Hukum Selamatan atau Tahlilan Orang Meninggal Menurut NU dan Muhammadiyah

Saat ada orang yang meninggal, biasanya ada acara selamatan untuk orang meninggal. Acara yang mengundang tetangga ini diisi dengan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 06 Jan 2023, 20:30 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2023, 20:30 WIB
Foto: Momen Haru saat Skuad Arema FC Berziarah ke Makam Korban Tragedi Kanjuruhan
Ilustrasi - Malam hari pun di tempat salah satu korban lainnya, Ahmad Fajar Khoiron yang juga menjadi korban tewas dalam Tragedi Kanjuruhan dilakukan Tahlilan dengan membaca Surat Yasin untuk mendoakan almarhum. (AP/Dicky Bisinglasi)

Liputan6.com, Jakarta - Saat ada orang yang meninggal, biasanya ada acara selamatan atau tahlilan untuk orang meninggal. Acara yang mengundang tetangga ini diisi dengan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah

Kemudian secara khusus pahala bacaannya dihadiahkan untuk orang yang meninggal. Acara semacam ini biasanya digelar pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut, saat 40 hari, 100 hari, hingga memperingati haulnya.

Terkait perkara ini memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sampai sekarang perbedaan ini kerap kali menjadi bahan perdebatan di tengah-tengah masyarakat. 

Padahal seharusnya perbedaan ini tak perlu diperdebatkan lagi. Keduanya memiliki landasannya masing-masing. Toleransi atau menghargai perbedaan pendapat adalah cara bijak untuk menyikapinya.

Dalam kesempatan ini Liputan6.com akan menguraikan masing-masing pendapat yang membolehkan selamatan untuk orang meninggal dan yang tidak. Kali ini yang akan diulas adalah pendapat dari ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Pendapat NU

Ilustrasi bersyukur, Islami
Ilustrasi bersyukur, Islami. (Photo by ekrem osmanoglu on Unsplash)

Pendapat pertama adalah yang membolehkan. Mengutip NU Online, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. 

Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:  

 أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ، عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ   

Artinya: “Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya.” (Lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5, h. 131). 

Adapun soal mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah seperti pada malam Jumat, hari ke-40 orang meninggal, dan sebagainya, pendapat ini membolehkan. Pendapat ini berpegangan pada hadis riwayat Ibnu Umar:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ.   

Artinya: Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya.“  

Mengomentari hadis tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, h. 197).   

Pendapat ini juga membolehkan bersedekah untuk orang yang meninggal dan diyakini bahwa pahalanya sampai kepada mereka. Pendapat ini berpedoman pada riwayat Aisyah radhiyallahu anha:   

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ نَعَمْ   

Artinya: Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”

Dengan berdasar pada dalil-dalil sebelumnya, ulama NU menyepakati bahwa tahlilan atau selamatan untuk orang meninggal boleh-boleh saja dilakukan dalam Islam.

Pendapat Muhammadiyah

Ilustrasi muslim berdoa, berzikir, Islami
Ilustrasi muslim berdoa, berzikir, Islami. (Photo Copyright by Freepik)

Sementara itu, Muhammadiyah memiliki pandangan tersendiri terkait hukum selamatan yang ditujukan kepada orang meninggal. Menurut Muhammadiyah, mengadakan selamatan disertai dengan doa yang dipaketkan itu tidak ada tuntunannya dalam Islam. 

Mengutip situs resminya, selamatan tiga hari dan seterusnya merupakan sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, dan peninggalan budaya Hindu yang sudah berakar di tengah-tengah masyarakat.

Menurut Muhammadiyah, karena selamatan untuk orang meninggal ada hubungan dengan ibadah, maka kembali lagi kepada tuntunan Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ulama Yahudi yang masuk Islam, bernama Abdullah bin Salam, yang ingin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya. Ia ditegur oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, kita harus masuk kepada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sebahagian-sebahagiannya.

“Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa,” demikian keterangan dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 3, 2007 yang dimuat di situs resminya.

Muhammadiyah mencontohkan saat zaman Nabi Muhammad SAW. Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum.

Wallahu’alam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya