Liputan6.com, Jakarta - Bagi Jenny Dorsey, founder organisasi kuliner non-profit Studio ATAO, makanan tak semata tentang sajian, tapi juga makna di baliknya. Maka dari itu, perempuan yang berprofesi sebagai juru masak ini memanfaatkan makanan untuk menyoroti isu Asian-American pada gelaran acara makan malam bertajuk "Asian in America".
Mengutip laman South China Morning Post, Jumat (24/1/2020), agenda makan malam ini juga memanfaatkan virtual reality (VR) dan puisi untuk menginspirasi penikmat berdiskusi tentang ragam isu yang relevan dengan komunitas Asian-American.
Makanan beserta cocktail yang disajikan secara khusus disiapkan suami Jenny, Matt Dorsey, di mana sengaja dikonstruksi untuk merepresentasi isu-isu tersebut lewat ragam simbol. Dalam perayaan Imlek tahun ini, Studio ATAO menggelar agenda tersebut di Japanese American National Museum, Los Angeles, Amerika Serikat.
Advertisement
Baca Juga
Dorongan utama dalam acara ini, yakni menciptakan suasana untuk membuat Asian-Americans berbicara tentang isu relevan, seperti masalah pribadi, sosial, maupun politik yang dihadapi orang keturunan Asia tinggal di Negeri Paman Sam.
"Orang cenderung malu dan kurang nyaman berada dalam situasi sosial. Mereka lebih mau berbicara tentang pekerjaan atau cuaca ketimbang topik sensitif seperti isu identitas. Karenanya, kami coba menghadirkan 'lokasi aman' di mana mereka bisa berdiskusi dengan lebih bebas," ucap Jenny.
"Setiap makanan punya topik dan penikmatnya dimaksudkan berdiskusi tentang topik tersebut," imbuhnya. Tiga makanan utama, kata Jenny, disambungkan dengan komponen di VR yang memperlihatkan proses pembuatan kuliner tersebut disertai narasi menjelaskan ide di baliknya.
Sedangkan, tiga kuliner lain direpresentasi kisahnya lewat puisi. "Narasi itu kemudian jadi sugesti dari kami tentang topik yang bisa didiskusikan," kata sang juru masak.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Makna Lebih Dalam
Makanan-makanan yang disajikan, Jenny menjelaskan, sarat akan simbolis. "Saya memberi makna lebih dalam lewat bahan dan cara memasak. Misal, sajian Model Minority, yang merupakan sajian ke-4, berbicara tentang mitos minoritas," paparnya.
Mitos tentang minoritas ini umumnya mengarah pada stereotip tentang Asian-American sebagai orang yang sopan, patuh hukum, pekerja keras, dan selalu sukses dengan pilihan karier mereka. Kendati baik, anggapan ini jadi beban tersendiri bagi mereka yang tak mendapat nasib demikian.
"Sajiannya terlihat seperti labirin. Itu maksudnya karena Anda seorang minoritas, menjalani hidup seperti tengah mencari jalur yang benar di dalam labirin," ujarnya. Anggapan-anggapan ini ingin ditiadakan agar setiap Asan-America mampu merepresentsi diri dengan cara-cara sesuai panggilan jiwa.
"Jadi, mereka tak perlu menunjukkan diri dengan hanya cara-cara tertentu, mengatakan sesuatu sesuai keinginan orang lain," sambungnya.
Lalu, cocktail Egg & Bananas menginspirasi percakapan tentang bagaimana ragam aturan biasanya berlaku di komunitas Asian-American. Beberapa makanan, kata Jenny, terhubung dengan identitasnya karena ia besar menkmati cita rasa tersebut. "Seperti saus manis dan asam," ucapnya.
Kendati, ia terus melakukan ekloplasi agar rasanya bisa diterima lebih banyak orang. Itulah dasar utama ia menciptakan menu demi menu. Jenny mengatakan, penikmat makanannya mengaku merespons petunjuk dengan baik dan berdiskusi sesuai topik yang dihadirkan lewat makanan, VR, puisi, dan cocktail.Â
Acara yang membanderol 125--175 dolar Amerika atau Rp1,7 juta--Rp2,4 juta per orang tersebut biasanya diikuti 20 sampai 50 partisipan. Sementara lokasi, seperti museum atau pusat budaya, dipilih sebagai tempat perhelatan.
Advertisement