Kuesioner PHQ-9 yang Digunakan dalam Survei Kesehatan Jiwa PPDS Secara Klinis Masih Jadi Perdebatan

Meskipun telah banyak studi yang menunjukkan efektivitas dan keunggulan PHQ-9, tetapi pengaplikasiannya secara klinis masih menjadi subjek perdebatan di kalangan para ahli.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 25 Apr 2024, 13:11 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2024, 13:11 WIB
Kuesioner PHQ-9 yang Digunakan dalam Survei Kesehatan Jiwa PPDS Secara Klinis Masih Jadi Perdebatan
Kuesioner PHQ-9 yang Digunakan dalam Survei Kesehatan Jiwa PPDS Secara Klinis Masih Jadi Perdebatan. Foto: Ade Nasihudin.

Liputan6.com, Jakarta - Hasil skrining kesehatan jiwa pada peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) menjadi perbincangan belakangan ini.

Survei pada 12.121 mahasiswa PPDS dilakukan dengan metode Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9).

Menurut psikiater di Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Shelly Iskandar, PhD. ini adalah instrumen psikometri yang sering digunakan untuk skrining deteksi dini depresi di fasilitas kesehatan primer.

Kuesioner PHQ-9 terdiri dari sembilan pertanyaan pendek. Yakni, dalam 2 minggu terakhir, seberapa sering Anda terganggu oleh masalah-masalah berikut: 

  • Kurang berminat atau bergairah dalam melakukan apapun.
  • Merasa murung, sedih, atau putus asa.
  • Sulit tidur atau mudah terbangun, atau terlalu banyak tidur. 
  • Merasa lelah atau kurang bertenaga. 
  • Kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan.
  • Kurang percaya diri — atau merasa bahwa Anda adalah orang yang gagal atau telah mengecewakan diri sendiri atau keluarga.
  • Sulit berkonsentrasi pada sesuatu, misalnya membaca koran atau menonton televisi. 
  • Bergerak atau berbicara sangat lambat sehingga orang lain memperhatikannya. Atau sebaliknya; merasa resah atau gelisah sehingga Anda lebih sering bergerak dari biasanya.
  • Merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun.

“Meskipun telah banyak studi yang menunjukkan efektivitas dan keunggulannya (PHQ-9), tetapi pengaplikasiannya secara klinis masih menjadi subjek perdebatan di kalangan para ahli,” kata Shelly dalam kepada Health Liputan6.com melalui keterangan tertulis, Rabu, 24 April 2024.

Tujuan Utama Survei dengan PHQ-9

Hasil skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menunjukkan bahwa ada 2.716 calon dokter spesialis yang mengalami gejala depresi.
Hasil skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menunjukkan bahwa ada 2.716 calon dokter spesialis yang mengalami gejala depresi. Foto: Kemenkes

Dalam keterangan yang sama, Psikolog Klinis dan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Aulia Iskandarsyah, PhD. menjelaskan tujuan utama dari survei menggunakan PHQ-9.

“Tujuan utama dari instrumen ini (PHQ-9) adalah untuk skrining awal dan pengisian survei dilakukan oleh responden pribadi (self-report). Maka hasil survei tersebut bisa dimaknakan sebagai informasi awal yang harus dikonfirmasi dalam beberapa aspek,” kata Aulia.

Beberapa aspek yang perlu dikonfirmasi adalah:

Pertama, terkait dengan pemahaman dan keseriusan responden pada saat mengisi survei.

Kedua, diperlukan konfirmasi dari klinikus di bidang kesehatan jiwa untuk bisa menegakkan diagnosis depresi.

Pernah Dilakukan di Negara Lain

Persentase Depresi Terbanyak Menurut Survei Kemenkes Ditempati Prodi Sp1 PPDGS Penyakit Mulut, KIPMI Angkat Bicara
Persentase Depresi Terbanyak Menurut Survei Kemenkes Ditempati Prodi Sp1 PPDGS Penyakit Mulut, KIPMI Angkat Bicara. Foto: Kemenkes.

Aulia menambahkan, penelitian sejenis pernah dilakukan di negara-negara lain. Chen dkk (2022) melakukan survei yang melibatkan responden besar, yaitu 1.006 residen dari 16 Rumah Sakit Pendidikan di Shanghai dan Beijing, Tiongkok. Dan 7.028 residen dari lebih dari 100 institusi Pendidikan di Amerika Serikat.

Pengukuran dilakukan pada tahun pertama residen yaitu bulan ke-3, ke-6, ke-9 dan ke-12. Hasilnya, proporsi residen yang memenuhi kriteria depresi setidaknya satu kali selama tahun pertama residensi meningkat secara signifikan dari 9,1 persen menjadi 35,1 persen.

Hal yang membedakan dari survei Kementerian Kesehatan, pada penelitian ini mencakup asesmen terhadap faktor-faktor yang berkaitan dan menjadi faktor risiko dari simptom depresi. Ini mencakup:

  • Pengaturan rotasi
  • Kesalahan medis yang dirasakan
  • Jam kerja
  • Jam tidur selama seminggu terakhir
  • Ketakutan mengalami kekerasan di tempat kerja
  • Adanya stresor kehidupan non residensi (misal mengalami penyakit serius; kematian atau penyakit serius pada anggota keluarga atau teman dekat, masalah keuangan; putus dari hubungan yang serius; atau menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga) selama 3 bulan terakhir.

Hasil Survei Kemenkes Harus Disikapi dengan Tepat

Selain itu, pada penelitian di Tiongkok ini juga terdapat asesmen atas sejarah mengalami simptom depresi sebelum mengikuti residensi dan pengukuran neuroticism sebagai trait kepribadian mereka.

“Oleh karena itu, hasil survei dari Kementerian Kesehatan perlu disikapi dengan tepat dengan melakukan pemetaan atas faktor-faktor predisposisi dan faktor risiko yang kemudian akan dikonfirmasi oleh klinikus di bidang kesehatan jiwa agar pemaknaan atas survei tersebut benar,” saran Aulia.

Pemaknaan yang benar terhadap survei dapat membuat intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dan Institusi pendidikan menjadi tepat sasaran.    

INFOGRAFIS JOURNALAda Peningkatan Jumlah Remaja Alami Depresi?
INFOGRAFIS JOURNALAda Peningkatan Jumlah Remaja Alami Depresi? (Liputan6.com/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya