KOLOM BAHASA: Perhatian, Ada Pekerjaan!

Sebagai seorang yang 'tanpa pekerjaan', seorang penganggur hanya ingin mendapat pekerjaan. Tapi frasa ini bisa jadi membuatnya salah kaprah.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Agu 2016, 09:00 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2016, 09:00 WIB
Kolom Bahasa
KOLOM BAHASA: Perhatian, Ada Pekerjaan!

Liputan6.com, Jakarta “Mohon maaf, ada pekerjaan…” Kira-kira begitu tulisan yang terpampang di papan pemberitahuan adanya proyek perbaikan atau pembangunan fasilitas di suatu jalan.

Syahdan, ada seorang penganggur yang kebetulan lewat (sebut saja Budi). Kemudian ia dengan semangat bertanya pekerjaan apa yang bisa ia lakoni di lokasi itu. Ia membayangkan pekerjaan dengan imbalan penghasilan, tentunya. Namun, tak dinyana, salah seorang pekerja yang ia tanyai malah memarahinya dan menganggapnya gila. Padahal, dia tak sepenuhnya salah.

Sebagai seorang yang “tanpa pekerjaan”, ia hanya ingin mendapat pekerjaan. Lalu, kalau dia melihat papan pemberitahuan bahwa ada pekerjaan dan dia tertarik, siapa yang salah?

Ya, tapi, demi semangat perdamaian, mari tak menyalahkan orang per orang. Sebaiknya kita lihat dulu apa yang salah pada frasa “ada pekerjaan” itu. Sebab, inilah pangkal masalahnya.

Salah satu arti pekerjaan adalah mata pencaharian. Arti inilah yang ada dalam pemahaman pemuda penganggur tadi. Jadilah ia tertarik untuk mendapat pekerjaan, walaupun ternyata yang dimaksud pada papan pengumuman sebelumnya sangat jauh berbeda. Frasa dalam pengumuman itu jamak ditujukan untuk memberitahukan adanya suatu proyek perbaikan atau pembangunan fasilitas.

Namun, kata pekerjaan yang dimaksudkan di situ sebenarnya agak bermasalah. Kata ini sering kali tidak efektif saat digunakan kalimat pemberitahuan. Misalnya, “hati-hati, ada pekerjaan pemasangan kabel”, atau “mohon maaf, ada pekerjaan perbaikan trotoar”. Ini sebenarnya merupakan kelewahan. Alasannya, kata “perbaikan” dan “pembangunan” dapat berdiri sendiri tanpa didahului kata “pekerjaan”.

Selain itu, perpaduan “pekerjaan” dengan “perbaikan”, misalnya, bukanlah frasa yang lazim (kalau tidak bisa dibilang cacat). Kalimat “mohon maaf, ada perbaikan trotoar” akan lebih efektif untuk digunakan. Bukankah kalimat pemberitahuan seharusnya dibuat seefektif mungkin? Apalagi di jalan raya.

Kata “pekerjaan” ini juga sering kali penggunaannya tertukar dengan “pengerjaan”. Coba perhatikan contoh kalimat “pekerjaan konstruksi gedung olahraga tengah dikebut”. Kalimat seperti ini tak jarang kita temukan dalam berita media cetak ataupun daring. Padahal, pekerjaan tak bisa dikebut atau dipercepat, karena maknanya bukanlah suatu proses, melainkan “hal yang dikerjakan”. Kata “pengerjaan” lebih tepat untuk digunakan.

Sering kali pula kata ini dirangkaikan dengan kata “konstruksi”, “fasilitas”, atau “bangunan” dan membentuk frasa. Lagi-lagi ini membentuk suatu frasa yang janggal. Kira-kira apa makna yang ditawarkan frasa “pekerjaan konstruksi”, misalnya?

Apakah itu artinya pekerjaan yang tengah dilakukan konstruksi? Dalam hal ini tentu tidak, karena “konstruksi” adalah benda mati. Abstrak pula. Padahal, makna yang diharapkan sebenarnya adalah 'proses pengkonstruksian'. Jelas, kata yang tepat adalah “pengerjaan”, karena mengandung makna sebagai sebuah proses.

Sudah saatnya kita mengembalikan “pekerjaan” sesuai dengan fungsi awalnya. Akhir-akhir ini kata tersebut sering digunakan secara kurang tepat dan menimbulkan arti yang lain. Penggunaannya pun sering kali ditemukan pada papan pemberitahuan publik pula. Tentu akan sangat tidak nyaman bila kita membaca kalimat pemberitahuan yang berpanjang-panjang sementara kita sedang menyetir kendaraan atau menjadi penumpang di dalam kendaraan.

Tentu juga salah pengertian bukanlah hal yang seharusnya diinginkan saat kita membaca kalimat pemberitahuan, bukan? Masih ingat kejadian yang dialami Budi sebelumnya? Nah, oleh sebab itu, mencegah pemuda itu untuk salah memahami papan pemberitahuan adanya proyek perbaikan dan sejenisnya adalah “pekerjaan” kita bersama.

Tak perlu menyalahkan atau mencari-cari siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Tak perlu pula mencari siapa pemuda itu, atau mempertanyakan kejadian itu nyata atau tidak. Toh, sejak awal pemuda dan kejadian itu hanya imajinasi saya saja. (Edy Sembodo)

 

*Penulis adalah editor di sebuah kantor media, alumnus Sastra Indonesia Universitas Indonesia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya