Mengenal Brain Rot, Fenomena 'Pembusukan Otak karena Medsos' yang Jadi Word of the Year 2024

Oxford University Press mengumumkan brain rot sebagai Word of the Year 2024, apa itu Brain Rot?

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 05 Des 2024, 18:20 WIB
Diterbitkan 05 Des 2024, 18:20 WIB
Ilustrasi media sosial, Instagram
Ilustrasi media sosial, Instagram. (Image by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Di era digital yang semakin berkembang, istilah brain rot muncul sebagai fenomena yang mengkhawatirkan sekaligus menarik perhatian dunia. Oxford University Press mengumumkan brain rot sebagai Word of the Year 2024, sebuah pencapaian yang menggambarkan betapa signifikannya dampak media sosial terhadap perkembangan mental manusia modern.

Fenomena brain rot sendiri merujuk pada kemunduran kondisi mental atau intelektual seseorang, khususnya akibat konsumsi berlebihan terhadap konten-konten tidak bermakna di media sosial. Menariknya, lebih dari 37.000 orang berpartisipasi dalam pemilihan kata ini, menunjukkan bahwa brain rot telah menjadi istilah yang relevan dengan kehidupan masyarakat global.

Terpilihnya istilah ini sebagai kata tahun 2024 bukan tanpa alasan. Kekhawatiran akan dampak negatif dari konsumsi konten digital yang berlebihan telah mendorong diskusi serius di berbagai kalangan, mulai dari akademisi hingga praktisi kesehatan mental. Fenomena ini bahkan telah memicu perdebatan tentang bagaimana teknologi modern mempengaruhi cara kita berpikir dan berinteraksi.

Lebih jelasnya, mari simak rangkuman tentang Brain Rot berikut ini, yang telah Liputan6.com susun pada Kamis (5/12).

Sejarah dan Evolusi Istilah Brain Rot

7 Cara Sederhana untuk Memaksimalkan Profil Media Sosial agar Terlihat Profesional (Virlia Sakina Ramada)
Aplikasi-aplikasi media sosial (pexels.com).

Meskipun saat ini brain rot identik dengan era digital, sejarahnya justru bermula jauh sebelum media sosial ada. Pertama kali tercatat dalam buku Walden karya Henry David Thoreau pada tahun 1854, istilah ini awalnya digunakan untuk mengkritik kecenderungan masyarakat yang lebih memilih ide-ide sederhana dibandingkan pemikiran kompleks.

Seiring perkembangan zaman, makna brain rot mengalami evolusi yang signifikan. Di era modern, penggunaan istilah ini mengalami lonjakan drastis sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024. Peningkatan ini mencerminkan keprihatinan kolektif terhadap dampak konsumsi konten digital yang semakin masif.

Oxford University Press mendefinisikan brain rot sebagai kemerosotan mental atau intelektual yang disebabkan oleh konsumsi berlebihan terhadap konten daring yang dangkal atau tidak menantang secara intelektual. Definisi ini menegaskan bahwa fenomena tersebut bukan sekadar istilah trendy, melainkan gambaran nyata dari permasalahan sosial kontemporer.

Casper Grathwohl, Presiden Oxford Languages, menekankan bahwa brain rot berbicara tentang salah satu bahaya nyata dalam kehidupan virtual. Menurutnya, ini merupakan babak baru dalam diskusi tentang hubungan antara kemanusiaan dan teknologi.

Dampak Brain Rot pada Generasi Digital

Brain rot memiliki dampak yang sangat signifikan, terutama di kalangan Generasi Z dan Generasi Alpha yang tumbuh bersama platform media sosial. Fenomena ini telah menciptakan "bahasa brain rot" tersendiri, seperti penggunaan kata "skibidi" untuk menggambarkan sesuatu yang tidak masuk akal atau "ohio" untuk mendeskripsikan hal-hal yang aneh atau memalukan.

Platform seperti TikTok menjadi contoh nyata bagaimana konten-konten viral seperti serial Skibidi Toilet dan meme "Only in Ohio" dapat mempengaruhi cara berkomunikasi dan berpikir generasi muda. Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya daring mampu menciptakan kosakata baru yang kemudian menyebar ke kehidupan nyata.

Lebih mengkhawatirkan lagi, konsumsi berlebihan terhadap konten-konten yang tidak bermutu dapat berdampak serius pada kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan konsentrasi. Hal ini terutama terlihat pada anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap perkembangan mental.

Dampak brain rot terhadap kesehatan mental telah menjadi perhatian serius hingga mendorong pusat kesehatan mental di Amerika Serikat untuk menerbitkan panduan khusus. Panduan ini bertujuan membantu masyarakat mengenali dan menghindari dampak negatif dari fenomena brain rot.

Upaya Pencegahan dan Penanganan Brain Rot

7 Cara Sederhana untuk Memaksimalkan Profil Media Sosial agar Terlihat Profesional (Virlia Sakina Ramada)
Aplikasi-aplikasi media sosial (pexels.com).

Menghadapi fenomena brain rot, diperlukan kesadaran dan tindakan nyata dari berbagai pihak. Para ahli kesehatan mental menekankan pentingnya membatasi konsumsi konten digital dan memilih konten yang berkualitas untuk menjaga kesehatan mental.

Orang tua dan pendidik memiliki peran krusial dalam membimbing generasi muda untuk menggunakan media sosial secara bijak. Mereka perlu memahami fenomena brain rot dan mengajarkan cara memilih serta mengonsumsi konten digital yang bermanfaat.

Institusi pendidikan juga perlu mengembangkan kurikulum yang memasukkan literasi digital sebagai komponen penting. Hal ini dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan memilah informasi yang mereka terima dari media sosial.

Di tingkat individu, penting untuk menerapkan "digital detox" secara berkala dan mengalokasikan waktu untuk aktivitas yang merangsang kreativitas dan pemikiran mendalam. Langkah ini dapat membantu mencegah dampak negatif dari brain rot sekaligus menjaga kesehatan mental.

Peran Media Sosial dalam Perkembangan Brain Rot

Perkembangan media sosial yang semakin pesat telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya fenomena brain rot. Platform-platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menawarkan konten yang dirancang untuk memberikan kepuasan instan, namun seringkali minim nilai edukasi atau intelektual.

Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan engagement justru sering mendorong pengguna untuk terus mengonsumsi konten-konten ringan dan repetitif. Sistem rekomendasi yang memprioritaskan konten viral daripada konten berkualitas turut berkontribusi pada meluasnya fenomena brain rot.

Para peneliti menemukan bahwa paparan terus-menerus terhadap konten singkat dan cepat berganti dapat mempengaruhi kemampuan otak untuk memproses informasi mendalam. Akibatnya, banyak pengguna media sosial mengalami penurunan rentang perhatian dan kesulitan untuk fokus pada tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran mendalam.

Lebih jauh lagi, kecenderungan platform media sosial untuk menampilkan konten yang memicu dopamin telah menciptakan siklus ketergantungan. Pengguna menjadi terbiasa dengan gratifikasi instan dan kesulitan untuk mengapresiasi konten yang membutuhkan waktu dan pemikiran lebih mendalam.

Dampak Brain Rot pada Produktivitas dan Kehidupan Profesional

7 Cara Sederhana untuk Memaksimalkan Profil Media Sosial agar Terlihat Profesional (Virlia Sakina Ramada)
Konten media sosial (pexels.com).

Fenomena brain rot tidak hanya mempengaruhi kehidupan pribadi tetapi juga berdampak signifikan pada produktivitas dan kinerja profesional. Banyak perusahaan melaporkan penurunan kemampuan konsentrasi dan efisiensi kerja karyawan akibat kebiasaan mengonsumsi media sosial yang berlebihan.

Di lingkungan akademis, para pendidik mengamati perubahan pola belajar siswa yang semakin bergantung pada informasi instan dan kesulitan menghadapi materi pembelajaran yang membutuhkan analisis mendalam. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam dunia pendidikan modern.

Dampak brain rot juga terlihat pada menurunnya kualitas komunikasi profesional. Kebiasaan berkomunikasi singkat dan informal di media sosial seringkali terbawa ke dalam konteks profesional, yang dapat menimbulkan masalah dalam hubungan kerja dan komunikasi bisnis.

Produktivitas kerja juga terganggu oleh kebiasaan multitasking yang didorong oleh konsumsi media sosial berlebihan. Meskipun banyak yang menganggap multitasking sebagai kemampuan yang menguntungkan, penelitian menunjukkan bahwa praktik ini justru menurunkan kualitas kerja dan meningkatkan tingkat kesalahan.

Fenomena brain rot merupakan tantangan serius di era digital yang memerlukan perhatian dan tindakan nyata dari semua pihak. Terpilihnya istilah ini sebagai Word of the Year 2024 menjadi momentum penting untuk memulai diskusi dan aksi kolektif dalam menghadapi dampak negatif konsumsi media sosial yang berlebihan.

Meskipun teknologi dan media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, kita perlu menemukan keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan menjaga kesehatan mental. Dengan kesadaran dan upaya bersama, dampak brain rot dapat diminimalisir sembari tetap menikmati manfaat positif dari perkembangan teknologi digital.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya