Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia atau IDAI mengumumkan kasus gangguan ginjal akut misterius di RI terus bertambah menjadi 152 anak yang terserang. Meskipun kasus ini sudah ada sejak Januari 2022, namun gangguan ginjal akut misterius ini baru mengalami pelonjakan signifikan pada September 2022.
Meskipun begitu, kondisi ini perlu diwaspadai oleh orang tua. Gangguan ginjal akut misterius ini berbeda dengan gangguan ginjal pada umumnya. Penderita yang mengidap penyakit ini sebelumnya sehat dan tidak memiliki penyakit kronis maupun kelainan ginjal bawaan.
Untuk mengenali gangguan ginjal akut misterius pada anak, para orang tua wajib mengetahui gejala atau tanda-tandanya supaya dapat mengatasi dengan cepat dan tepat. Hal ini sebagai langkah untuk melaporkan kasus tersebut.
Advertisement
Berikut ini Liputan6.com ulas mengenai gejala gangguan ginjal akut misterius menurut IDAI dan pencegahannya yang telah dirangkum dari berbagai sumber. Minggu (16/10/2022).
Gejala Gangguan Ginjal Akut Misterius
Berdasarkan data yang dihimpun IDAI hingga Jumat (14/10/2022), 152 kasus tersebut tersebar di 16 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Banten, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Barat, Jambi Kepulauan Riau, Papua Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.
Menurut Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr Eka Laksmi Hidayati, SpA(K) menjelaskan sejumlah gejala pada anak dengan gangguan ginjal misterius. Gejala awal yang muncul yakni infeksi seperti batuk-pilek, diare, dan muntah. Secara teoritis, infeksi itu seharusnya tidak berpotensi memicu acute kidney injury (AKI) dan gagal ginjal akut.
"Diawali dengan gejala infeksi seperti batuk-pilek, atau diare dan muntah. Infeksi tersebut tidak berat. Bukan tipikal infeksi yang kemudian harusnya menyebabkan AKI secara teoritis kami pelajari di kedokteran. Itulah yang membuat kami heran," kata dr Eka.
"Dia hanya beberapa hari timbul diare atau muntah, kemudian demam, kemudian dalam tiga sampai lima hari mendadak tidak ada urine-nya. Jadi tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sama sekali buang air kecilnya. Jadi anak-anak ini hampir semuanya datang dengan keluhan tidak buang air kecil, atau buang air kecilnya sangat sedikit," ungkapnya.
Advertisement
Kasus Paling Banyak pada Balita
Mengutip dari Health Liputan6, menurut Ketua Pengurus Pusat IDAI, dr Piprim Basarah Yanuarso mengatakan bahwa kategori usia yang melaporkan gangguan ginjal akut ada pada rentang 0-10 tahun. Namun, kebanyakan pasiennya berada pada usia dibawah 5 tahun.
"Kalau lihat usianya, ini memang sebagian paling banyak di usia 1-5 tahun (75 kasus). Ada juga 0-1 tahun (35 kasus), 5-10 tahun (24 kasus), dan diatas 10 tahun (18 kasus). Tapi terbanyak usia 1-5 tahun," ujar Piprim dalam konferensi pers, Jumat (14/10/2022).
Meskipun demikian, Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI meminta masyarakat untuk tetap tenang. Masyarakat juga diminta tetap waspada dan selalu mencari informasi dari sumber terpercaya sehingga tidak menerima informasi yang simpang siur.
"Kita harapkan masyarakat tetap tenang dan tidak panik, tetap waspada, dan pahami betul tentang bagaimana cara mengenali apakah urinnya cukup atau tidak. Jumlah urin yang cukup adalah 1 cc per-kilogram berat badan dan per-jam," sebut dr. Piprim Yanuarso.
Penyebab Gangguan Ginjal Akut Misterius
Penyebab terjadinya gangguan ginjal akut misterius hingga kini belum diketahui dan berada dalam proses investigasi.
Menurut dr. Piprim mengungkapkan bahwa pihaknya bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tengah melakukan mitigasi atas kejadian gangguan ginjal akut yang progresif dan atipikal.
"Biasanya gangguan ginjal akut pada anak balita itu karena kelainan bawaan, karena ginjalnya kecil, enggak terbentuk bagus. Tapi (152) anak-anak ini sebelumnya sehat, tidak ada kelainan bawaan. Kemudian terjadi masalah ini," ujar Piprim.
Piprim menjelaskan, sebelumnya ada dugaan bahwa gangguan ginjal akut yang terjadi pada anak kali ini ada kaitannya dengan COVID-19. Namun, hasil tes yang dilakukan sejauh ini oleh IDAI menunjukkan tidak ada kaitannya.
"Penyebabnya ini ada beberapa teori. Tadinya kita duga terkait dengan COVID-19, merupakan suatu MIS-C (Multisystem Inflammatory System in Children). Tapi setelah di tatalaksana dengan MIS-C, ternyata hasilnya berbeda dengan MIS-C yang sebelum-sebelumnya," kata Piprim.
Menurutnya fenomena ini masih belum konklusif atau menemukan titik terang terkait penyebabnya, sehingga perlu adanya investigasi lebih lanjut.
"Jadi penyebabnya itu memang belum konklusif ya. Oleh karena itu butuh investigasi lebih lanjut." tambahnya.
Advertisement
152 Kasus dari 16 Provinsi
Masih mengutip dari laman yang sama, dr. Piprim menyebutkan bahwa sejak pertengahan September, IDAI telah berkoordinasi dengan ketua IDAI cabang terkait adanya peningkatan kasus gangguan ginjal akut pada anak.
"Kami menyebarkan form ke seluruh ketua IDAI cabang dan inilah hasilnya. Ada 16 cabang yang melaporkan, mungkin belum semua melaporkan. Sampai 14 Oktober ada 152. Hanya saja memang trennya kalau kita lihat puncaknya itu di September, ada 76 laporan. Di Oktober (21 kasus) trennya menurun, di Agustus (36 kasus) juga lebih menurun," ungkapnya.
Data tersebut masih belum secara keseluruhan, karena masih adanya rumah sakit yang tidak membuka data pasien karena dinilai konfidensial.
"Data kami itu sumbernya dari laporan pasien yang dilaporkan oleh anggota IDAI. Jadi memang yang namanya laporan itu mungkin tidak representatif untuk menangkap semua. Tergantung pada teman-teman ini melaporkan atau tidak, karena terus terang ada beberapa rumah sakit yang alasannya konfidensial," kata Piprim.