Cerita Akhir Pekan: Agar Resolusi Berolahraga Rutin Berwujud Aksi Nyata

Punya niat tubuh lebih sehat dengan berolahraga rutin tahun ini, tapi mentok di wacana? Anda bisa temukan jalan keluarnya di sini.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 12 Jan 2019, 08:30 WIB
Diterbitkan 12 Jan 2019, 08:30 WIB
Olahraga
Ilustrasi olahraga (Sumber: pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2019 sudah dilalui dua pekan, apakah kamu mulai melaksanakan resolusi berolahraga lebih rutin agar hidup lebih sehatmu tahun ini? Dari sederet yang berhasil memulai, banyak yang masih bergulat dengan niat.

Salah satunya Sifu (22). Mahasiswa semester 7 ini mengaku membutuhkan olahraga lebih dari sebelumnya. Bukan untuk kurus, tetapi demi menghargai kesehatan tubuhnya.

"Soalnya, badan mulai enggak enak. Napas kaya berat. Tapi, malas," ujar perempuan berhijab ini kepada Liputan6.com, Jumat, 11 Januari 2019.

Ia mengaku nyaris setiap pagi berniat bangun pagi untuk berolahraga. Namun, niat itu ternyata hanya mendarat di atas kasur. Badannya malas digerakkan dan memilih tidur-tiduran saja sambil memainkan ponsel.

"Enggak tahu nih. Godaan untuk tidur-tiduran lebih besar daripada olahraga," tuturnya.

Padahal, sekitar sepuluh bulan sebelumnya, Sifu sempat menjalankan pola makan ketat dan olahraga rutin antara 3-4 kali seminggu. Ia bahkan mengikuti pola diet yang sedang tren saat itu, diet keto.

"Waktu itu niatnya pengen kurus. Tapi, yang aku rasa saat itu badanku emang lebih enteng dan napas lebih panjang. Temen-temenku bilang aku kurusan," katanya.

Titik balik gaya hidup sehat terjadi saat teman-temannya mulai mengkritik pola makannya yang dinilai tak sehat dan tak menghargai badan. Kritikan itu, sambung Sifu, membuatnya berpikir ulang tentang gaya hidup yang dijalaninya.

"Aku pikir iya juga ya. Kalau aku berolahraga itu semestinya karena memang pengen sehat, bukan karena pengen kurus. Kurus itu bonus," ucapnya.

Namun, perubahan pola pikir malah membuatnya berhenti dari rutinitas olahraga lari yang ditekuninya. Ia juga tak lagi menjaga pola makannya. Baru beberapa hari ini saja, ia memaksakan diri untuk bergerak, setidaknya berjalan kaki meski hanya beberapa ratus meter.

"Iya, kan aku jarang bawa motor. Jadi, aku jalan pulang dari tempat aku magang sampai stasiun. Lumayan," ujarnya.

 

 

 

 

Mengapa Olahraga Sering Berhenti di Wacana?

Ilustrasi jalan kaki olahraga untuk orang dengan nyeri lutut (iStock)
Ilustrasi jalan kaki olahraga untuk orang dengan nyeri lutut (iStock)

Apa yang dialami Sifu juga banyak dialami orang lain. Hal itu jamak terjadi lantaran Anda tak punya motivasi jelas saat berolahraga. Dokter spesialis olahraga, Michael Triangto SpKO menyebut ada tiga hal umum yang bisa memotivasi kita.

"Tujuan olahraga itu sebenarnya hanya tiga, untuk prestasi, kesehatan, dan fun. Kesulitannya adalah kalau sudah pilih satu, dua lainnya akan terlewatkan," kata Michael kepada Liputan6.com, kemarin.

Kalau mau mengejar prestasi, seseorang akan diberi porsi latihan berat yang menguras ketahanan fisik hingga seringkali berujung cedera. Maka itu, kata Michael, olahraga yang bertujuan prestasi tidak bisa memperoleh kesehatan dan hilang kesenangannya.

Sementara, orang yang mengejar rekreasi lewat olahraga, tidak bisa dipastikan dapat kesehatan karena olahraga yang dilakukan tidak rutin. Terakhir, mereka yang mengejar kesehatan -paling banyak yang dimotivasi hal ini- lebih berpeluang tidak meraih prestasi optimal, tetapi masih bisa diusahakan mendapat kesenangan.

"Latihan itu enggak boleh berat. Kalau baru pertama berlatih badannya langsung sakit, orang kapok untuk olahraga. Harus ringan dulu supaya yang bersangkutan tidak merasa olahraga jadi suatu masalah yang besar," ujarnya.

Ia mencontohkan, orang yang terbiasa jogging, bisa melanjutkan kebiasaan joggingnya tetapi dengan beban yang ditambah sedikit hingga ia terbiasa dan teru ditingkatkan sampai target tercapai. Jangan orang yang terbiasa jogging, diminta untuk lari. Hal itu jelas akan memberatkan yang bersangkutan.

"Sama halnya dengan orang yang terbiasa jalan, mending minta mereka jalan cepat dengan durasi tertentu, daripada disuruh langsung lari. Jadi intinya, sesuaikan jenis olahraga dengan kebiasaan orang tersebut," katanya.

Ia juga meminta agar masyarakat tidak lagi menyamakan aktivitas fisik sebagai olahraga. Contoh hal yang dilakukan Sifu di atas dengan menganggap jalan kaki dari tempatnya magang ke stasiun sebagai olahraga, adalah salah.

"Karena, olahraga itu harus terprogram, teratur, terukur, dan berkesinambungan. Kalau hanya jalan kaki di sela-sela kegiatan, itu namanya aktivitas fisik. Jadi, olahraga itu butuh waktu khusus," kata Michael.

Pertolongan Darurat Motivasi

20160303-Ilustrasi lari-iStockphoto
Ilustrasi olahraga lari (iStockphoto)

Motivasi yang paling optimal tentu harus berasal dari diri sendiri. Namun, Anda pun bisa mendapatkan bantuan dari sekitar, misalnya mengikuti komunitas tertentu.

Meski begitu, Michael menyarankan agar lebih teliti memilih komunitas yang tepat. Untuk Anda yang baru akan memulai kebiasaan berolahraga, sebaiknya pilih komunitas yang menyediakan pendamping untuk pemula atau memberi fasilitas sebagai observer.

"Kalau komunitasnya sifatnya langsung cemplung, bisa sebabkan dia menolak. Contoh, nggak pernah lari, ikutin lari, setelah itu sesak napas, pegal semuanya, muntah-muntah, itu nggak bisa. Yang benar harus ada pendampingan, boleh di belakang misalnya, bersama orang yang bisa memotivasi dia, didampingi. Pelan-pelan naikkan statusnya," tutur konsultan pebulutangkis Kevin Sanjaya ini.

Bantuan lainnya bisa diperoleh dari dokter. Grace Tumbelaka, SpKO menerangkan, dokter biasanya akan menanyakan tujuan yang bersangkutan untuk berlatih, mengecek kondisi kesehatan, hingga menanyakan olahraga yang disukai serta mudah diakses yang bersangkutan.

"Saya biasanya anjurkan olahraga yang paling mudah, murah, yaitu jalan cepat. Asal lakukan rutin, 3 kali/minggu, mulai dari 15 menit, meningkat menjadi 30 menit. Kalau sudah biasa menjadi 5 kali/minggu dengan total waktu 150 menit/minggu," tuturnya.

Sementara, Michael menyebut penggunaan gawai bisa membantu memotivasi asalkan digunakan secara bijak. Terkadang, perhitungan dengan gawai tak bisa jadi acuan utama mengingat ada realitas di lapangan yang tak maksimal.

"Ada penelitian yang menyebut orang Indonesia termasuk yang paling malas bergerak, saya dengar itu marah. Bagaimana mengharapkan banyak bergerak kalau yang punya apps itu kebanyakan orang kelas menengah atas yang sehari-hari berkendara dengan mobil ke mana-mana. Belum lagi kondisi infrastruktur yang tak mendukung," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya