Liputan6.com, Jakarta - Pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia Abdul Muta'ali menilai bahwa serangan Hamas terhadap Israel pada Sabtu 7 Oktober 2023 adalah respons atas ketidakadilan dan sikap-sikap paranoia Israel, serta keinginan atas Palestina untuk merdeka.
"Jadi, mereka melakukan serangan 7 Oktober kemarin itu menyusul aksi-aksi brutal yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap anak-anak dan perempuan ... Nah, kemudian dalam rilisnya (pernyataan Hamas) disebutkan bahwa (serangan) itu sebagai respons bahwa Palestina sampai hari ini belum merdeka. Itu yang ingin dikatakan oleh Hamas bahwa sejak 1948, sejak dideklarasikannya Negara Israel, blokade terhadap Gaza, kemudian genosida itu luar biasa," ujar Abdul saat dihubungi Liputan6.com, Senin (9/10).
Baca Juga
"Data dari Al Jazeera yang diafirmasi oleh Komnas HAM dunia, sejak blokade Gaza 2007 sampai tahun 2023, jumlah yang tewas itu 6.407 dan 90 persennya sipil. Dari 2007 sampai 2023 dari pihak Israel itu hanya 308. Sebaliknya, 90 persennya justru militer Israel dan 10 persennya sipil Israel."
Advertisement
Abdul menyoroti pula wilayah Palestina yang semakin menciut lantaran dikangkangi Israel.
"Permukiman ilegal (Israel) terus merangsek ke utara Gaza," katanya. "Jadi, wilayah Palestina hari ini hanya sisa lima persen saja, tiga persennya di Gaza dan dua persennya di Tepi Barat."
"Nah, jadi aksi tersebut harus kita pahami sebagai respons orang-orang yang papa, orang-orang yang lemah, mereka yang berjuang dengan kesendiriannya."
Abdul menyayangkan soal isu Palestina yang seolah "terlewat" di forum Sidang Majelis Umum PBB pada September lalu.
"Hanya Indonesia dan Malaysia saja (yang menggaungkan isu Palestina)," ungkap Abdul. "Para pemimpin dunia hanya merespons 5.000 roket yang dikirimkan Hamas tanpa melihat alasan di balik itu sebagai respons atas ketidakadilan dunia yang bungkam."
Sangat penting, menurut Abdul, untuk melihat konflik Israel-Palestina secara komprehensif.
Ketika disinggung apakah serangan Hamas juga respons atas normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel, Abdul menilai bahwa itu mungkin saja menjadi salah satu turunan dari alasan yang dikemukakan Hamas.
"Jadi, ketika dunia bungkam, negara-negara Arab bungkam maka 5.000 roket adalah bahasa dari orang-orang lemah yang ingin mengatakan kepada dunia bahwa sejak Israel berdiri pada 1948, kami dijajah, Gaza diblokade, tanah kami dirampas," tutur Abdul.
"Bayangkan dua per tiga masyarakat Palestina itu berada di pengungsian, bukan di wilayahnya sendiri, dan mereka tidak punya hak untuk kembali."
Hingga berita ini diturunkan, perang Hamas Vs Israel telah menelan sedikitnya 900 korban jiwa di sisi Israel dan lebih dari 400 orang di Jalur Gaza.
Indonesia, sebut Abdul, dapat memanfaatkan kapasitas politik luar negeri bebas aktifnya untuk terus menyuarakan isu Palestina dalam berbagai forum, termasuk G7 dan BRICS.
"Melalui forum-forum tersebut, Indonesia bisa mendorong agar pihak-pihak terkait seperti otoritas Hamas, otoritas Palestina, dan Israel menahan diri dengan melakukan gencatan senjata," tutur Abdul.
Harga Mahal yang Harus Dibayar Israel
Senada dengan Abdul, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Sudarnoto Abdul Hakim menggarisbawahi bahwa serangan Hamas pada Sabtu 7 Oktober merupakan reaksi terhadap tindakan sewenang-wenang otoritas Israel yang selama waktu panjang dan secara sistemik menghancurkan kedaulatan rakyat dan bangsa Palestina.
"Peristiwa membelah Masjid Al-Aqsa dan diiringi dengan berbagai aksi provokatif kelompok Yahudi ekstrem melakukan ibadah di arena Al-Aqsa juga menjadi salah satu pemicu serangan Hamas terhadap Israel. Ditambah dengan berbagai fakta pengkhianatan terhadap berbagai perjanjian yang dilakukan oleh otoritas Israel, menggambarkan bahwa Israel memang harus membayar mahal. Serangan terbesar Hamas ini menjadi alat bayar Israel dan Israel tentu saja harus menanggung sendiri. Bisa jadi, Israel akan menanggung beban yang lebih berat jika respons Israel dan negara-negara pendukung seperti Amerika Serikat (AS) dan NATO kontraproduktif," sebut Sudarnoto dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Liputan6.com.
"Balasan atas serangan yang diberikan oleh Israel bisa jadi justru akan menjadi momentum rakyat dan bangsa Palestina untuk memperkuat heroisme mereka membebaskan rakyat dan Palestina yang telah dijajah dalam waktu yang panjang."
Sudarnoto lebih jauh meyakini bahwa peristiwa ini juga seharusnya menjadi momentum bagi seluruh faksi Palestina, yakni Fatah, Hamas, dan lain-lainnya untuk bersatu padu memperkuat upaya kemerdekaan bangsa Palestina.
"Saya berharap betul, setiap momentum untuk kedaulatan dan kemerdekaan Palestina bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh setiap faksi Palestina. Dengan cara ini maka Israel akan semakin kehabisan waktu dan kekuatannya," tutur Sudarnoto.
"AS dan NATO yang saat ini sedang menanggung bebannya masing-masing sebagai akibat dari perubahan politik global dan juga perang Rusia-Ukraina sebaiknya tidak ikut memutarbalikkan fakta dengan menyatakan Hamas sebagai teroris. Cara-cara ini justru akan merugikan AS dan NATO karena selama ini tidak pernah menyatakan keberaniannya untuk menegaskan bahwa Israel adalah penjajah dan teroris. Justru yang harus dilakukan secara tegas adalah ikut bersama-sama dengan masyarakat internasional lainnya yang mendukung perjuangan bagi terwujudnya kemerdekaan Palestina dan menghentikan imperialisme dan terorisme Israel."
Sudarnoto menyesalkan Rumah Sakit Indonesia di Gaza terdampak oleh serangan balasan Israel yang membabi buta.
"Saya sangat menyesalkan apa yang dilakukan oleh Israel dan Israel harus bertanggung jawab. Israel benar-benar sudah hilang rasa respek kepada bantuan kemanusiaan yang dilakukan oleh Indonesia melalui Mer-C," ujarnya.
Advertisement
Serangan Hamas Goyahkan Rasa Percaya Diri Israel
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah berpandangan bahwa serangan Hamas kali ini berhasil menggoyahkan rasa percaya diri Israel bahwa negara itu memiliki sistem keamanan nasional dan sistem intelijen terbaik di dunia.
"Hamas berhasil mengoptimalkan peluang sebuah operasi intelijen yang sama sekali tidak ada dalam benak para pemimpin dan masyarakat Israel. Hamas berhasil mengisolir sumber-sumber informasi intelijen yang selama ini diandalkan Israel. Serangan itu sendiri akan menjadi penyemangat masyarakat Palestina di seluruh dunia. Jika kelak Israel dapat ditundukkan dan Palestina akan merdeka," sebut Rezasyah saat dihubungi Liputan6.com.
Ditanya pendapatnya soal apa yang dapat dilakukan Indonesia untuk meredakan ketegangan, Rezasyah menjelaskan bahwa Indonesia dapat mendukung prakarsa penyelesaian konflik yang sedang dibahas Liga Arab dan membangun gagasan sejenis bersama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB).
Menyangkut normalisasi hubungan Israel dengan sejumlah negara Arab, Rezasyah menuturkan, "Hamas berhasil membangun sebuah patriotisme masyarakat yang terjajah. Mereka tidak goyah, walaupun Israel berhasil membangun banyak jaringan kerja sama diplomatik dan militer."
"Perkembangan Hamas ini dapat membuat negara-negara Timur Tengah menunda peningkatan hubungan diplomatik dengan Israel. Karena kemenangan Hamas ini berpotensi meningkatkan semangat juang masyarakat diberbagai negara di Timur Tengah, yang selama ini mengkritisi kedekatan pemerintah mereka dengan Israel."
Indonesia Harus Dorong Dewan HAM PBB Bersidang
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa Indonesia patut untuk meminta Dewan Keamanan PBB bersidang dan mengupayakan agar serangan senjata oleh Hamas Vs Israel dihentikan demi kamanusiaan.
"Perang telah berdampak buruk tidak hanya bagi masyarakat sipil dari dua pihak yang berkonflik namun masyarakat dunia pada umumnya. Perang telah memunculkan multi krisis, mulai dari kemanusiaan hingga finansial," ungkap Hikmahanto dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Liputan6.com.
Pemerintah Indonesia, sebut Hikmahanto, perlu menyampaikan kepada pihak-pihak yang berkonflik serta mengimbau negara-negara besar untuk menahan diri menyampaikan komentar atau dukungan kepada salah satu pihak yang justru mengeskalasi perang.
"Tidak seharusnya negara-negara dunia menyatakan siapa yang benar ataupun yang salah karena negara-negara dunia bukanlah hakim yang menentukan siapa yang benar maupun yang salah. Negara-negara di dunia mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyat sipil dari penggunaan senjata," tutur Hikmahanto.
Advertisement
PM Israel: Ini Bukan Lagi Pertempuran, tapi Perang
Sabtu 7 Oktober mencatatkan babak baru dalam konflik Israel-Palestina. Pagi itu, pukul 06.30, sirene serangan udara bergema di Yerusalem, memperingatkan warga Israel bahwa telah terjadi serangan dan mereka diminta segera berlindung.
Diperkirakan 2.200 roket ditembakkan ke Israel selatan dan tengah, termasuk Tel Aviv dan Yerusalem, oleh Hamas. Adapun kelompok militan yang berbasis di Jalur Gaza itu mengklaim bahwa mereka setidaknya menembakkan 5.000 roket, yang seluruhnya mendarat di Israel selatan dan tengah.
Pada saat bersamaan, anggota Hamas yang mengendarai sepeda motor, menyerbu dari wilayah Jalur Gaza yang diblokade dan menembaki pemukim Yahudi. Mereka dilaporkan juga melakukan penyanderaan.
Dalam salah satu pesan publik pertamanya, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan, "Selama satu jam terakhir, organisasi teroris Hamas meluncurkan rentetan roket besar-besaran dari Gaza ke Israel dan operasi terorisnya telah menyusup ke Israel di sejumlah lokasi berbeda di selatan."
Tidak lama setelah serangan multi-front Hamas berlangsung, Panglima Militer Brigade Al Qassam Mohammed Deif merilis pernyataan video yang mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Brigade Al Qassam merupakan sayap militer Hamas.
"Pendudukan kolonial Zionis menduduki Tanah Air Palestina kami dan membuat rakyat kami mengungsi, menghancurkan kota-kota dan desa-desa kami, melakukan ratusan pembantaian terhadap rakyat kami, membunuh anak-anak, perempuan dan orang tua, menghancurkan rumah-rumah yang berpenghuni, melanggar semua norma, hukum, dan konvensi hak asasi manusia internasional," sebut Mohammed Deif, seperti dilansir ABC News, Senin (9/10).
Merespons serangan Hamas, pada hari yang sama sekitar pukul 11.30 waktu Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mendeklarasikan bahwa Israel sedang berperang.
"Ini bukan operasi militer, bukan lagi pertempuran, tapi perang," tegas PM Netanyahu.