Liputan6.com, Jakarta - Dokter spesialis paru Andika Chandra Putra menjelaskan mengenai kebiasaan mendengkur yang bisa mengganggu tidur dan berdampak buruk bagi kesehatan.
Menurutnya, tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat berkaitan dengan kesehatan dan produktivitas sehari-hari. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina hingga berada dalam kondisi yang optimal.
Baca Juga
Namun, jika terjadi gangguan tidur maka seseorang tidak bisa mendapat manfaat tidur dengan maksimal.
Advertisement
Salah satu gangguan yang sering dikeluhkan terkait tidur adalah mendengkur. Dari persepsi yang beredar pada masyarakat luas, mendengkur sering dianggap sebagai suatu tanda tidur nyenyak.
“Tetapi sebenarnya mendengkur adalah suatu gangguan penyempitan saluran napas saat tidur,” kata Andika dalam diskusi online Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dalam memperingati Hari Tidur Sedunia Jumat (18/3/2022).
Penyempitan ini menyebabkan aliran udara yang masuk dalam saluran pernapasan menjadi berkurang sehingga suplai oksigen ke seluruh jaringan tubuh menjadi berkurang.
Simak Video Berikur Ini
Awal Terjadinya OSA
Lebih jauh, Andika menjelaskan, mendengkur merupakan mekanisme awal terjadinya gangguan henti napas saat tidur atau Obstructive Sleep Apnea (OSA).
OSA merupakan kejadian berhentinya napas lebih dari 10 detik yang terjadi secara berulang sepanjang waktu tidur.
OSA sering terlambat terdiagnosa pada fase awal yang apabila tidak ditangani dapat menimbulkan berbagai komplikasi kardiovaskular, metabolik, neuroendokrin, hingga kematian mendadak saat tidur dan dapat terjadi pada seluruh rentang usia.
Laki-laki usia menengah dikatakan paling banyak mengidap OSA. Pada anak, faktor terjadinya OSA disebabkan oleh pembesaran tonsil dan kelenjar adenoid yang menghalangi masuknya udara dalam jalan napas.
Kelainan bawaan sejak lahir seperti pada ukuran rahang bawah yang mengecil, lidah yang besar atau terlalu panjang juga menjadi faktor OSA pada usia muda. Bentuk leher yang besar dan wanita menopause juga menjadi faktor risiko OSA. Pada umumnya, faktor penyebab OSA adalah kegemukan/obesitas.
Advertisement
Penanganan OSA
Pendekatan dini melalui kuesioner sebagai metode penapisan sangat diperlukan bagi orang yang beresiko tinggi mengidap OSA.
Penilaian gangguan kualitas tidur dilakukan dengan pemeriksaan sederhana berupa wawancara medis untuk menilai latensi tidur, riwayat sering terbangun ketika tidur pada malam hari, dan efisiensi tidur.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti polisomnografi dapat dilakukan dengan cara merekam aktivitas gelombang otak (Electroencephalography), perekam jantung (electrocardiography), pengukur gerakan bola mata (electrooculography), dan pengukur aktivitas otot (electromyography).
Pemeriksaan polisomnografi yang ideal harus dilakukan di laboratorium tidur sehingga dapat dimonitor penuh oleh petugas dengan durasi tidur minimal yang dianjurkan untuk dapat mengukur kualitas tidur selama 6 jam.
Pemeriksaan ini mampu mengenali gangguan terhadap kondisi tidur normal sehingga membantu dokter dalam mendiagnosis kelainan sehingga memudahkan rancangan program pengobatan yang diperlukan.
Infografis 3 Manfaat Tidur Cukup Cegah Risiko Penularan COVID-19
Advertisement