Qishash Adalah Hukum Pembalasan dalam Islam yang Menjamin Keadilan

Qishash adalah hukum pembalasan setimpal dalam Islam untuk kasus pembunuhan dan penganiayaan. Pelajari definisi, syarat, dan hikmah qishash di sini.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Nov 2024, 09:45 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2024, 09:45 WIB
qishash adalah
qishash adalah ©Ilustrasi dibuat AI

Liputan6.com, Jakarta Qishash merupakan salah satu bentuk hukuman dalam syariat Islam yang diterapkan untuk kasus-kasus pembunuhan dan penganiayaan. Konsep qishash sering disalahpahami sebagai hukuman yang kejam, padahal sebenarnya mengandung hikmah dan tujuan mulia untuk menjamin keadilan dan melindungi nyawa manusia. Artikel ini akan membahas secara komprehensif tentang qishash, mulai dari definisi, dasar hukum, syarat-syarat, hingga hikmah dan implementasinya.

Definisi Qishash dalam Hukum Islam

Secara bahasa, qishash berasal dari kata Arab "qashsha" yang berarti mengikuti jejak atau membalas. Dalam terminologi hukum Islam, qishash didefinisikan sebagai hukuman pembalasan yang setimpal terhadap pelaku tindak pidana, khususnya dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan.

Menurut Imam Al-Jurjani, qishash adalah:

"Perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tersebut."

Jadi pada intinya, qishash adalah hukuman yang memperlakukan pelaku kejahatan sebagaimana ia telah memperlakukan korbannya. Misalnya, pelaku pembunuhan dijatuhi hukuman mati, atau pelaku penganiayaan dilukai serupa dengan luka yang ia timbulkan pada korban.

Namun perlu dipahami bahwa qishash bukanlah tindakan balas dendam pribadi. Pelaksanaannya harus melalui proses peradilan yang sah dan diputuskan oleh hakim yang berwenang. Tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masyarakat.

Dasar Hukum Qishash dalam Al-Qur'an dan Hadits

Pensyariatan qishash dalam Islam didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Berikut adalah beberapa dalil utama yang menjadi landasan hukum qishash:

1. Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 178-179

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 178-179)

Ayat ini dengan jelas mewajibkan qishash bagi pelaku pembunuhan, namun juga membuka peluang pengampunan dari keluarga korban dengan membayar diyat (denda). Hal ini menunjukkan fleksibilitas hukum qishash.

2. Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 45

"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Maidah: 45)

Ayat ini menegaskan prinsip kesetaraan dalam qishash, baik untuk kasus pembunuhan maupun penganiayaan. Namun juga mendorong pengampunan sebagai bentuk penebusan dosa.

3. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang keluarganya terbunuh maka ia memiliki dua pilihan: bisa memilih diyat dan bisa qishash (balas bunuh)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa keluarga korban pembunuhan memiliki hak untuk memilih antara menuntut qishash atau menerima diyat sebagai kompensasi.

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa qishash memiliki landasan yang kuat dalam syariat Islam. Namun penerapannya harus memperhatikan berbagai syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Syarat-syarat Penerapan Hukuman Qishash

Tidak semua kasus pembunuhan atau penganiayaan otomatis dijatuhi hukuman qishash. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar qishash dapat diterapkan, antara lain:

1. Pelaku adalah orang mukallaf

Pelaku harus sudah baligh (dewasa) dan berakal sehat. Anak-anak dan orang gila tidak dikenai hukuman qishash. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:

"Diangkat pena (tidak dicatat amal perbuatan) dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia berakal." (HR. Abu Dawud)

2. Pembunuhan atau penganiayaan dilakukan dengan sengaja

Harus ada unsur kesengajaan dalam tindakan pelaku. Pembunuhan atau penganiayaan yang tidak disengaja tidak dikenai qishash, melainkan diyat. Niat dan motif pelaku menjadi pertimbangan penting.

3. Korban bukan anak atau cucu pelaku

Orang tua tidak di-qishash karena membunuh anaknya sendiri, berdasarkan hadits:

"Tidak di-qishash orang tua yang membunuh anaknya." (HR. Tirmidzi)

Namun sebaliknya, anak yang membunuh orang tuanya tetap dikenai qishash.

4. Adanya kesetaraan antara pelaku dan korban

Menurut sebagian ulama, harus ada kesetaraan dalam hal agama dan status kemerdekaan antara pelaku dan korban. Misalnya muslim dengan muslim, atau orang merdeka dengan orang merdeka. Namun pendapat lain menyatakan kesetaraan cukup dalam hal kemanusiaan saja.

5. Qishash dilaksanakan oleh pihak berwenang

Pelaksanaan qishash harus melalui proses peradilan yang sah dan diputuskan oleh hakim. Tidak boleh dilakukan main hakim sendiri oleh keluarga korban.

6. Ada tuntutan dari pihak keluarga korban

Qishash baru bisa dilaksanakan jika ada tuntutan dari ahli waris korban. Jika mereka memaafkan, maka qishash bisa diganti dengan diyat atau dibebaskan sama sekali.

Syarat-syarat di atas menunjukkan bahwa penerapan qishash dalam Islam sangat hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek. Tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan tanpa melampaui batas.

Hikmah dan Tujuan Pensyariatan Qishash

Meskipun terkesan keras, qishash memiliki hikmah dan tujuan mulia dalam syariat Islam. Beberapa di antaranya adalah:

1. Menjamin kelangsungan hidup masyarakat

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 179)

Qishash mencegah orang untuk melakukan pembunuhan, sehingga menjamin keselamatan nyawa manusia secara umum. Ketika seseorang tahu bahwa membunuh akan dibalas dengan hukuman mati, ia akan berpikir ulang untuk melakukannya.

2. Mewujudkan keadilan

Qishash memberikan hak kepada keluarga korban untuk menuntut pembalasan yang setimpal. Ini mewujudkan rasa keadilan dan mencegah balas dendam liar yang bisa menimbulkan konflik berkepanjangan.

3. Efek jera bagi pelaku dan masyarakat

Hukuman qishash yang tegas memberi efek jera, tidak hanya bagi pelaku tapi juga bagi masyarakat luas. Ini menjadi pencegahan agar kejahatan serupa tidak terulang.

4. Menjaga keamanan dan ketertiban

Dengan adanya ancaman qishash, masyarakat akan lebih terjaga dari tindak kejahatan pembunuhan dan penganiayaan. Ini menciptakan rasa aman dan tertib dalam kehidupan sosial.

5. Sarana penebusan dosa bagi pelaku

Bagi pelaku yang bertaubat, qishash bisa menjadi sarana penebusan dosa atas kejahatannya di dunia. Ini memberikan kesempatan baginya untuk bertobat sebelum dihisab di akhirat.

6. Membuka pintu maaf dan rekonsiliasi

Adanya opsi pengampunan dan pembayaran diyat membuka peluang rekonsiliasi antara pelaku dan keluarga korban. Ini mencerminkan spirit perdamaian dalam Islam.

Hikmah-hikmah di atas menunjukkan bahwa qishash bukan sekadar hukuman, tapi memiliki dimensi sosial yang luas dalam menjaga kemaslahatan umat.

Perbedaan Qishash dengan Jinayat dan Hudud

Dalam hukum pidana Islam, dikenal tiga jenis sanksi utama: qishash, jinayat, dan hudud. Meski sering dikaitkan, ketiganya memiliki perbedaan mendasar:

1. Qishash

Qishash adalah hukuman pembalasan setimpal untuk kasus pembunuhan dan penganiayaan. Pelaksanaannya tergantung pada tuntutan keluarga korban dan bisa diganti dengan diyat jika dimaafkan.

2. Jinayat

Jinayat mencakup semua tindak pidana yang dilarang syariat, termasuk pembunuhan, penganiayaan, pencurian, dll. Qishash sebenarnya bagian dari jinayat, tapi khusus untuk kasus yang ada unsur pembalasannya.

3. Hudud

Hudud adalah hukuman yang sudah ditetapkan kadarnya dalam Al-Qur'an dan Hadits, seperti hukuman untuk zina, pencurian, dll. Berbeda dengan qishash, hudud tidak bisa dimaafkan atau diganti dengan denda.

Perbedaan utamanya:

  • Qishash terkait hak manusia (adamiy), sedangkan hudud terkait hak Allah.
  • Qishash bisa dimaafkan, hudud tidak bisa.
  • Qishash bisa diganti diyat, hudud tidak bisa diganti.
  • Pelaksanaan qishash tergantung tuntutan korban/wali, hudud wajib dilaksanakan.

Pemahaman akan perbedaan ini penting untuk menerapkan hukum pidana Islam secara proporsional dan adil.

Implementasi Qishash di Negara-negara Muslim Modern

Penerapan qishash di negara-negara Muslim modern cukup bervariasi, tergantung sistem hukum yang dianut. Beberapa contohnya:

1. Arab Saudi

Arab Saudi masih menerapkan qishash secara ketat sesuai syariat Islam. Hukuman mati bagi pembunuh dilaksanakan dengan penggal kepala di depan umum. Namun tetap ada proses peradilan dan opsi pengampunan dari keluarga korban.

2. Iran

Iran juga menerapkan qishash, tapi pelaksanaannya lebih tertutup. Ada proses mediasi intensif untuk mendorong perdamaian antara pelaku dan keluarga korban. Banyak kasus yang akhirnya diselesaikan dengan diyat.

3. Pakistan

Pakistan mencantumkan qishash dalam undang-undangnya, tapi pelaksanaannya terbatas. Banyak kasus yang akhirnya diselesaikan dengan hukuman penjara atau denda.

4. Malaysia

Malaysia menerapkan hukum syariah terbatas, termasuk qishash. Namun implementasinya lebih banyak di ranah perdata Islam, bukan pidana.

5. Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar belum menerapkan qishash dalam sistem hukumnya. Kasus pembunuhan diadili dengan KUHP warisan Belanda. Namun di Aceh ada penerapan syariat Islam terbatas, meski belum sampai qishash.

Variasi penerapan ini menunjukkan bahwa implementasi qishash di era modern perlu mempertimbangkan konteks sosial-politik masing-masing negara. Namun prinsip keadilan dan perlindungan nyawa tetap menjadi tujuan utama.

Kontroversi dan Kritik terhadap Hukum Qishash

Meski memiliki landasan kuat dalam Islam, penerapan qishash tidak lepas dari kontroversi dan kritik, terutama di era modern. Beberapa kritik yang sering dilontarkan antara lain:

1. Dianggap melanggar HAM

Kritik utama terhadap qishash adalah bahwa hukuman mati dianggap melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup. Penentang hukuman mati berpendapat bahwa negara tidak berhak mencabut nyawa warganya dalam kondisi apapun.

2. Potensi kesalahan vonis

Ada kekhawatiran bahwa vonis qishash bisa salah sasaran jika proses peradilannya tidak sempurna. Hukuman mati bersifat irreversible, tidak bisa diperbaiki jika terbukti salah di kemudian hari.

3. Dianggap tidak manusiawi

Metode eksekusi qishash seperti penggal kepala dianggap kejam dan tidak manusiawi oleh sebagian kalangan. Mereka berpendapat bahwa hukuman seharusnya lebih menitikberatkan pada rehabilitasi, bukan pembalasan.

4. Tidak relevan dengan konteks modern

Ada pandangan bahwa qishash adalah produk hukum masa lalu yang tidak relevan lagi dengan konteks masyarakat modern yang lebih kompleks. Mereka menilai perlu pendekatan hukum yang lebih progresif.

5. Berpotensi disalahgunakan

Ada kekhawatiran qishash bisa disalahgunakan oleh penguasa untuk menyingkirkan lawan politik atau kelompok minoritas. Apalagi jika sistem peradilannya tidak independen.

6. Menghambat proses rekonsiliasi

Beberapa pihak menilai hukuman mati justru menghambat proses rekonsiliasi antara pelaku dan keluarga korban. Mereka berpendapat pendekatan restorative justice lebih efektif.

Menanggapi kritik-kritik tersebut, para pendukung qishash biasanya berargumen:

  • Qishash justru melindungi HAM dengan mencegah pembunuhan dan menjamin keamanan masyarakat.
  • Proses peradilan qishash sangat ketat dan hati-hati untuk menghindari kesalahan vonis.
  • Ada opsi pengampunan dan diyat yang membuka peluang rekonsiliasi.
  • Qishash memiliki efek jera yang lebih kuat dibanding hukuman penjara.
  • Prinsip keadilan dalam qishash tetap relevan di era modern.

Kontroversi ini menunjukkan perlunya dialog yang konstruktif antara berbagai pihak untuk menemukan format penerapan hukum yang adil dan manusiawi, namun tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.

Kesimpulan

Qishash merupakan salah satu bentuk hukuman dalam syariat Islam yang bertujuan menegakkan keadilan dan melindungi nyawa manusia. Meski sering disalahpahami sebagai hukuman yang kejam, qishash sebenarnya memiliki hikmah dan tujuan mulia dalam menjaga kemaslahatan umat.

Penerapan qishash harus memenuhi syarat-syarat ketat dan melalui proses peradilan yang adil. Adanya opsi pengampunan dan pembayaran diyat menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam mencari solusi terbaik. Di era modern, implementasi qishash perlu mempertimbangkan konteks sosial-politik masing-masing negara.

Terlepas dari kontroversi yang ada, prinsip keadilan dan perlindungan nyawa dalam qishash tetap relevan hingga kini. Yang diperlukan adalah pemahaman yang utuh tentang konsep qishash agar bisa diterapkan secara proporsional dan membawa maslahat bagi masyarakat luas.

Wallahu a'lam bishawab.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya