Kala Para Dewi Tak Menghargai Suaminya Saat Hubungan Intim

Berikut kisah pewayangan yang menunjukkan bahwa persetubuhan membutuhkan kondisi yang baik lahir dan batin

oleh Liputan6 diperbarui 08 Nov 2014, 11:26 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2014, 11:26 WIB
Kala Para Dewi Tak Menghargai Suaminya Saat Hubungan Intim
Berikut kisah pewayangan yang menunjukkan bahwa persetubuhan membutuhkan kondisi yang baik lahir dan batin

Liputan6.com, Jakarta Kisah pewayangan sebagai warisan sastra yang sifatnya abadi karena teruji melintasi waktu adalah sebuah 'bangun budaya', karya manusia yang diciptakan dari kemampuan olah pikir, batin (uwoh pangolahing budi) sehingga menjadi karya abadi dan bisa beradaptasi dengan zaman.

Ia berbeda dengan karya sastra lain yang diramu berdasa kemampuan lahiriah (nalar), olah pikir tanpa dibarengi olah batin (budi,roh, jiwa) manusia. Jadi, tak heran bila Pakar Sastra dan Budaya Indonesia asal Belanda Prof. Dr. A. Teeuw menyebutkan wayang sebagai sebuah karya sastra yang mengandung vision du monde atau pandangan dunia, yakni satu ajaran hidup yang dapat dipakai sebagai suri teladan bagi kehidupan.

Karena nilai-nilai, etika, filafat moral, estetika, filsafat hidup yang terkandung di dalamnya termasuk dalam kaitannya dengan 'mengukir darah biru' generasi manusia unggul, ada banyak cerita dalam pewayangan yang menggambarkan semua itu.

Mari kita lihat kisah berikut :

Begawan Abiyasa, sesepuh Pandawa, sewaktu masih menjadi Raja Astinapura bernama Prabu Kresnadipayana. Sang Prabu mempunyai dua permaisuri yakni Dewi Ambila dan Dewi Ambalika. Sewaktu saresmi (berhubungan badan) dengan permaisuri pertama, Dewi Ambika memejamkan mata (merem karena tidak suka). Akibatnya Sang Dewi melahirkan putera yang cacat matanya, buta yakni Raden Destarata (Destarastra).

Demikian juga ketika sang Prabu berhubungan badan dengan permaisuri kedua, yakni Dewi Ambalika. Sang Dewi memalingkan muka (mlengos) karena tidak suka. Akibatnya Sang Dewi melahirkan putera yang cacat pula, teleng atau tengeng (bengkok posisi lehernya), yakni Pandhu.

Destarastra lahir buta dan Pandhu lahir teleng. Itu merupakan wohing pokal (akibat ulah tidak baik) atau tuwas (imbalan hukuman dari Yang Maha Kuasa) karena para istri Abiyasa secara batiniah dan lahiriah melaksanakan saresmi (berhubungan intim) kurang menghargai suaminya yang berwajah jelek.

Destarasta adalah ayah dari keluarga Kurawa yang seratus orang jumlahnya dan seluruhnya memiliki sifat kurawasa (aku yang suka merebut dengan paksa). Destarasta yang lahir buta adalah ilafat (tanda) bahwa bukan hanya buta lahiriah, tetapi juga buta batiniahnya.

Itu juga yang dikisahkan ketika Pandhu memenangkan sayembara dan berhasil membooyong tiga putri : Kunthi Madrim, dan Anggendari. Destarastra diminta oleh Abiyasa untuk memilih salah satu putri boyongan itu atas seizin dan keikhlasan Pandhu. Destarastra pun memilih calon istri dengan cara meraba satu per satu ketiga putri boyongan.

Ketika Kunthi dirabanya, ia berkata :"Bukan yang ini calon istriku, ia hanya akan memberiku tiga anak." Ketika meraba Madrim, ia berkata :"Bula dia pula calon istriku, karena dia hanya akan memberiku dua anak." Barulah ketika ia meraba Anggendari, Destarastra pun berkata dengan bangga,"Nah, inilah calon istriku, karena dia akana memberiku anak seratus orang jumlahnya."

Keserakahannya yang ingin mempunyai anak seratus orang itulah yang nuwasi (tuwas) kepada sifat keseratus anaknya. Seluruhnya berjiwa kurawasa pula.

Bagaimana dengan Pandhu? Ia yang tengleng atau teleng dan wajahnya menghadap ke samping adalah ilafat dari lelaki yang diragukan kelelakiannya alias wandu atau banci. Ia tak mampu melakukan saresmi dengan kedua istrinya.

Setelah menjadi raja Astinapura dan beberapa saat setelah perkawinannya ia bercengkerama di hutan untuk berburu. Saat itu, dilihatnya dua ekor kijang, jantan dan betina yang sedang asyik bercumbu. Peristiwa itu dianggap Sang Prabu sebagai ejekan. Tanpa pikir panjang, dipanahnya kijang jantan hingga mati, dan yang betina melarikan diri ke hutan.

Malang bagi Pandhu, karena dua kijang itu adalah jelmaan Brahmana Kimindama dengan istrinya, yang kemudian mengutuknya," di kemudian hari sang prabu akan menemui ajalnya bila ia bisa bersetubuh dengan permaisurinya."

Kutukan itu membuat Pandhu stres hingga ia meminta Dewi Kunthi yang memiliki ajian Dipa Manunggal pemberian Resi Druwasa untuk menghadirkan dewa siapa saja yang diinginkan. Pertama Dewa Bathara yang kemudian membuat Dewi mengandung dan melahirkan anak lelaki bernama Dharmaputra atau Puntadewa. Kedua, Dewi mendatangkan Bathara Bayu yang kemudian melahirkan anak bernama Bayutenaya atau Bratasena. Dan ketiga, mendatangkan Bathara Indra yang kemudian melahirkan Arjuna atau Indraputra.

Lalu, agar tidak menimbulkan iri hati pada Dewi Madrim, Pandhu minta agar Kunthi meminjamkan ajian itu pada Dewi Madrim. Dewi Madrim akhirnya mendatangkan Dewa Asmin dan lahirlah putra kembar Nakula dan Sadewa. Kelima putra Padhu inilah yang disebut Pandhawa (anak lima lelaki semua).

Suatu ketika, nafsu birahi Pandhu meluap-luap pada Dewi Madrim. Dewi pun sudah mengingatkan Pandhu perihal kutukan itu. Namun, Pandhu menjawabnya bahwa kutukan sudah ditebusnya dengan bertapa bertahun-tahun dan lagipula dia sudah punya anak lima, Madrim pun tak kuasa menolak Pandhu.

Akhirnya terjadi juga. Sebelum hasrat Pandhu yang berkobar-kobar kesampaian, tewaslah Sang Prabu di samping istrinya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya