Potret Bioskop di Jakarta dari Masa ke Masa

Banyak fakta menarik di balik sejarah keberadaan bioskop di Jakarta dari masa ke masa.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 01 Apr 2016, 09:00 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2016, 09:00 WIB
Bioskop di Jakarta
Banyak fakta menarik di balik sejarah keberadaan bioskop di Jakarta dari masa ke masa.

Liputan6.com, Jakarta Sejarah mencatat film pertama di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng buatan tahun 1926 yang disutradarai L Heuveldorp. Ini merupakan film bisu pertama yang dibuat berdasarkan cerita legenda asli Indonesia. Meski demikian, hari pengambilan gambar pertama film Darah dan Doa (1950) yang disutradarai Usmar Ismail, yakni 30 April, dijadikan sebagai titik tonggak Hari Film Nasional. Hal tersebut dianggap wajar mengingat pada tahun-tahun sebelumnya berbagai film tentang Indonesia kebanyakan dibuat oleh sutradara atau perusahaan film yang bukan orang Indonesia. Misalnya Nyai Dasima (1932), film pertama dibuat oleh Tans Family dan Terang Boelan yang disutradarai oleh Albert Balink.

Sejak kemunculan film-film ini, dunia perfilman Indonesia begitu ramai. Para sineas berlomba-lomba menghasilkan karya yang bisa dinikmati khalayak. Bermunculanlah para sutradara andal seperti Usmar Ismail—yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Film Indonesia, Nyak Abbas Akup, Asrul Sani, Arifin C Noer, Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Chaerul Umam, dan Nawi Ismail—sutradara kebanyakan film Benyamin Suaeb.

Misbach Yusa Biran, penulis sekaligus sutradara beberapa film, seperti Pesta Musik La Bana (1959) dan Honey Money and Jakarta Fair (1970) mencatat, sebagian suka duka dirinya sebagai orang film dalam kumpulan cerpen Oh Film (1973) dan kisah biografi dirinya Kenang-kenangan Orang Bandel (2008). Misbach yang juga pendiri Sinematek Indonesia dan suami aktris Nani Wijaya ini kemudian menulis buku Bikin Film di Jawa (2009) yang mengisahkan sejarah film di Indonesia sejak 1900-1950.

Begitu banyaknya film-film yang diproduksi, ditambah sambutan masyarakat yang baik, membuat bioskop-bioskop tumbuh, khususnya di Jakarta, seperti jamur tumbuh di musim hujan. Periode 1950-1960-an, masyarakat Jakarta sudah mendapatkan hiburan dari nonton film di bioskop. Pada masa itu bioskop tidak dimiliki dan dikuasai oleh jaringan 21 seperti sekarang ini. Masing-masing bioskop rata-rata dipunyai oleh perorangan dan biasanya punya kecenderungan menampilkan film-film tertentu.

Alhamra, misalnya. Bioskop ini didirikan tiga bersaudara dari keluarga Shahab, yaitu Idrus, Syehan, dan Abubakar pada 1931. Alhamra Theater terletak di Sawah Besar. Alwi Shahab, wartawan Betawi, menyebutkan film yang diputar di sini biasanya film-film Mesir. Ketika Alhamra Theater didirikan, film-film India belum masuk ke Indonesia. Karena pemiliknya punya hubungan dengan Timur Tengah, maka dipilihlah film Mesir jadi sajian utamanya. Importirnya SMR Ridho Shahab, putra Sayid Abubakar, salah seorang pemilik Alhamra.

Film-film Mesir digemari warga Betawi. Penyanyi asal Mesir, seperti Abdul Wahab dan Umm Kaltsoum, pun ikutan kesohor.

Akibat film-film yang diputar di Alhamra Theater, warga Betawi keranjingan orkes gambus. Mereka bernyanyi, “Ghannili, suwaiya-suwaiya” yang artinya ‘Saya nyanyikan lagu ini pelan-pelan untukmu sayang’. Lagu-lagu dari film-film Mesir ini juga dinyanyikan oleh orkes gambus Al-Wathan dan Al-Wardhah di RRI. Karena itulah lagu-lagu ini cepat meluas ke seantero pelosok Ibu Kota.

Nonton Film India di Rivoli

Nonton Film India di Rivoli 

Kalau Alhamra rutin menyajikan film Mesir, bioskop Rivoli justru terkenal dengan film Indianya. Rivoli terletak di Jalan Kramat Raya dan berdiri tahun 1952. Gedung bioskop ini mulanya bernama bioskop Asia. Kemudian di tahun 1970 pengusaha Betawi Haji Syahlami mengambil alih bioskop tersebut dan mengubah namanya menjadi Rivoli. Gedung bioskop berkapasitas 800 penonton ini khusus memutar film-film India. Ternyata peminatnya membeludak, hingga kawasan Rivoli ramai dikunjungi orang. Namun seiring perkembangan zaman, popularitas bioskop sebagai tempat hiburan semakin memudar. Hal itu tak dapat dihindari dengan membanjirnya VCD di pasaran dan intensifnya tayangan film India di televisi. Kini tak ada jejak-jejak Rivoli sama sekali karena bekas gedungnya sudah rata dengan tanah. Sungguh disayangkan.

 Rivoli Theater

Selain Rivoli, di Senen ada bioskop Grand dan Rex. Letaknya di pinggir Jalan Kramat Raya, tepat di pengkolan arah ke Jatinegara. Ada juga bioskop Capitol, Astoria, dan Metropole. Astoria adalah salah satu bioskop yang masih berdiri sampai saat penyerahan Belanda kepada Jepang tahun 1942. Astoria berada di wilayah Pintu Air. Di kemudian hari bioskop ini dikenal dengan nama Satria.

Adapun bioskop Capitol didirikan oleh seorang Belanda bernama de Callone. Mula-mula hanya bioskop terbuka di lapangan, sehingga sering disebut misbar (gerimis bubar). Namun akhirnya dipakailah sebuah gedung yang disebut Capitol di daerah Pintu Air. Dulu bioskop ini hanya diperuntukkan bagi orang Belanda dan kalangan atas pribumi. Tarifnya satu setengah gulden dan dianggap mahal pada saat itu.

Yang cukup populer dan masih beroperasi hingga kini adalah Metropole, yang dahulu dikenal dengan nama Megaria. Terletak di kawasan Cikini, bioskop ini menempati gedung bersejarah yang dibangun pada 1932 dan terletak di antara sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Menteng. Pada 1951 gedung dan lahannya seluas 11.623 m2. Bangunannya dirancang oleh Liauw Goan Sing, dan awalnya diberi nama Bioscoop Metropool. Wikipedia menyebut bioskop ini mulai dibangun pada 1932 dan diresmikan 1949 oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta.

Metropole dulu hanya menyiarkan film-film MGM karena terikat kontrak. Namun mulai dari film nasional, Barat, Tiongkok, Mesir, hingga film India, semuanya memperkaya pengalaman menonton orang Betawi. Bapak Nadi Entong bin Tjemplon, 83 tahun, menjadi saksi betapa riuhnya bioskop dan tontonan di Jakarta.

Ia menyebut, “Hampir seluruh bioskop di Jakarta sudah saya datangi”. Menurut Bapak Nadi Entong, film koboi Amerika biasanya dibintangi Clerk Geber, Tom Mix, Gene Autry, dan John Wayne, sementara artisnya ada Doris Day dan Marlyn Monroe. Film Indonesia juga tak kalah ramai. Biasanya film Indonesia diputar di bioskop Central di Jatinegara, kini ganti nama menjadi Djaya. Karena waktu itu ada imbauan dari Sukarno, maka nama-nama bioskop yang berbau asing harus diganti. Bapak Nadi ingat bioskop Grand jadi Djaya, Metropole jadi Megaria, dan Grand jadi Kramat. Di Kota ada juga bioskop Orion dan bioskop Thalia di Jalan Hayam Wuruk.

Bioskop Tempo Dulu, Pria dan Wanita Dipisah

Bioskop Tempo Dulu, Pria dan Wanita Dipisah

Salah satu gedung bioskop yang merupakan tertua di Batavia adalah bioskop Globe yang terletak di daerah Pasar Baru. Bioskop ini termasuk dalam kategori bioskop kalangan atas, tempat bagi para pegawai tinggi atau kaum elite.

Alwi Shahab menyatakan SM Ardan dari Sinematek Indonesia menyebut bahwa sampai tahun 1934 bioskop-bioskop di Indonesia masih didominasi film bisu. Pasalnya, tidak semua bioskop bisa membeli peralatan film bersuara yang serba mahal. Pada masa itu penonton sangat menyukai film-film seperti Fantomas, Zigomar, Tom Mix, Edi Polo dan film lucu yang dibintangi Charlie Chaplin, Max Linder, dan Arsene Lupin. Film-film bisu alias gagu tersebut biasanya diramaikan oleh orkes sebagai pengiring musik.

Setelah era Charlie Chaplin, film-film koboi sangat disukai penonton. Prestise bioskop, selain dilihat dari film yang diputarnya, juga dilihat dari lokasinya. Bioskop-bioskop kelas atas biasanya menampilkan cerita drama. Selain itu, harga karcis di bioskop-bioskop bervariasi, berdasarkan kelas. Waktu itu ada beberapa kelas, seperti balcon, loge, stalles dan kelas satu. Ada juga bioskop yang membagi kelasnya menjadi kelas satu, dua, dan tiga. Makin jauh tempat duduk dari layar, maka harga tiketnya semakin mahal.

Capitol Theater

Bahkan ketika industri bioskop pertama kali menggeliat pada akhir abad ke-19, penontonnya masih dipisah berdasarkan jenis kelamin. Mungkin karena pertimbangan moral. Pemisahnya berupa lorong yang membelah sepanjang tengah-tengah bangsal dari depan dan belakang. Bangunan bioskopnya pun masih belum permanen, masih berupa bioskop keliling yang memakai tanah lapang. Sebab bioskop yang punya gedung permanen memang masih terbatas.

Tio Tek Hong, seorang penulis berkebangsaan Tionghoa, mencatat bioskop pertama dirintis Tuan Talbot di bangsal berdinding besar dan beratap seng di Gambir. Tempatnya tidak menetap. Baru pada 1900 didirikan bioskop permanen di gedung Permorin. Pendirinya Schawarz, seorang Belanda.

Untunglah gedung bioskop sekarang sudah permanen dan laki-perempuan tak lagi duduk terpisah. Sebab, bisakah dibayangkan bila malam Minggu, saat harusnya bergandengan tangan dengan sukaan seperti lagu Bing Slamet, kita justru duduk saling terpisah. Pastilah setelah layar diturunkan orang-orang akan berteriak saling mencari pasangannya masing-masing. Tentu saja akan sulit dan ribet mencarinya, apalagi jika ditingkahi suara pedagang yang menjajakan makanan di dalam gedung bioskop seperti zaman dulu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya