Apa Itu Ijtihad: Pengertian, Metode, dan Perannya dalam Hukum Islam

Ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh para ulama dalam menetapkan hukum Islam yang belum dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits.

oleh Liputan6 diperbarui 09 Jan 2025, 12:30 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2025, 12:30 WIB
apa itu ijtihad
apa itu ijtihad ©Ilustrasi dibuat AI

Liputan6.com, Jakarta Ijtihad merupakan salah satu konsep penting dalam hukum Islam. Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata "jahada" yang berarti bersungguh-sungguh atau mengerahkan segala kemampuan. Dalam terminologi Islam, ijtihad didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh para ulama atau ahli hukum Islam untuk menetapkan suatu hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Quran maupun Hadits.

Para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad sebagai:

"Pengerahan segenap kemampuan seorang ahli fiqh untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum syara' yang bersifat zhanni (dugaan kuat)."

Dari definisi tersebut, dapat dipahami beberapa hal penting terkait ijtihad:

  1. Ijtihad dilakukan oleh ulama atau ahli hukum Islam yang memiliki kapasitas keilmuan memadai
  2. Tujuannya adalah untuk menemukan hukum syariat atas suatu permasalahan
  3. Dilakukan untuk masalah yang belum ada ketetapan hukumnya secara jelas dan pasti dalam Al-Quran dan Hadits
  4. Hasil ijtihad bersifat zhanni (dugaan kuat), bukan qath'i (pasti)

Dengan demikian, ijtihad menjadi metode penting dalam pengembangan hukum Islam untuk menjawab berbagai persoalan baru yang muncul seiring perkembangan zaman. Melalui ijtihad, ajaran Islam dapat tetap relevan dan mampu memberikan solusi atas problematika kontemporer.

Dasar Hukum Ijtihad dalam Islam

Ijtihad memiliki landasan yang kuat dalam ajaran Islam, baik dari Al-Quran maupun Hadits. Beberapa dalil yang menjadi dasar dibolehkannya ijtihad antara lain:

  1. Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 59:"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
  2. Hadits Nabi Muhammad SAW ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman:"Bagaimana engkau akan memutuskan perkara apabila dihadapkan kepadamu suatu perkara?" Muadz menjawab, "Saya akan memutuskannya dengan Kitabullah." Nabi bertanya, "Apabila tidak engkau dapati dalam Kitabullah?" Muadz menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah." Nabi bertanya lagi, "Apabila tidak engkau dapati dalam Sunnah Rasulullah?" Muadz menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur." Kemudian Rasulullah menepuk dada Muadz seraya berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah." (HR. Abu Dawud)

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa ijtihad dibenarkan dalam Islam, khususnya untuk permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits. Namun tentu saja, ijtihad harus dilakukan dengan metode dan syarat-syarat tertentu agar hasilnya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar syariat Islam.

Syarat-syarat Melakukan Ijtihad

Tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Para ulama telah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) agar hasil ijtihadnya dapat dipertanggungjawabkan. Syarat-syarat tersebut antara lain:

  1. Menguasai bahasa Arab dengan baik, meliputi ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan aspek-aspek kebahasaan lainnya. Hal ini penting karena sumber utama hukum Islam (Al-Quran dan Hadits) menggunakan bahasa Arab.
  2. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Al-Quran, meliputi asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), nasikh mansukh (ayat-ayat yang menghapus dan dihapus), muhkam mutasyabih (ayat-ayat yang jelas dan samar maknanya), serta aspek-aspek lain terkait ilmu Al-Quran.
  3. Menguasai ilmu Hadits secara komprehensif, termasuk pengetahuan tentang kualitas hadits (shahih, hasan, dha'if), ilmu rijal al-hadits (biografi perawi), dan metode pemahaman hadits.
  4. Memahami ijma' (konsensus ulama) terdahulu agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma' yang telah disepakati.
  5. Menguasai ilmu ushul fiqh sebagai metodologi dalam melakukan istinbath (penggalian) hukum.
  6. Memahami maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) agar hasil ijtihad selaras dengan spirit dan nilai-nilai universal Islam.
  7. Memiliki pemahaman yang baik tentang realitas sosial dan perkembangan zaman agar dapat mengontekstualisasikan hukum Islam dengan tepat.
  8. Memiliki sifat adil, jujur, dan takwa sehingga tidak mengeluarkan fatwa berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan pribadi.

