KOLOM BAHASA: Asal Mula Kongres Bahasa Indonesia 1

Kongres Bahasa I digelar untuk meneruskan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

oleh Hotnida Novita Sary diperbarui 28 Okt 2016, 08:01 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2016, 08:01 WIB
Kolom Bahasa Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda

Liputan6.com, Jakarta Terlalu banyak hiruk pikuk yang terjadi di bulan Oktober, mulai dari pilkada, pendemo penistaan agama, hingga kenaikan harga kebutuhan pokok. Ini berimplikasi pada kegiatan (tulisan) yang berkaitan peringatan Bulan Bahasa seakan sepi senyap. Padahal, bulan Oktober dicanangkan sebagai bulan bahasa dan sastra.

Dilandasi oleh semangat Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober, kiranya kita perlu mengingat kembali salah satu peristiwa sejarah yang menjadi cikal bakal masa depan bahasa Indonesia.

Dari sudut sosiologis, bahasa Indonesia boleh dianggap “lahir” atau diterima eksistensinya ketika Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda menjadi tonggak masyarakat Nusantara menerima dan melihat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia, bukan bahasa lain. Pada masa ini, bahasa Indonesia disadari jelas identitasnya sebagai bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu.

Pada masa awal, sila ketiga dari Sumpah Pemuda, yakni menjunjung bahasa persatuan disebarluaskan sebagai satu bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.

Dalam Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia, Keith Foulcher menyoroti adanya upaya politisasi dari naskah asli Sumpah Pemuda, utamanya pada sila ketiga. Peran M Yamin, salah satu founding fathers, yang ingin menerapkan adanya satu identitas, termasuk soal kebahasaan, disebut Foulcher saat kuat.

Memang setelah Sumpah Pemuda dikumandangkan, semangat menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai bidang, seperti pers, keagamaan, pendidikan, dan surat-menyurat semakin digelorakan. Akan tetapi, kemajuan bahasa sebagai media komunikasi dirasa tidak sebanding dengan usaha mengasuh bahasa Indonesia itu sendiri.

Karena itu, mulailah timbul kesan bahwa bahasa Indonesia ketika itu cukup kacau, sehingga dibutuhkan “pegangan” dan pedoman bagi semua pemakai bahasa. Karena itu, konsep penyelenggaraan kongres bahasa pun digagas.

Uniknya, penggagas kongres bahasa bukan berasal dari kalangan akademikus atau profesor bahasa. Menurut Soemanang dalam suratnya kepada redaksi Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia pada 12 Oktober 1983, kongres bahasa digagas oleh wartawan Soeara Oemoem Surabaya, Raden Mas Soedardjo Tjokrosisworo (yang dikutip dari Kridalaksana, Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, 1991). Kala itu Soedardjo dikenal sebagai jurnalis yang kerap menciptakan istilah baru dan tidak puas dengan pemakaian bahasa dalam surat kabar Tiongkok.

Dari sekadar gagasan, dibentuklah “pengoeroes komite” di Jakarta, yaitu Prof Dr Hoesein Djajadiningrat sebagai ketua kehormatan; Dr Poerbatjaraka sebagai ketua; Amir Sjarifoeddin sebagai wakil ketua; Soemanang, Armijn Pane, dan Katja Soengkana sebagai penulis; serta Soegiarti dan Santoso-Maria Ulfah sebagai bendahara.

Kongres Bahasa Indonesia I pun digelar di Solo pada 25-28 Juni 1938. Sejumlah tokoh dan cendekiawan terbaik yang dimiliki Indonesia dan punya perhatian pada bahasa tak ketinggalan ikut berpartisipasi. Sejumlah tokoh tampil sebagai pembicara dan menyumbangkan pemikiran tentang rencana dan masa depan bahasa Indonesia, di antaranya Ki Hadjar Dewantara, Sanoesi Pane, Amir Sjarifoeddin, Muh Yamin, St Takdir Alisjahbana, dan K St Pamoentjak.

Sambutan atas terselenggaranya Kongres Bahasa I ini cukup besar. Terbukti dari masifnya pemberitaan mengenai kegiatan ini serta banyaknya surat dan telegram yang masuk dari seluruh penjuru Tanah Air. Orang-orang yang dianggap sebagai tokoh pergerakan nasional bahkan bersedia hadir.

Hal ini memperlihatkan bahwa masalah bahasa bukanlah masalah pengajaran dan pendidikan di sekolah semata. Mereka menganggap bahwa bahasa adalah masalah nasional, sehingga penting untuk dibicarakan bersama.

Akan tetapi, rupanya tak semua menyambut baik terselenggaranya kongres ini. Beberapa koran Belanda, misalnya, bersikap sangat skeptis tentang masa depan bahasa Indonesia. Ada pula yang menuding bahwa kongres itu tidak ilmiah. Padahal, para pembicara Kongres Bahasa I adalah sarjana-sarjana yang sudah diakui kiprahnya di dunia internasional, seperti Dr Poerbatjaraka.

Penyelenggaraan Kongres Bahasa I membawa angin segar bagi perkembangan bahasa Indonesia ketika itu. Salah satunya seperti diungkapkan oleh Sanoesi Pane, “Bahasa Indonesia soedah sadar akan persatoeannja, boekan sadja dalam artian politik, akan tetapi dalam artian keboedajaan jang seloeas-loeasnja.”

Tak hanya itu, hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Bahasa I dipandang tetap relevan dan orisinal diterapkan hingga saat ini, seperti pengindonesiaan kata asing, penyusunan tata bahasa, pembaruan ejaan, pemakaian bahasa dalam pers, serta pemakaian bahasa dalam undang-undang. Pembahasan dalam Kongres Bahasa I ini juga menjadi cikal bakal terbentuknya Institut Bahasa Indonesia (sekarang Badan Bahasa) dan perguruan tinggi kesusastraan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya