Liputan6.com, Jakarta Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengkritik sejumlah pasal dalam RKUHP yang dinilai dapat memperkuat stigma bagi penyandang disabilitas.
Mereka mengatakan bahwa Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, pemerintah dan DPR akan segera memasukkan RKUHP sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021, untuk kemudian dilanjutkan pembahasannya dan disahkan.
Wamenkumham juga mengatakan bahwa pembahasan selanjutnya hanya akan dilakukan terhadap pasal-pasal yang sebelumnya belum tuntas dibahas. Koalisi tersebut menilai bahwa pernyataan itu merugikan kelompok organisasi penyandang disabilitas, yang selama proses pembahasan RKUHP selama ini belum pernah dilibatkan.
Advertisement
"Organisasi Penyandang Disabilitas tidak pernah diundang atau dijelaskan mengenai pasal-pasal dalam RKUHP yang erat dengan kepentingan penyandang disabilitas," kata Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com, ditulis Senin (14/6/2021).
Koalisi menilai, bentuk pelibatan sulit tercapai karena pembahasan RKUHP tidak berjalan transparan dan inklusif. Dokumen-dokumen yang tersebar dianggap tidak dalam bentuk yang tidak aksesibel karena sulit dibaca penyandang disabilitas dengan hambatan penglihatan.
"Selain itu, forum-forum yang dilaksanakan sebagai bentuk sosialisasi RKUHP juga tidak pernah melibatkan juru bahasa isyarat, sehingga sulit dipahami oleh penyandang disabilitas dengan hambatan pendengaran," kata mereka.Â
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Kritik Beberapa Pasal
Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatakan, ada beberapa pasal RKUHP yang sebenarnya menyebut kata "disabilitas" secara langsung.
Namun menurut mereka, karena tidak pernah melibatkan organisasi penyandang disabilitas, maka rumusannya berdampak kepada potensi stigma yang tinggi bagi penyandang disabilitas, dan dapat menghadirkan ketidakadilan dalam hukum pidana di Indonesia.
"Draft RKUHP kontraproduktif dengan serangkaian upaya Pemerintah dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas saat ini," kata mereka.
Koalisi mengungkapkan bahwa ada beberapa pasal krusiap RKUHP yang berpotensi menebalkan stigma bagi penyandang disabilitas, di antaranya adalah pada pasal 38.
Dalam pasal 38, disebutkan bahwa: "Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan."
Koalisi mengatakan, pasal itu berpotensi menstigma penyandang disabilitas mental dan intelektual karena pada dasarnya, tidak setiap saat penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam kondisi yang tidak cakap hukum, atau tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Penilaian apakah seseorang, tidak hanya penyandang disabilitas atau intelektual, tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya harus melalui penilaian personal secara orang per orang dan kasus per kasus, tidak dapat disamaratakan," kata mereka.
Menurut Koalisi tersebut, penyamarataan berdasarkan identitas disabilitas ini beroptensi menebalkan stigma, serta hilangnya hak penyandang disabilitas.
"Kalaupun ada seseorang yang setelah melalui penilaian psikologi secara personal dan dinyatakan tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka sudah seharusnya lepas dari tuntutan, bukan pengurangan pidana seperti tertera dalam Pasal 38."
Advertisement
Mengenai Rehabilitasi
Pasal lain yang dikritik adalah pasal 103 ayat (2) huruf a, yang menyebutkan bahwa: "Tindakan yang dapat dikenakan kepada Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa: a. rehabilitasi."
Mereka mengatakan dalam perkembangan saat ini, Pasal 21 UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa layanan yang dikenal bukan hanya rehabilitas, tetapi juga ada habilitas. Meski tujuan keduanya hampir sama, namun sasarannya berbeda.
Rehabilitasi ditujukan kepada mereka yang sebelumnya merupakan non-disabilitas, sehingga dilakukan untuk mengembalikan kemampuan dalam kondisi yang berbeda.
Sedangkan habilitasi ditujukan untuk seseorang yang sedari awal atau lahir adalah penyandang disabilitas, sehingga perlu dilatih untuk hidup secara mandiri.
Pasal lain yang dinilai perlu direvisi dalam RKUHP adalah Pasal 106 ayat (1) huruf b, yang menyebutkan bahwa, "Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada terdakwa yang: b. menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual."
Koalisi mengatakan, penggunaan kata "menderita" menunjukkan penyandang disabilitas adalah korban atau seseorang yang patut dikasihani.
"Cara pandang itu sudah harus ditinggalkan dan beralih ke cara pandang HAM yang melihat disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan muncul karena dampak dari tidak aksesibelnya lingkungan dan interaksi di tengah masyarakat," tulis mereka.
Pasal 242 dan 243
Ketentuan lain yang dirasa harus dikoreksi dalam RKUHP adalah Pasal 242 dan 243.
Pasal 242 menyebutkan: "Setiap Orang yang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Sementara pasal 243 menyatakan: "Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya Kekerasan terhadap orang atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Koalisi mengatakan bahwa dalam kedua pasal tersebut hanya menyebutkan disabilitas mental dan fisik. Mereka menyatakan, kedua rumusan tersebut seharusnya juga melindungi seluruh penyandang disabilitas dari semua ragam.
"Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa ada 4 ragam disabilitas, yaitu disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan disabilitas sensorik. Walaupun dalam norma di ketentuan Pasal 242 dan 243 seharusnya cukup disebutkan 'disabilitas' yang mencakup seluruh ragam, tanpa perlu menyebutkan ragamnya satu per satu."
Advertisement