Syarat-syarat tersebut menunjukkan bahwa ijtihad bukanlah perkara mudah yang dapat dilakukan sembarangan orang. Dibutuhkan kualifikasi keilmuan yang mumpuni serta integritas moral yang tinggi agar hasil ijtihad benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun agama.

Metode-metode Ijtihad dalam Hukum Islam

Para ulama telah mengembangkan berbagai metode ijtihad untuk menemukan hukum Islam atas permasalahan yang belum ada ketetapan eksplisitnya dalam Al-Quran dan Hadits. Beberapa metode ijtihad yang dikenal dalam ushul fiqh antara lain:

  1. Qiyas (Analogi): Menetapkan hukum suatu permasalahan baru dengan cara menganalogikannya pada kasus serupa yang telah ada hukumnya dalam nash (Al-Quran/Hadits). Metode ini didasarkan pada kesamaan 'illat (alasan hukum) antara kasus baru dengan kasus lama.
  2. Istihsan: Meninggalkan qiyas jali (analogi yang jelas) menuju qiyas khafi (analogi yang samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) menuju hukum juz'i (khusus) karena ada dalil yang menurut logika membenarkannya.
  3. Mashlahah Mursalah: Menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash, namun sejalan dengan tujuan-tujuan syariat (maqashid syariah).
  4. Istishab: Menetapkan keberlakuan hukum yang sudah ada pada masa lalu hingga ada dalil yang mengubahnya.
  5. 'Urf (Adat Kebiasaan): Menjadikan kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum.
  6. Sadd adz-Dzari'ah: Menutup jalan yang dapat mengarah pada kerusakan atau kemudharatan, meskipun pada dasarnya perbuatan tersebut dibolehkan.
  7. Fath adz-Dzari'ah: Membuka jalan yang dapat mengarah pada kebaikan atau kemaslahatan.

Metode-metode tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi dan digunakan secara komprehensif dalam proses ijtihad. Seorang mujtahid harus mampu memilih dan mengaplikasikan metode yang paling tepat sesuai dengan karakteristik permasalahan yang dihadapi.

Jenis-jenis Ijtihad dalam Hukum Islam

Ijtihad dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan berbagai sudut pandang. Berikut adalah beberapa jenis ijtihad yang dikenal dalam kajian ushul fiqh:

  1. Berdasarkan Pelakunya:
    • Ijtihad Fardi: Ijtihad yang dilakukan secara individual oleh seorang mujtahid.
    • Ijtihad Jama'i: Ijtihad yang dilakukan secara kolektif oleh sekelompok ulama atau lembaga fatwa.
  2. Berdasarkan Cakupannya:
    • Ijtihad Kulli: Ijtihad yang mencakup seluruh aspek hukum Islam.
    • Ijtihad Juz'i: Ijtihad yang terbatas pada masalah atau bidang tertentu saja.
  3. Berdasarkan Metodenya:
    • Ijtihad Bayani: Ijtihad untuk menjelaskan hukum yang terdapat dalam nash yang masih samar.
    • Ijtihad Qiyasi: Ijtihad dengan menggunakan metode qiyas (analogi).
    • Ijtihad Istishlahi: Ijtihad dengan mempertimbangkan kemaslahatan umum.
  4. Berdasarkan Kualifikasi Mujtahid:
    • Ijtihad Mutlaq: Ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid yang memiliki kapasitas untuk berijtihad dalam seluruh permasalahan hukum.
    • Ijtihad Muqayyad: Ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid yang hanya mampu berijtihad dalam masalah atau mazhab tertentu.

Pembagian jenis ijtihad ini menunjukkan fleksibilitas dan dinamika dalam proses pengembangan hukum Islam. Setiap jenis ijtihad memiliki karakteristik dan konteks penerapan yang berbeda, sehingga dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi.

Fungsi dan Peran Ijtihad dalam Hukum Islam

Ijtihad memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam perkembangan dan dinamika hukum Islam. Beberapa fungsi utama ijtihad antara lain:

  1. Menjawab Persoalan Kontemporer: Ijtihad berperan dalam memberikan solusi hukum atas berbagai permasalahan baru yang muncul seiring perkembangan zaman, teknologi, dan peradaban. Misalnya, hukum terkait transaksi elektronik, bayi tabung, atau transplantasi organ.
  2. Kontekstualisasi Hukum Islam: Melalui ijtihad, ajaran Islam dapat diimplementasikan secara kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat dan perkembangan zaman, tanpa menghilangkan esensi dan nilai-nilai fundamentalnya.
  3. Pengembangan Hukum Islam: Ijtihad berfungsi mengembangkan khazanah hukum Islam dengan merumuskan hukum-hukum baru yang belum dibahas oleh ulama terdahulu.
  4. Revitalisasi Hukum Islam: Ijtihad berperan dalam menghidupkan kembali spirit dan semangat ajaran Islam agar tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman.
  5. Unifikasi Hukum Islam: Melalui ijtihad kolektif (jama'i), dapat dirumuskan kesepakatan hukum yang menjadi pegangan bersama umat Islam, sehingga mengurangi perbedaan pendapat yang tajam.
  6. Fleksibilitas Hukum Islam: Ijtihad menunjukkan bahwa hukum Islam bersifat fleksibel dan adaptif terhadap perubahan zaman, bukan hukum yang kaku dan statis.
  7. Merealisasikan Maqashid Syariah: Melalui ijtihad, para ulama berupaya mewujudkan tujuan-tujuan syariat (maqashid syariah) dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

Dengan fungsi-fungsi tersebut, ijtihad menjadi instrumen penting yang menjamin keberlangsungan dan relevansi hukum Islam di tengah dinamika kehidupan manusia yang terus berubah. Ijtihad memungkinkan Islam untuk tetap menjadi solusi dan pedoman hidup yang applicable dalam berbagai konteks ruang dan waktu.

Contoh-contoh Ijtihad dalam Permasalahan Kontemporer

Untuk lebih memahami penerapan ijtihad dalam konteks kekinian, berikut beberapa contoh ijtihad yang dilakukan para ulama kontemporer dalam menjawab persoalan-persoalan modern:

  1. Hukum Transplantasi Organ: Mayoritas ulama kontemporer membolehkan transplantasi organ dengan syarat-syarat tertentu, seperti adanya kebutuhan mendesak, tidak membahayakan pendonor, dan tidak ada alternatif pengobatan lain. Ijtihad ini didasarkan pada prinsip menyelamatkan nyawa manusia yang merupakan salah satu maqashid syariah.
  2. Zakat Profesi:Beberapa ulama kontemporer berijtihad bahwa penghasilan dari profesi modern seperti dokter, pengacara, atau karyawan wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai nishab. Ijtihad ini menganalogikan penghasilan profesi dengan hasil pertanian yang wajib dizakati.
  3. Hukum Asuransi:Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum asuransi konvensional. Sebagian membolehkan dengan syarat-syarat tertentu, sementara sebagian lain mengharamkannya. Namun, mayoritas ulama membolehkan asuransi syariah yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
  4. Jual Beli Online:Para ulama kontemporer umumnya membolehkan jual beli online dengan syarat terpenuhinya rukun dan syarat jual beli, serta adanya kejelasan spesifikasi barang dan metode pembayaran. Ijtihad ini didasarkan pada prinsip kemudahan dalam bermuamalah.
  5. Hukum Vasektomi dan Tubektomi:Mayoritas ulama mengharamkan vasektomi dan tubektomi permanen karena dianggap mengubah ciptaan Allah. Namun, sebagian ulama membolehkan jika ada kebutuhan mendesak dan tidak bersifat permanen.
  6. Hukum Aborsi:Para ulama umumnya mengharamkan aborsi kecuali dalam kondisi darurat yang mengancam nyawa ibu. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai batas waktu dibolehkannya aborsi, mulai dari 40 hari hingga 120 hari usia kehamilan.
  7. Hukum Kloning:Mayoritas ulama mengharamkan kloning manusia karena dianggap melampaui batas kewenangan manusia dan berpotensi menimbulkan kekacauan nasab. Namun, kloning hewan atau tumbuhan untuk kepentingan ilmiah dan kemaslahatan umumnya dibolehkan.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa ijtihad terus dilakukan oleh para ulama untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer. Meskipun terkadang terjadi perbedaan pendapat, namun ijtihad-ijtihad tersebut tetap didasarkan pada prinsip-prinsip dan metodologi yang telah digariskan dalam ilmu ushul fiqh.

Kontroversi dan Tantangan Seputar Ijtihad

Meskipun ijtihad memiliki peran penting dalam pengembangan hukum Islam, namun praktik ijtihad juga tidak lepas dari berbagai kontroversi dan tantangan. Beberapa isu yang sering menjadi perdebatan terkait ijtihad antara lain:

  1. Tertutupnya Pintu Ijtihad:Sebagian kalangan berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak abad ke-4 Hijriah. Namun, mayoritas ulama kontemporer menolak pandangan ini dan menegaskan bahwa ijtihad tetap terbuka dan diperlukan untuk menjawab problematika umat.
  2. Kualifikasi Mujtahid:Terdapat perdebatan mengenai standar kualifikasi seorang mujtahid. Sebagian kalangan menetapkan syarat yang sangat ketat, sementara yang lain berpendapat bahwa syarat mujtahid dapat lebih fleksibel sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.
  3. Ijtihad vs Taqlid:Masih terdapat perdebatan antara kelompok yang mendorong ijtihad dengan kelompok yang lebih cenderung pada taqlid (mengikuti pendapat ulama terdahulu). Hal ini terkadang menimbulkan ketegangan dalam diskursus hukum Islam.
  4. Batasan Ijtihad:Terdapat perbedaan pendapat mengenai batasan ijtihad, terutama terkait masalah-masalah yang sudah ada nash qath'i (dalil yang pasti) atau telah menjadi ijma' ulama.
  5. Ijtihad Individual vs Kolektif:Sebagian kalangan lebih menekankan pentingnya ijtihad kolektif (jama'i) untuk menghindari subjektivitas, sementara yang lain tetap membuka ruang bagi ijtihad individual.
  6. Metodologi Ijtihad:Terdapat perbedaan pendekatan dalam metodologi ijtihad, misalnya antara kelompok tekstualis yang lebih berpegang pada zhahir nash dengan kelompok kontekstualis yang lebih menekankan maqashid syariah.
  7. Ijtihad dan Modernitas:Terdapat perdebatan sejauh mana ijtihad dapat mengakomodasi nilai-nilai modernitas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental Islam.

Tantangan-tantangan tersebut menunjukkan bahwa diskursus seputar ijtihad masih terus berkembang dan memerlukan kajian mendalam. Diperlukan dialog yang konstruktif antar berbagai pemikiran untuk menemukan formulasi ijtihad yang tepat dalam menjawab problematika umat Islam kontemporer.

Kesimpulan

Ijtihad merupakan instrumen penting dalam pengembangan hukum Islam yang memungkinkan ajaran Islam tetap relevan dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer. Melalui ijtihad, para ulama berupaya menemukan solusi hukum atas permasalahan-permasalahan baru yang belum ada ketetapan eksplisitnya dalam Al-Quran dan Hadits.

Meskipun terdapat berbagai metode dan pendekatan dalam berijtihad, namun pada prinsipnya ijtihad harus tetap berpijak pada sumber-sumber utama hukum Islam serta memperhatikan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat). Ijtihad bukanlah tindakan sewenang-wenang dalam menetapkan hukum, melainkan upaya sungguh-sungguh yang didasari keilmuan mendalam dan metodologi yang ketat.

Di tengah dinamika kehidupan modern yang terus berubah, ijtihad menjadi semakin penting untuk memastikan Islam tetap menjadi solusi dan pedoman hidup yang applicable. Namun demikian, praktik ijtihad juga harus terus dievaluasi dan dikembangkan agar benar-benar dapat mewujudkan kemaslahatan umat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental ajaran Islam.

Ijtihad menunjukkan fleksibilitas dan dinamisme hukum Islam dalam merespon perkembangan zaman. Melalui ijtihad, Islam membuktikan diri sebagai ajaran yang shālih li kulli zamān wa makān (sesuai untuk setiap waktu dan tempat).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya