PBB Serukan Larangan Tes Keperawanan

Tes keperawanan malah merupakan tindakan kekerasan seksual yang asli.

oleh Melly Febrida diperbarui 22 Okt 2018, 14:00 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2018, 14:00 WIB
Vagina Alat Kelamin Perempuan
Ilustrasi tes keperawanan (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah negara masih mempraktikkan tes keperawanan dengan menggunakan dua jari atau pemeriksaan vagina, salah satunya Indonesia. Mendapati fakta ini, beberapa Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan larangan tes keperawanan.

Badan PBB yang bersuara atas tes keperawanan yakni Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Hak Asasi Manusia PBB dan UN Women.

"Tes keperawanan adalah pelanggaran hak asasi anak perempuan dan wanita, dan dapat merugikan kesejahteraan fisik, psikologis dan sosial perempuan dan anak perempuan," kata Dr Princess Nothema Simelela, Assistant Director-General for Family, Women’s, Children’s and Adolescents’ Health, seperti dikutip dari situs WHO.

Ada beberapa negara yang masih menjalankan tes keperawanan. Selain Indonesia, ada Pakistan, Afghanistan, Brasil, Mesir, India, Iran, Irak, Jamaika, Yordania, Libya, Malawi, Maroko, Wilayah Pendudukan Palestina, Afrika Selatan, Sri Lanka, Swaziland, Turki, Kerajaan Inggris Raya, Irlandia Utara, dan Zimbabwe.

Tes keperawanan juga sering disebut sebagai tes selaput dara, dengan menggunakan "dua jari" atau pemeriksaan vagina. Beberapa pihak mengkalim tes keperawanan dilakukan untuk menentukan apakah seorang wanita atau anak perempuan telah melakukan hubungan seks.

 

 

Saksikan juga video menarik berikut:

WHO: Tes keperawanan tidak perlu

Vagina
Ilustrasi vagina (iStockphoto)

 

Negara Pakistan melakukan tes tersebut untuk menentukan apakah seorang wanita diperkosa atau tidak. Tes itu melibatkan memasukkan dua jari ke dalam vagina korban untuk menentukan apakah pernah melakukan hubungan seksual seperti dilansir Cutacut.

Padahal, menurut WHO, tes tersebut tidak perlu, dan dapat menyebabkan rasa sakit serta meniru tindakan kekerasan seksual yang asli. Ini juga bisa memperburuk perasaan ketidakberdayaan korban dan menyebabkan re-viktimisasi.

Selain itu, penampilan selaput dara perempuan atau wanita tidak bisa membuktikan apakah mereka telah melakukan hubungan seksual, atau aktif secara seksual atau tidak.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya