Pola Pikir Abstrak Timbulkan Ide Bunuh Diri Pelajar di Jakarta

Pola pikir abstrak menimbulkan ide bunuh diri dalam diri pelajar di Jakarta.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 12 Jul 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2019, 16:00 WIB
Bunuh Diri
Pola pikir abstrak timbulkan ide bunuh diri pelajar di Jakarta. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Pola pikir abstrak menjadi faktor risiko utama para pelajar SMAN dan SMKN Akreditasi A di Jakarta memunculkan ide bunuh diri. Pola pikir tersebut justru mengarahkan pelajar, yang masih kategori remaja pada pola hidup yang tidak sehat.

"Adanya pola pikir abstrak menimbulkan perilaku risk-taker, yakni transmisi genetik yang dapat menimbukan sifat agresif dan impulsif. Pada fase risk taking ini, remaja tertantang untuk mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup yang tidak baik. Contohnya, penggunaan tembakau dan alkohol," papar dokter spesialis kedokteran jiwa Nova Riyanti Yusuf dari hasil penelitiannya, sesuai keterangan rilis yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Jumat (12/7/2019).

Faktor risiko lain ide bunuh diri juga terkait riwayat gangguan jiwa lain, lingkungan sosial yang tidak mendukung, dan penyalahgunaan akses internet.

Hasil penelitian dokter yang akrab disapa Noriyu berjudul ‘Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/ Sederajat di DKI Jakarta' juga menemukan, pola pikir abstrak memicu pelajar bereksperimen dengan narkotika, psikotropika dan zat adiktif.

Aktivitas seksual yang tidak aman, pola makan yang buruk, serta kenakalan remaja juga bisa terjadi. Perilaku risk-taking akan berdampak terhadap morbiditas, fungsi, dan kualitas hidup pelajar pada saat dewasa.

Simak Video Menarik Berikut Ini:

Siklus Hidup Fase Remaja

Ilustrasi remaja muda malu (iStockphoto)
Bunuh diri yang berkaitan dengan fase remaja. (iStockphoto)

Dalam hasil penelitian Noriyu ditemukan 5 persen pelajar dari 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta punya ide bunuh diri. Pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki risiko 5,39 kali lipat lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibandingkan pelajar yang tidak terdeteksi berisiko bunuh diri.

Penelitian yang dipresentasikan pada sidang terbuka tesis, kemarin, 11 Juli 2019 terinspirasi oleh kompleksitas siklus hidup fase remaja. Pada fase remaja terjadi perkembangan yang ditandai perubahan fisik, psikologis, kognitif, dan sosial.

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry membagi fase remaja menjadi tiga, yaitu;

1. Early Adolescence (11 – 13 tahun)

2. Middle Adolescence (14 – 18 tahun)

3. Late Adolescence (19 – 24 tahun)

"Fase middle adolescence adalah fase yang sangat rentan karena remaja berpikir secara abstrak, tetapi juga mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku risk-taking," Noriyu menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya