Liputan6.com, Jakarta Aturan mengenai Dokter Layanan Primer (DLP) sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2013, dianggap pemborosan waktu dan anggaran oleh seluruh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Program pendidikan DLP ini dinilai tidak tepat sasaran jika pemerintah memang berniat untuk memperbaiki pelayanan primer dalam mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Justru DLP rentan menimbulkan konflik horizontal antar dokter di layanan tingkat pertama.
"Jika seorang dokter sudah lulus sebagai dokter berarti dia harusnya sudah berkompeten menjadi seorang dokter yang bisa berpraktik. Artinya, ia bisa memberikan pelayanan primer seperti di puskesmas, klinik, atau pelayanan kesehatan fasilitas pertama tapi kalau kemudian ada proses penambahan pendidikan itu kan jadi pertanyaan," ungkap Sekretaris Jenderal PB IDI, Adib Khumaidi, dalam Konferensi Pers Aksi Damai IDI, di Kantor PB IDI, Senin (24/10/2016).
Advertisement
Menurut Adib, jika pemerintah ingin memberikan tambahan atau penguatan kompetensi bagi dokter, seharusnya tidak dengan pendidikan formal seperti DLP ini.
"Kalau kita bicara pendidikan kedokteran harus melihat dari hulu ke hilir. Mulai dari masuknya pendidikan dasar kedokteran atau basic-nya. Nah, yang kita perbaiki kurikulumnya, kalau memang ingin ditambahkan standar kompetensinya kita berikan di situ saja, tidak perlu harus dia melakukan proses pendidikan formal baru lagi selama dua sampai tiga tahun," kata Adib.
Pendidikan kedokteran yang sudah mahal, jika ditambah dengan program seperti ini justru akan membawa dampak yang tragis. Terutama bagi masyarakat miskin yang semakin sulit mengakses pendidikan kedokteran.