Lebih Utama Mana, Khutbah Jumat Tanpa Teks atau Membaca?

Khutbah merupakan salah satu syarat sahnya sholat jumat. Khutbah juga bertujuan untuk mengajak semua jemaah agar senantiasa mengerjakan kebajikan dan meninggalkan segala larangan-Nya.

oleh Putry Damayanty diperbarui 01 Sep 2023, 10:30 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2023, 10:30 WIB
Shalot Jumat Pertama Ramadhan Di Masjid Istiqlal
Umat Islam mendengarkan khutbah saat mengikuti ibadah salat Jumat pertama Ramadan 1444 Hijriyah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (24/3/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu syarat sah sholat Jumat adalah terdapat dua khutbah sebelum pelaksanaannya. Tujuannya adalah untuk mengajak semua jamaah agar terus meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, mengerjakan semua kewajiban dan menjauhi semua larangan-Nya.

Oleh sebab itu, tanpa khutbah maka sholat jumat tidak akan sah.

Sedangkan hukum berkhutbah dengan cara membaca teks sebagaimana yang sering kita lihat di beberapa masjid hukumnya diperbolehkan, dan tidak berpengaruh pada keabsahan sholat. Sekalipun ia bisa untuk berkhutbah secara langsung tanpa melihat teks.

Dikutip dari laman NU Online, dijelaskan oleh Syekh Musthafa as-Suyuthi ar-Rahibani ad-Dimisyqi, dalam kitab karyanya ia mengatakan:

وَلاَ بَأْسَ بِقِرَاءَتِهِمَا أي: خُطْبَتَيْنِ مِنْ صَحِيْفَةٍ وَلَوْ مِمَّنْ يحْسِنُهُمَا

Artinya: “Dan tidak masalah membaca dua khutbah dari kertas (teks), sekalipun dari orang yang lancar berkhutbah (tanpa melihat teks).” (Syekh ar-Rahibani, Mathalibu Ulinnuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha, [Damaskus, Maktab al-Islami: 1961], juz I, halaman 770).

Senada dengan pendapat ini, Syekh Najah Muhammad bin Abdul Khaliq juga mengatakan kebolehan khutbah jumat dengan membaca teks. Dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa pada masa Rasulullah, para sahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya tidak pernah berkhutbah menggunakan teks sebagaimana lumrah pada saat sekarang.

Namun sebagian para ulama pada masa itu ada yang memperbolehkan jika khatib memang tidak bisa berkhutbah tanpa membaca teks.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Tujuan Diperbolehkan Membaca Teks Khutbah

Salah satu tujuan diperbolehkannya khutbah dengan membaca teks adalah agar khutbah yang dibaca tidak terlalu panjang, tidak keluar dari pembahasan pokoknya, dan pembahasannya terus berkelanjutan,

أجاز بعض العلماء في هذا الزمان القراءة من الصحيفة، وذلك لئلا يذهب الخطيب الى اطالة الخطبة وتشعبها والخروج عن موضعها

Artinya: “Sebagian ulama memperbolehkan khutbah dengan membaca teks pada zaman sekarang. Hal itu agar orang yang berkhutbah (khatib) tidak memperpanjang dan sangat memerinci khotbah hingga keluar dari pokok pembahasannya.” (Syekh Najah Muhammad, asy-Syamil fi Ahkamil Jum’ah ‘ala Mazhahibil Arba’ah, [Darul Ma’mun: 2014], halaman 126-127).

Terlalu memperpanjang khutbah dengan hal-hal yang tidak penting pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang dianjurkan dalam khutbah Jumat, karena khawatir para jamaah akan bosan dengan isi dari khutbahnya.

Prinsipnya, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Abdurrauf al-Munawi, yang penting sudah berisi wasiat untuk meningkatkan ketakwaan, nasihat, dan ajakan untuk terus istiqomah dalam ketaatan sudah cukup. (Syekh al-Munawi, Faidhul Qadir Syarh Jami’is Shagir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1994], juz V, halaman 238).

Dari beberapa penjelasan ini, lantas manakah yang lebih utama antara khutbah dengan membaca teks dengan tidak membaca teks atau langsung?

Syekh Ibrahim asy-Syarim dalam kitabnya mengatakan bahwa pertanyaan lebih dan tidaknya dalam hal ini tergantung keadaan khatib itu sendiri. Jika ia memiliki kemampuan (milkah) dan penguasaan materi yang cukup untuk menyampaikan khutbah dengan benar, serta tidak akan ada rukun dan syarat khutbah yang tertinggal, maka berkhutbah tanpa melihat teks lebih baik dan lebih utama bagi orang tersebut.

Dan sebaliknya, jika tanpa melihat teks justru akan menjadikan khutbah tidak terarah, atau bahkan beberapa ketentuan khutbah ada yang tertinggal, atau akan keluar dari konteks pembahasannya, maka melihat teks lebih baik dan lebih banyak manfaatnya. (Syekh Ibrahim, asy-Syamil fi al-Fiqh, juz I, halaman 81).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya