Liputan6.com, Essex - Pastor Thomas Byles memilih tetap tinggal di atas RMSÂ Titanic yang terbaring miring dan gawat di Samudra Atlantik Utara. Kapal itu menabrak gunung es pada Minggu 14 April 1912.
Dua kali ia menolak tawaran menaiki sekoci -- yang bakal menyelamatkan nyawanya, tak mau meninggalkan para penumpang yang panik, menenangkan mereka, dan terus memimpin doa hingga saat-saat terakhir.
Pastor Byles dari Gereja St Helen's, Chipping Ongar, Essex, ikut dalam pelayaran perdana sekaligus terakhir Titanic, dari Southampton, Inggris untuk menghadiri pernikahan adiknya di New York, Amerika Serikat.
Pastor Byles, yang pernah menuntut ilmu di Fleetwood, Lancashire, dan Oxford, menjadi pemuka agama di St Helen's selama 8 tahun ketika tragedi Titanic terjadi.
Ia memimpin misa untuk penumpang kelas 2 dan 3 dalam kapal. Terutama saat pagi hari saat kecelakaan terjadi, sebelum Titanic karam ke dasar samudera.
Sang pemuka agama ikut tewas bersama lebih dari 1.500 orang lainnya dalam tragedi kecelakaan laut terbesar di Abad ke-20. Apa yang dilakukan Byles, yang tak meninggalkan umat demi mencari selamat, mendapat pujian dari Paus Pius X.
Kini, sebuah kampanye sedang diselenggarakan, agar pemuka agama Katolik itu mendapatkan gelar Santo atau Orang Kudus.
"Pastor Byles adalah sosok yang luar biasa, yang memberikan hidupnya untuk orang lain," kata Pastor Graham Smith, pemuka agama di St Helen's saat ini, seperti dikutip dari BBC, Senin (13/4/2015).
"Kami merasa -- dalam bahasa lama -- untuk 'menaikkannya ke altar', yang berarti Vatikan mengakuinya sebagai martir gereja."
Pastor Smith menambahkan, pihaknya berharap dan berdoa agar Pastor Thomas Byles dikanonisasi sebagai Santo.
Untuk menjadi Santo, aturan menyebutkan, setidaknya 2 keajaiban atau mukjizat harus dikaitkan dengan perantaraan kandidat.
Fenomena yang diakui sebagai keajaiban harus diakui oleh para dokter sebagai kasus yang tak bisa dijelaskan secara medis.
"Kami berharap orang-orang di seluruh dunia mendoakannya (Byles), dan menjadikan beliau perantara, ketika menginginkan sesuatu. Jika keajaiban terjadi karenanya, maka beatifikasi dan kanonisasi bisa dilakukan."
Selain Pastor Thomas Byles, tokoh agama lain yang menonjol dalam tragedi Titanic adalah Pendeta Hind. Ia memimpin pemakaman massal korban bahtera karam itu di atas Kapal Mackay Bennett.
Jasad-jasad beku itu dikumpulkan 9 hari setelah Titanic menabrak gunung es. Dibungkus kantung mayat dan ditumpuk di pinggiran dek. Lalu, dua kru kapal menggunakan tandu, menjatuhkan mereka satu per satu ke laut, dari sisi kapal.
Kebanyakan korban yang dijatuhkan ke laut diduga adalah mereka yang tak diketahui identitasnya, atau penumpang kelas 3, kelas geladak, yang tak mampu membayar biaya pemakaman.
Mackay Bennet adalah kapal berbendera Kanada yang dikontrak pihak pemilik Titanic, White Star Line, seharga 300 poundsterling per hari untuk mengangkat jasad para korban. Sementara Kapal Carpathia berhasil menyelamatkan lebih dari 700 korban selamat dari sekoci-sekoci.
Dalam penjelasannya soal pemakaman, Pendeta Hind menulis, siapapun yang menghadiri pemakaman di laut pasti akan merasakan kesan berbeda dari pemakaman di darat. Namun, "Atlantik mungkin ganas, tapi mereka yang dimakamkan di dalamnya akan beristirahat dalam damai." (Ein/Yus)