Perbedaan Putusan dan Penetapan dalam Sistem Peradilan Indonesia, Simak Contoh Kasusnya

Memahami perbedaan mendasar antara putusan dan penetapan pengadilan, termasuk definisi, karakteristik, proses, dan implikasi hukumnya.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Jan 2025, 16:37 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2025, 16:37 WIB
perbedaan putusan dan penetapan
perbedaan putusan dan penetapan ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Dalam sistem peradilan Indonesia, terdapat dua jenis produk hukum utama yang dihasilkan oleh pengadilan, yaitu putusan dan penetapan. Meski keduanya merupakan hasil dari proses peradilan, putusan dan penetapan memiliki karakteristik dan implikasi hukum yang berbeda.

Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Putusan bersifat mengikat dan memiliki kekuatan eksekutorial. Putusan dikeluarkan sebagai hasil dari proses pemeriksaan perkara yang bersifat kontentiosa atau mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih.

Sementara itu, penetapan pengadilan adalah produk pengadilan dalam perkara-perkara permohonan yang bersifat voluntair atau tidak mengandung sengketa. Penetapan hanya melibatkan satu pihak yang disebut sebagai pemohon. Penetapan tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan hanya bersifat deklaratoir atau menyatakan suatu keadaan hukum tertentu.

Perbedaan mendasar antara putusan dan penetapan terletak pada sifat perkaranya. Putusan dikeluarkan untuk menyelesaikan sengketa, sedangkan penetapan dikeluarkan untuk mengabulkan permohonan sepihak tanpa adanya pihak lawan. Pemahaman akan perbedaan ini penting dalam konteks hukum acara perdata dan praktik peradilan di Indonesia.

Karakteristik Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan memiliki beberapa karakteristik khas yang membedakannya dari penetapan. Berikut adalah ciri-ciri utama dari putusan pengadilan:

  1. Bersifat kontentiosa: Putusan selalu dikeluarkan dalam perkara yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih. Ada pihak penggugat yang mengajukan tuntutan hak, dan ada pihak tergugat yang membantah tuntutan tersebut.
  2. Adanya pihak yang kalah dan menang: Dalam putusan, selalu ada pihak yang dinyatakan kalah dan pihak yang dinyatakan menang. Putusan memberikan penyelesaian atas sengketa dengan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
  3. Bersifat mengikat para pihak: Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara. Putusan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.
  4. Memiliki kekuatan eksekutorial: Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dieksekusi atau dilaksanakan secara paksa dengan bantuan aparat penegak hukum jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara sukarela.
  5. Dapat diajukan upaya hukum: Terhadap putusan pengadilan, pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali sesuai ketentuan yang berlaku.

Karakteristik-karakteristik tersebut menjadikan putusan pengadilan sebagai produk hukum yang memiliki kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan pelaksanaannya. Putusan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan menyelesaikan sengketa secara tuntas antara para pihak yang berperkara.

Karakteristik Penetapan Pengadilan

Berbeda dengan putusan, penetapan pengadilan memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya. Berikut adalah ciri-ciri utama dari penetapan pengadilan:

  1. Bersifat voluntair: Penetapan dikeluarkan dalam perkara yang bersifat permohonan sepihak, tanpa ada pihak lawan atau sengketa. Hanya ada pemohon yang mengajukan permohonan kepada pengadilan.
  2. Tidak ada pihak yang kalah atau menang: Dalam penetapan, tidak ada istilah pihak yang kalah atau menang. Pengadilan hanya mengabulkan atau menolak permohonan yang diajukan pemohon.
  3. Bersifat deklaratoir: Penetapan hanya bersifat menyatakan atau mengesahkan suatu keadaan hukum tertentu. Tidak ada penghukuman atau perintah kepada pihak lain.
  4. Tidak memiliki kekuatan eksekutorial: Penetapan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya karena sifatnya hanya deklaratoir. Tidak ada pihak yang diwajibkan untuk melaksanakan isi penetapan.
  5. Tidak dapat diajukan upaya hukum: Terhadap penetapan pengadilan pada prinsipnya tidak dapat diajukan upaya hukum seperti banding atau kasasi, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Karakteristik-karakteristik tersebut menjadikan penetapan sebagai produk pengadilan yang lebih sederhana dibandingkan putusan. Penetapan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas suatu keadaan atau status hukum tertentu berdasarkan permohonan pemohon, tanpa adanya sengketa dengan pihak lain.

Proses Pemeriksaan Perkara dalam Putusan

Proses pemeriksaan perkara yang berujung pada putusan pengadilan memiliki tahapan yang lebih kompleks dibandingkan dengan penetapan. Berikut adalah tahapan umum dalam proses pemeriksaan perkara untuk putusan:

  1. Pengajuan gugatan: Proses dimulai dengan pengajuan gugatan tertulis oleh penggugat ke pengadilan yang berwenang. Gugatan berisi dalil-dalil dan tuntutan penggugat terhadap tergugat.
  2. Pemanggilan para pihak: Pengadilan akan memanggil penggugat dan tergugat untuk menghadiri sidang pertama pada waktu yang telah ditentukan.
  3. Mediasi: Sebelum pemeriksaan pokok perkara, pengadilan akan mengupayakan perdamaian melalui proses mediasi yang difasilitasi oleh mediator.
  4. Pembacaan gugatan: Jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan oleh penggugat.
  5. Jawaban tergugat: Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawaban tertulis atas gugatan penggugat.
  6. Replik dan duplik: Penggugat dapat mengajukan replik (tanggapan atas jawaban tergugat), dan tergugat dapat mengajukan duplik (tanggapan atas replik penggugat).
  7. Pembuktian: Para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung dalil-dalil mereka, baik bukti tertulis maupun saksi-saksi.
  8. Kesimpulan: Para pihak menyampaikan kesimpulan akhir dari hasil pemeriksaan perkara.
  9. Musyawarah majelis hakim: Majelis hakim bermusyawarah untuk mengambil putusan atas perkara tersebut.
  10. Pembacaan putusan: Putusan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Proses pemeriksaan perkara untuk putusan bersifat adversarial, di mana masing-masing pihak diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan dalil-dalil dan pembuktian. Prinsip audi et alteram partem (mendengar kedua belah pihak) diterapkan secara ketat dalam proses ini untuk menjamin keadilan bagi para pihak.

Proses Pemeriksaan Perkara dalam Penetapan

Berbeda dengan putusan, proses pemeriksaan perkara untuk penetapan pengadilan umumnya lebih sederhana dan singkat. Berikut adalah tahapan umum dalam proses pemeriksaan perkara untuk penetapan:

  1. Pengajuan permohonan: Proses dimulai dengan pengajuan permohonan tertulis oleh pemohon ke pengadilan yang berwenang. Permohonan berisi uraian tentang hal yang dimohonkan penetapannya kepada pengadilan.
  2. Pemeriksaan kelengkapan berkas: Pengadilan akan memeriksa kelengkapan berkas permohonan dan persyaratan administratif yang diperlukan.
  3. Penetapan hari sidang: Jika berkas dinyatakan lengkap, hakim akan menetapkan hari sidang dan memanggil pemohon.
  4. Pemeriksaan permohonan: Dalam sidang, hakim akan memeriksa permohonan dengan mendengar keterangan pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan.
  5. Pembuktian: Pemohon diberi kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung permohonannya, baik bukti tertulis maupun saksi-saksi jika diperlukan.
  6. Musyawarah hakim: Hakim akan mempertimbangkan permohonan dan bukti-bukti yang diajukan untuk mengambil keputusan.
  7. Pembacaan penetapan: Hakim membacakan penetapan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Proses pemeriksaan untuk penetapan bersifat ex-parte atau sepihak, karena hanya melibatkan pemohon tanpa ada pihak lawan. Hakim akan menilai apakah permohonan tersebut beralasan dan tidak bertentangan dengan hukum. Jika dinilai beralasan, hakim akan mengabulkan permohonan dengan mengeluarkan penetapan.

Proses ini umumnya lebih cepat dibandingkan dengan proses untuk putusan, karena tidak ada tahap jawab-menjawab atau bantahan dari pihak lain. Namun, hakim tetap harus cermat dalam memeriksa permohonan untuk memastikan bahwa penetapan yang dikeluarkan tidak merugikan pihak ketiga atau bertentangan dengan kepentingan umum.

Implikasi Hukum Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan memiliki implikasi hukum yang signifikan bagi para pihak yang berperkara dan bahkan pihak ketiga dalam beberapa kasus. Berikut adalah beberapa implikasi hukum utama dari putusan pengadilan:

  1. Kekuatan mengikat (binding force): Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mengikat para pihak yang berperkara. Mereka wajib mematuhi dan melaksanakan isi putusan tersebut.
  2. Kekuatan pembuktian (probative force): Putusan pengadilan memiliki kekuatan sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak mengenai apa yang diputuskan.
  3. Kekuatan eksekutorial (executorial force): Putusan yang bersifat condemnatoir (menghukum) dapat dilaksanakan secara paksa dengan bantuan alat negara jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara sukarela.
  4. Nebis in idem: Perkara yang telah diputus dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan lagi untuk kedua kalinya dengan subjek, objek, dan alasan yang sama.
  5. Perubahan status hukum: Putusan dapat mengubah status hukum seseorang atau suatu objek, misalnya dalam kasus perceraian atau pembatalan perjanjian.
  6. Dasar pelaksanaan hak: Putusan dapat menjadi dasar bagi pihak yang menang untuk melaksanakan haknya, misalnya hak untuk menguasai objek sengketa.
  7. Akibat terhadap pihak ketiga: Dalam beberapa kasus, putusan dapat memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga yang tidak ikut berperkara, misalnya dalam sengketa kepemilikan tanah yang melibatkan hak tanggungan.

Implikasi hukum dari putusan pengadilan ini menunjukkan betapa pentingnya proses peradilan dalam menyelesaikan sengketa dan memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, hakim harus sangat berhati-hati dan cermat dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan, mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dari putusannya.

Implikasi Hukum Penetapan Pengadilan

Meskipun tidak sekuat putusan, penetapan pengadilan juga memiliki implikasi hukum tertentu. Berikut adalah beberapa implikasi hukum utama dari penetapan pengadilan:

  1. Kekuatan deklaratoir: Penetapan memiliki kekuatan untuk menyatakan suatu keadaan hukum tertentu. Misalnya, penetapan pengangkatan anak menyatakan secara sah status anak angkat.
  2. Berlaku bagi pihak ketiga: Meskipun hanya dimohonkan oleh satu pihak, penetapan pengadilan pada umumnya berlaku dan harus dihormati oleh pihak ketiga atau masyarakat umum.
  3. Dasar tindakan hukum: Penetapan dapat menjadi dasar untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Misalnya, penetapan wali dapat menjadi dasar bagi wali untuk melakukan tindakan hukum atas nama anak yang di bawah perwaliannya.
  4. Perubahan status atau kedudukan hukum: Penetapan dapat mengubah status atau kedudukan hukum seseorang. Contohnya, penetapan pengangkatan anak mengubah status hukum seorang anak menjadi anak angkat dari pemohon.
  5. Alat bukti: Penetapan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam hubungan hukum atau perkara lain yang terkait dengan isi penetapan tersebut.
  6. Dasar pencatatan administratif: Penetapan sering menjadi dasar untuk pencatatan administratif, misalnya penetapan perubahan nama menjadi dasar perubahan nama dalam dokumen kependudukan.
  7. Tidak memiliki kekuatan eksekutorial: Berbeda dengan putusan, penetapan tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

Meskipun implikasi hukum penetapan tidak sekuat putusan, penetapan tetap memiliki arti penting dalam memberikan kepastian hukum atas status atau keadaan tertentu. Penetapan juga sering menjadi prasyarat untuk melakukan tindakan hukum atau administratif tertentu.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun pada prinsipnya penetapan tidak dapat diajukan upaya hukum, dalam praktik terkadang ada pengecualian. Misalnya, penetapan pengadilan yang menolak permohonan dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam kasus-kasus tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.

Perbedaan Utama Putusan dan Penetapan

Untuk memahami lebih jelas perbedaan antara putusan dan penetapan pengadilan, berikut adalah rangkuman perbedaan utama antara keduanya:

  1. Sifat perkara:
    • Putusan: Bersifat kontentiosa (sengketa antara dua pihak atau lebih)
    • Penetapan: Bersifat voluntair (permohonan sepihak tanpa sengketa)
  2. Pihak yang terlibat:
    • Putusan: Ada penggugat dan tergugat
    • Penetapan: Hanya ada pemohon
  3. Sifat pemeriksaan:
    • Putusan: Bersifat contradictoir (ada proses sanggah-menyanggah)
    • Penetapan: Bersifat ex-parte (sepihak)
  4. Hasil akhir:
    • Putusan: Ada pihak yang menang dan kalah
    • Penetapan: Tidak ada istilah menang atau kalah
  5. Kekuatan hukum:
    • Putusan: Memiliki kekuatan eksekutorial
    • Penetapan: Tidak memiliki kekuatan eksekutorial
  6. Upaya hukum:
    • Putusan: Dapat diajukan upaya hukum (banding, kasasi, PK)
    • Penetapan: Pada prinsipnya tidak dapat diajukan upaya hukum
  7. Isi:
    • Putusan: Dapat bersifat deklaratoir, constitutief, atau condemnatoir
    • Penetapan: Umumnya hanya bersifat deklaratoir
  8. Proses pemeriksaan:
    • Putusan: Lebih kompleks dan panjang
    • Penetapan: Lebih sederhana dan singkat
  9. Akibat hukum:
    • Putusan: Mengikat para pihak yang berperkara
    • Penetapan: Berlaku umum dan harus dihormati pihak ketiga
  10. Fungsi:
    • Putusan: Menyelesaikan sengketa
    • Penetapan: Menetapkan status atau keadaan hukum tertentu

Pemahaman akan perbedaan-perbedaan ini penting bagi praktisi hukum, pihak yang berperkara, maupun masyarakat umum untuk mengetahui konsekuensi hukum dari masing-masing produk pengadilan ini. Perbedaan ini juga menentukan prosedur yang harus ditempuh dan hak-hak yang dimiliki oleh pihak yang terkait dalam proses peradilan.

Contoh Kasus Putusan dan Penetapan

Untuk lebih memahami perbedaan antara putusan dan penetapan dalam praktik, berikut adalah beberapa contoh kasus untuk masing-masing:

Contoh Kasus Putusan:

  1. Gugatan perceraian: Seorang istri mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya dengan alasan pertengkaran terus-menerus. Setelah melalui proses pemeriksaan, hakim mengeluarkan putusan yang mengabulkan gugatan dan menyatakan perkawinan putus karena perceraian.
  2. Sengketa tanah: Penggugat menggugat tergugat atas kepemilikan sebidang tanah. Setelah pemeriksaan bukti-bukti, hakim memutuskan bahwa tanah tersebut adalah milik sah penggugat dan memerintahkan tergugat untuk menyerahkan tanah tersebut.
  3. Gugatan wanprestasi: Penggugat menggugat tergugat atas pelanggaran perjanjian jual-beli. Hakim memutuskan bahwa tergugat terbukti melakukan wanprestasi dan menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi kepada penggugat.
  4. Gugatan pembatalan perjanjian: Penggugat menggugat pembatalan perjanjian karena adanya unsur penipuan. Hakim memutuskan membatalkan perjanjian tersebut dan memerintahkan para pihak untuk mengembalikan ke keadaan semula.

Contoh Kasus Penetapan:

  1. Permohonan pengangkatan anak: Sepasang suami istri mengajukan permohonan untuk mengangkat seorang anak. Hakim mengeluarkan penetapan yang mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan anak tersebut sah sebagai anak angkat pemohon.
  2. Permohonan perubahan nama: Seseorang mengajukan permohonan untuk mengubah namanya. Hakim mengeluarkan penetapan yang mengabulkan permohonan tersebut dan menetapkan nama baru pemohon.
  3. Permohonan wali: Seorang paman mengajukan permohonan untuk menjadi wali dari keponakannya yang yatim piatu. Hakim mengeluarkan penetapan yang mengangkat pemohon sebagai wali sah dari anak tersebut.
  4. Permohonan penetapan ahli waris: Anak-anak almarhum mengajukan permohonan penetapan ahli waris untuk keperluan balik nama sertifikat tanah. Hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan pemohon-pemohon sebagai ahli waris yang sah dari almarhum.

Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan perbedaan karakteristik antara putusan dan penetapan. Putusan selalu melibatkan sengketa antara dua pihak atau lebih dan menghasilkan pihak yang menang dan kalah. Sementara penetapan hanya melibatkan satu pihak pemohon dan bertujuan untuk menetapkan suatu status atau keadaan hukum tertentu.

Kesimpulan

Pemahaman mengenai perbedaan antara putusan dan penetapan pengadilan sangat penting dalam konteks hukum acara perdata di Indonesia. Kedua produk hukum ini memiliki karakteristik, proses, dan implikasi hukum yang berbeda, meskipun keduanya dikeluarkan oleh lembaga peradilan.

Putusan pengadilan merupakan hasil dari proses penyelesaian sengketa yang bersifat kontentiosa, melibatkan dua pihak atau lebih yang bersengketa. Putusan memiliki kekuatan mengikat dan eksekutorial, serta dapat diajukan upaya hukum. Di sisi lain, penetapan pengadilan adalah produk hukum yang dihasilkan dari permohonan sepihak tanpa ada sengketa, bersifat deklaratoir, dan pada prinsipnya tidak dapat diajukan upaya hukum.

Perbedaan ini memiliki implikasi penting dalam praktik hukum. Pemilihan antara mengajukan gugatan (yang berujung pada putusan) atau permohonan (yang berujung pada penetapan) harus didasarkan pada sifat perkara dan tujuan yang ingin dicapai. Pemahaman yang tepat akan membantu para pihak dan praktisi hukum dalam menentukan langkah hukum yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan situasi hukum yang dihadapi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya