan Gelar sendiri memberikan prioritas bagi tokoh yang wafat puluhan, bahkan ratusan tahun silam untuk dianugerahi Pahlawan Nasional.

Untuk nama Gus Dur dan Soeharto, memang tidak ada pembicaraan dalam proses penentuannya.

"Nama-nama itu setiap tahun muncul. Kami ingin dahulukan yang sudah dua abad meninggal seperti Malahayati atau dari NTB yang punya peran luar biasa besar dan yang pertama mewakili pahlawan di daerahnya," kata Jimly.

Nama Malahayati sendiri sudah digunakan sebagai nama jalan dan nama kapal perang TNI AL. "Tapi negara belum mengakuinya. Selain juga kami prioritaskan di daerah dulu yang belum ada pahlawannya, karena selama ini gelar pahlawan bertumpuk di Jawa," ujar Jimly.

Sejarawan Asvi Warman Adam mempertanyakan mengapa Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Lafran Pane ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tahun 2017 ini.

Bukan berarti meragukan kepahlawanan Lafran Pane. Namun menurut dia, ada tokoh lain dari Yogyakarta yang lebih dulu diusulkan jadi pahlawan nasional.

"Sudah ada calon dari Yogyakarta yang sudah diajukan lebih lama, Sugondo Djojopuspito," kata Asvi ketika dihubungi Liputan6.com, Kamis (9/11/2017). Sugondo diusulkan sejak 1978. Namun, usulan itu belum diterima.

Menurut Asvi, Sugondo punya peran besar saat memimpin Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

 

Asvi menilai, Presiden Jokowi ingin merangkul semua kalangan, termasuk HMI. Hal tersebut juga terlihat dari pemilihan Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Madjid.

Keterwakilan tiap daerah, menurut dia, juga jadi pertimbangan pemerintah. "Dari NTB diangkat, karena sebelumnya belum ada yang dari sana," kata Asvi.

Sementara, sejarawan Mochammad Iskandar menilai, penetapan gelar pahlawan sepenuhnya adalah hak prerogatif Presiden. Bahkan, ada berapa kasus, penetapan gelar pahlawan tak melewati "prosedur" formal.

"Misalnya saat Bu Tien Soeharto ditetapkan jadi pahlawan," papar Iskandar.

Ibu Tien Soeharto atau RA Siti Hartinah Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 1996, hanya tujuh bulan setelah wafat.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya