Liputan6.com, Jakarta Pernah berjalan-jalan ke suatu tempat dan lantas menemukan ada kejanggalan atau kesalahan dalam penggunaan bahasa Indonesia? Saya sering.Â
Baca Juga
Misalnya saja kala ke suatu tempat wisata berskala nasional minggu lalu, kesalahan berbahasa pengelola yang tampak dalam spanduk atau poster masih tampak di sana-sini. Atau jika Anda terjebak macet—yang seringkali terjadi di Jakarta—coba saja layangkan pandang ke jalanan, maka tulisan yang salah itu akan dengan mudah Anda temui.
Advertisement
Misalnya saja, Apotik ABC. Padahal, kalau Anda agak rajin membuka kamus, tentu Anda tahu bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bentuk yang baku adalah apotek dan bukan apotik. Tentu beda lagi dengan hipotek.
Ini soal remeh kelihatannya, hanya beda bunyi antara tik dan tek. Tapi nyatanya krusial betul.
Kemudian mobil Anda berjalan lagi dan di depan Anda temui tulisan photo kopi, misalnya. Menggelikan betul, padahal yang benar seharusnya fotokopi atau lebih baik tuliskan saja versi Inggrisnya, photo copy. Kenapa pula antara bahasa Inggris dan Indonesia harus dicampur-campur. Mungkin baik bila perkawinan dilakukan bercampur suku dan bangsa, tapi nyatanya tidak untuk bahasa.
Kemudian di daerah elite Pondok Indah, Anda masuk ke sebuah mal yang bernama Pondok Indah Mall. Ini tidak salah, tentu saja. Namun mengingat sebuah orasi di malam puncak bahasa dan sastra pada Hari Sumpah Pemuda, sepertinya baik jika ada penyisiran bahasa atau imbauan oleh Badan Bahasa. Kenapa, misalnya, tidak ditulis Mal Pondok Indah (dengan satu l) alih-alih dua l dalam kata mall. Apa kecintaan kita pada bahasa Indonesia sudah begitu lunturnya?
Namun, yang paling menyedihkan adalah ternyata orang Indonesia susah betul membedakan di- sebagai kata depan dan di- sebagai kata sambung. Kekacauan penggunaan partikel di- ini mudah kita temukan di mana-mana.
Lantas saat berjalan lagi, di depan sebuah gedung bertuliskan graha saya terpana. Sebab, graha dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V memiliki makna sebagai ‘(verba) menangkap’ atau ‘(nomina) buaya’ dengan keterangan asal kata dari bahasa Sansekerta.
Jika merujuk pada makna sebagai ‘n bangunan, kantor, tempat tinggal, dan sebagainya’, maka seharusnya ditulis gerha. Jika demikian, apakah Graha Tirta Siliwangi di Jawa Barat bisa diartikan sebagai Air Buaya Siliwangi? Saya pikir tidak.
Kekacauan bahasa di mana-mana ini memberikan petunjuk bahwa bahasa Indonesia kini (seolah-olah) tak dipedulikan oleh para pengguna bahasa.
"Gejala kurang mau baca dan kurang peka dalam berbahasa," ujar Ibnu Wahyudi, dosen Program Studi Sastra Indonesia, saat saya mintai pendapatnya beberapa waktu lalu perihal fenomena ini.
Nah, kalau kamu, apa yang terpikir saat kamu melihat papan peringatan seperti di bawah ini?
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6