Liputan6.com, Jakarta Pemenang Sayembara Desain Homestay Nusantara 2016 ternyata punya cara tersendiri untuk menjadi yang terbaik. Peserta dengan judul karya Titik Temu tersebut dibuat atas dasar pengalaman mengunjungi salah satu destinasi prioritas Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Kota Tua, Jakarta. Yang oleh Menpar Arief Yahya disebut paling layak dibuat pusat jalan-jalan di tengah heritage building seperti di banyak negara Eropa maupun Amerika.
”Ide tentang desain Titik Temu (Rumah Beranda) berasal dari pengalaman saat beberapa kali menyusuri Kota Tua. Kami melihat kebanyakan orang hanya ramai di satu titik, yaitu Plaza Museum Fatahillah. Kami mencari solusinya dengan cara menciptakan Homestay yang layak di sekitar tempat tersebut, dan terciptalah Titik Temu atas dasar pengalaman kami menikmati Kota Tua,” Kata Ketua Tim Aditya Wiratama, Sabtu (12/11).
Aditya membuat karya menjadi pemenang tidak sendirian. Adit (sapaan akrab Aditya) memperoleh hadiah pemenang utama uang tunai Rp 50 juta pada 25 Oktober silam, di Kantor Kemenpar bersama rekannya Rizky Rahmadanti dan Dimas Dianggara Putra.
Advertisement
Sayembara yang didukung oleh Badan Ekonomi Kreatif dan Propan Raya itu memang harus jeli agar bisa menjadi pemenang. Begitu juga yang dilakukan Aditya dkk. Kata Adit, secara detail Homestay-nya diciptakan agar para wisatawan bisa nyaman dan tertarik menginap.
Adit menjelaskan, dia berpatokan kepada peta konservasi Kota Tua yang dicanangkan menjadi destinasi wisata. Kota Tua memiliki area yang harus dikonservasi yakni bangunan dan objek-objek memanjang sampai ke ujung Pulau Sunda kelapa.
”Agar wisatawan tidak capek jalan, dan tidak terlanjur malas untuk menyusurinya dengan jalan kaki, maka lahirlah konsep kami yakni lokasi Guest House yang tersebar mengikuti jalur titik-titik objek wisata yang di Konservasi. Jadi mereka sambil istirahat langsung menginap,” ujar Adit.
Adit berharap, nantinya Homestay bukan hanya menjadi rumah tinggal wisatawan namun juga menjadi rumah singgah bagi siapa saja yang merasa lelah ketika menyusuri kawasan Kota Tua.
”Disinilah pemilik rumah dan Tamu akan bertemu berbagai macam pejalan kaki yang singgah ke rumah mereka. Dari sana diharapkan ada sebuah interaksi baru yang tercipta, ada informasi yang bisa dibagi bagi si pejalan maupun penghuni rumah tentang perjalanan mereka ataupun cerita si penghuni tentang Kota Tua. Jadi semakin terkenal daerah Kota Tua,” ujarnya.
Untuk desainnya? Aditya bersama tim juga memikirkan dengan sangat matang dan terkonsep. Kata Adit, desain rumah berasal dari studi mengenai typologi rumah dan bangunan khas yang ada di Kota Tua. Namun timhya juga berusaha terus mengedepankan tentang budaya local Jakarta dengan beragam kultur yang telah masuk dan bercampur.
”Oleh karena itu bangunan didesain dengan konsep menyatukan berbagai ciri dari bangunan khas dari masing-masing budaya tersebut. Yang pertama, sebagai titik temu bangunan dicirikan dengan adanya menara. Hal ini selain sebagai penanda sehingga keberadaannya sehingga mudah di kenali, juga sebagai tempat sirkulasi udara pada atap yang juga bisa kita temui di bangunan-bangunan kolonial di kota tua. Sedangkan atap dan jendela mengadopsi bangunan klenteng yang ada di kawasan petak sembilan yang juga masih menjadi kawasan dengan kultur yang kental di kawasan Kota Tua,” ujarnya.
Selanjutnya, imbuh Aditya, dengan luasan yang terbatas, prinsip efisiensi ruang menjadi isu yang penting dalam membangun Homestay. Melihat objek dikawasan Kota Tua, jembatan kota Intan menjadi salah satu bangunan yang menerapkan efisiensi ruang. Dengan sistem jembatan yang bisa diangkat saat kapal lewat, ruang tersebut menjadi fleksibel dan dapat menyesuaikan fungsinya sesuai kebutuhan. Prinsip itulah yang juga diterapkan pada Titik Temu.
”Rumah selanjutnya menjadi titik temu bagi penghuni, tamu, turis dan masyarakat sekitar yang melewatinya. Poin utamanya di situ,” kata Adit.
Untuk teras atau beranda didesain dengan dinding yang bisa di buka tutup dan berubah fungsinya sesuai kebutuhan. Fungsinya pun disesuaikan dengan budaya dan perilaku masyarakat dari berbagai budaya.
”Fungsi yang pertama Beranda bisa digunakan sebagai toko atau warung bagi pemilik rumah, hal ini mengadopsi kebudayaan orang Tionghoa yang memfungsikan teras sebagai toko di rumahnya. Yang kedua beranda bisa digunakan sebagai teras publik seperti pada rumah kebaya atau rumah adat Betawi dimana teras menjadi ruang tamu publik yang bisa diakses siapa saja tamu yang singgah,” ujar Rizky Rahmadanti.
Lebih lanjut Rizky menambahkan, saat dinding dibuka, fungsinya pun bertambah menjadi tempat duduk yang bisa di duduki pejalan saat melintasinya.
”Namun saat pemilik menginginkan ruang private pun beranda ini bisa ditutup dan berubah fungsinya menjadi ruang dalam yang privat untuk pemilik rumah. Keberadaan Beranda yang terbuka dimaksudkan agar tamu bisa meningkatkan interaksi dengan pemilik maupun masyarakat sekitar. Namun tamu juga bisa dimanjakan dengan suasana Ruang Tidur yang seperti berada di dalam Menara, sehingga suasana kolonial dan Kota Tua masih tetap dapat dirasakan walaupun sudah di dalam kamar tidur,” katanya.
Selanjutnya, imbuh Rizky, isu mengenai ruang terbuka hijau juga penting di kota padat seperti Jakarta. Ruang terbuka hijau menjadi sangat terbatas didesak oleh kebutuhan ruang yang banyak di atas lahan yang sempit. Namun Rizky bersama timnya juga terus berusaha menyelesaikan masalah itu dengan menempatkan Taman di tengah Rumah, sehingga menambah resapan air dan juga sebagai sirkulasi udara dan cahaya yang baik seperti pada Rumah Tionghoa dan colonial Belanda.
”Lagi-lagi kami berusaha menyuntikkan program ruang yang sudah diterapkan pada Rumah-Rumah berbagai macam budaya tersebut. Dengan memperhatikan konteksnya, rumah Beranda dengan konsep titik temu dan multikultural diharapkan mampu menjadi bangunan yang mempunyai nilai ekonomi, meningkatkan interaksi sosial dan kebutuhan pejalan kaki akan tempat singgah selama menyusuri Kota Tua, juga memenuhi kebutuhan rumah tinggal yang nyaman bagi tamu atau wisatawan,” katanya.
(Adv)