Dr. Ayu Agung, Ahli Jiwa yang Pernah Kibarkan Bendera di Istana

Berlatar belakang keluarga pendidikan kedokteran, dr. A A Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ (K) kini sukses menjadi ahli gangguan jiwa di RSCM

oleh Fitri Syarifah diperbarui 10 Sep 2014, 12:30 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2014, 12:30 WIB
dr. A A Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ (K)
dr. A A Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ (K)

Liputan6.com, Jakarta Berlatar belakang keluarga pendidikan kedokteran, dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ (K) kini sukses menjadi ahli gangguan jiwa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tapi siapa sangka di balik paras cantik dan cerianya, wanita kelahiran Denpasar, 10 Oktober 1955 ini pernah menjadi pengibar bendera Merah Putih di Istana Negara pada 17 Agustus 1972.

"Saya pernah membawa bendera di istana pada 1972. Waktu itu saya SMA kelas 2. Saya jadi masuk TV, koran, dan jadi wakil dari Bali yang membanggakan," kata dokter yang kini aktif menjadi ketua seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) saat diwawancarai Health-Liputan6.com di Luwansa Hotel, Jakarta, ditulis Rabu (10/9/2014).

Sejak menjadi perbincangan di media itulah, Ayu mengaku ia bertemu seorang pria yang kemudian menikahinya dan memiliki tiga anak hingga saat ini. "Saya dan suami ketemu di Bali. Dia lulusan teknik ITB Bandung. Mungkin karena saya pernah jadi pengibar bendera itu, dia ngefans kali sama saya. Sepulang saya dari liburan, saya dicari, dan ketemu. Kami kenalan dan 5 tahun pacaran baru menikah," kata ibu dari 3 anak ini.

Awal mula fokus

Awal mula fokus ambil pendidikan kedokteran jiwa

Memutuskan untuk mengambil pendidikan kedokteran jiwa memang bukan hal yang mudah. Sebab setelah selesai sarjana Kedokteran di Universitas Udhayana, Bali, Ayu terlena untuk mengabdi di puskesmas dan membantu pasien yang mengalami gangguan jiwa ringan

"Psikiatri itu menarik kalau kita tidak melihat gangguan jiwa berat. Waktu saya di puskesmas, saya banyak melihat gangguan jiwa ringan seperti cemas, panik, sosial phobia, depresi, problem belajar pada anak. Ini jadi memacu saya untuk membantu mereka, dan muncul minat akhirnya saya memutuskan masuk pendidikan spesialis," tutur wanita yang kini menjabat sebagai Kepala Departemen Psikiatri di RS Cipto Mangunkusumo tersebut.

Menurut Ayu, gangguan jiwa itu tidak seperti penyakit lain lantaran pasien dapat memengaruhi satu keluarga. Sehingga jika ada pasien yang ditemukan mengalami gangguan jiwa maka satu keluarga juga harus dibantu.

"Pasien gangguan jiwa itu bisa bikin keluarga keos. Tapi itu juga yang membuat saya ingin tahu bagaimana cara mengatasinya," ungkap wanita yang memiliki 8 saudara tersebut.

Hingga suatu saat, ia bertemu psikiater senior yang mengajarinya berbagai macam hal menangani pasien yang mengalami gangguan jiwa. "Saya memang tumbuh di lingkungan dan kenal kasus gangguan jiwa tapi saya belum tahu cara menanganinya secara khusus. Sampai akhirnya saya bertemu psikiater yang memberikan pengetahuan tentang gangguan jiwa, darisitu saya tertarik, mungkin udah punya bakat atau gen juga terus dia motivasi saya untuk jadi psikiater."

Satu lagi yang menarik dari ilmu penyakit jiwa, lanjut Ayu, pasien gangguan jiwa berat itu tidak memiliki kemampuan menilai realita yang baik. Sedangkan penderita gangguan jiwa ringan, itu masih bisa peduli. Maksudnya, ia masih sadar betul apa yang terjadi pada dirinya. Misalnya menagapa saya cemas, berdebar atau sedih. Pasien tahu persis sehingga dia datang untuk meminta pertolongan. Sementara pasien gangguan jiwa berat dia tidak lagi peduli dengan lingkungan dan tidak paham kalau dia sakit dan menlai orang lain yang sakit.

Pengalaman tak terlupakan

Pengalaman tak terlupakan saat praktik

Ada saja pengalaman menarik yang dijalani Ayu saat praktik. Yang paling diingat, adalah salah satu pasien wanita yang datang dengan keluhan halusinasi. Setelah diperiksa, ternyata mengalami gangguan jiwa berat dan diberikan pengobatan.

"Perkembangan pasien saya ini bagus. 2-3 kali berobat, gejala hilang. Tapi tiba-tiba dia tidak berobat, kemudian 2 tahun berlanjut, saya dihubungi ibunya. Ternyata pasien ini nggak bilang sama orangtuanya kalau dia pernah berobat. Ibunya mengatakan, pasien ditahan di kepolisian karena tuduhan menusukan teman sekantor dengan pisau. Pengacaranya bilang, kliennya bisa keluar penjara asalkan ada bukti sakit jiwa. Darisitu, pasien menyebutkan pernah dirawat oleh saya dan meminta saya untuk menjadi saksi," katanya.

Mendengar kesaksian putrinya yang mengalami gangguan jiwa di pengadilan, membuat ibu pasien tidak percaya begitu saja. Ibunya berpikir, anaknya sehat dan tidak pernah mengalami sakit berat. Apalagi anaknya bisa bekerja dengan baik di kantor.

"Ibunya bertanya ke saya, kok bisa? anak saya kan bisa bekerja di depan komputer. Saya bilang, memang dia bisa bekerja, tapi dia punya halusinasi bahwa orang lain akan mencelakakan dia sehingga dia berani melakukan tindakan mencelakakan orang lain. Setelah visum, ternyata terbukti dia sakit. Dia boleh keluar tahanan dan wajib berobat," ungkap dokter yang pernah didaulat menjadi dokter teladan se-Jakarta Selatan ketika praktek di Puskesmas.

Dirawat kembali

Setelah pasien keluar penjara, ia dirawat kembali oleh Ayu untuk berobat. Dukungan keluarga membuat pasien pulih dalam 2 tahun. Kini ia bahkan telah bekerja kembali dan memiliki posisi yang bagus di tempat kerjanya. Tapi, walaupun dokter mengatakan dia sudah bersih namun Ayu tetap menyarankan pasien tersebut untuk suntik 2 minggu sekali.

"Saya lihat, kecerdasannya tidak terpengaruh, pasien bisa bekerja normal kembali. Tapi pertanyaan kembali muncul oleh keluarga, sampai kapan dok anak saya begini? saya bilang, kalau seperti ini saya tidak berani ambil risiko karena dia pernah mencelakakan orang lain. Kita juga tidak bisa prediksi apakah tindakan ini akan berulang atau kambuh, amannya terus suntik dan konsultasi rutin," jelasnya.

Dari sekian banyak kasus yang ditanganinya, pengalaman lainnya yang berkesan adalah ketika menangani salah seorang lansia di Puskesmas Mampang, Jakarta Selatan. Ketika itu ada pensiunan ABRI atau Angkatan Darat yang mengalami depresi berat. Kala itu, smeua dokter berpikir kalau dia hanya mengalami Post Power Sindrom atau gangguan psikis akibat tidak lagi menjabat dan sebagainya. Tapi ternyata, psikiater menjelaskan kalau ini bukan kasus biasa.

"Ketika saya pendidikan, di awal pendidikan kami berlajar mengenai gangguan jiwa berat lebih dulu. Saya ketemu lagi dengan pasien depresi itu lagi. Dan saya baru paham, kalau ternyata gejala yang dialaminya adalah gangguan jiwa berat yang harus diobati," ungkapnya.

Melihat banyaknya risiko gangguan jiwa inilah yang membuat Ayu konsen di bidang gangguan jiwa berat seperti Skizofrenia. Menurut Ayu, Skizofrenia kerap muncul pada usia produktif yaitu 15-25 tahun, sehingga perlu penanganan yang baik. Sebab bila pasien dibawa sedini mungkin, ia tidak akan mengalami kerusakan otak. Sebaliknya, jika pasien dibawa terlambat, maka akan sulit bagi medis untuk melakukan pemulihan sempurna (recovery).

Biodata

Nama lengkap: dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ (K)

Tempat, Tanggal Lahir: Denpasar, 10 Oktober 1955

Pendidikan

Fakultas Kedokteran Universitas Udhayana

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jabatan: Kepala Departemen Psikiatri di RS Cipto Mangunkusumo

Tempat Praktik: RS Cipto Mangunkusumo

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya