Bung Hatta di Belanda: Belajar, Menulis, dan Dipenjara

Aktif di organisasi, kuliah Hatta lumayan terbengkalai. Tapi, ia diakui sebagai pemikir anti-kolonial yang cemerlang.

oleh Yus Ariyanto diperbarui 15 Mar 2014, 23:51 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2014, 23:51 WIB
bung hatta muda
Bung Hatta (berdiri, kedua dari kiri) bersama teman-teman di Belanda

Liputan6.com, Jakarta - Dengan penuh perjuangan, akhirnya Mohammad Hatta mendapatkan beasiswa dari Yayasan van Deventer. Ia resmi menjadi mahasiswa Handelshogeschool atau Sekolah Tinggi Bisnis di Rotterdam pada 19 September 1921. Usianya baru 19.

Ia tiba di Belanda pada 5 September 1921. Sepekan kemudian, Nazir Sutan Pamontjak menyambangi Hatta, mengajak bergabung dengan Indische Vereeniging, organisasi mahasiswa Hindia Belanda di Negeri Kincir Angin itu. Tawaran tersebut tak bertepuk sebelah tangan. 

Pada 19 Februari 1922, Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging. Seiring dengan itu, juga direncanakan penerbitan majalah organisasi bernama Hindia Poetra. Hatta ditunjuk menjadi bendahara dengan salah satu tugas menghimpun dana untuk Hindia Poetra.

Kendati sibuk sebagai bendahara, Hatta juga menyiapkan tulisan untuk edisi perdana, Januari 1923. Lantaran terlalu panjang, bagian kedua dimuat dalam Hindia Poetra edisi kedua, Maret 1923. Topik tulisan itu adalah ketidakadilan dalam penetapan nilai sewa tanah rakyat ke perkebunan milik orang-orang Belanda.

Di memoarnya, Hatta mengaku, Hindia Poetra banyak dipuji karena kualitas tulisan-tulisannya. "Beberapa guru besar di Leiden menyangka tidak mungkin hanya mahasiswa Indonesia saja  yang menulis di dalamnya. Mereka bertanya...siapa orang Belanda yang membantu...?" lanjutnya.

Hatta terus menggumuli buku-buku -- yang memang bisa diperoleh dengan mudah di Eropa. Bukan hanya buku ekonomi, tapi juga sejarah, etnologi, dan tata negara. Tulisan-tulisan terus dilahirkan. Aktif di organisasi, kuliahnya rada terbengkalai. Tapi, ia diakui sebagai pemikir anti-kolonial yang cemerlang.

Pada 1924, Hindia Poetra bersalin nama menjadi Indonesia Merdeka. Setahun kemudian, Indonesische Vereeniging berubah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia. Hatta ditunjuk menjadi ketua.

Pada acara pelantikan, ia menyampaikan orasi bertajuk Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen atau Struktur Perekonomian Dunia dan Pertentangan Kekuasaan. Di sana, Hatta tegas menulis, penjajah dan rakyat terjajah mustahil bekerja sama, harus berhadap-hadapan. Ini menjadi semacam sinyal kian kukuhnya sikap non-kooperasi Perhimpoenan Indonesia.

Lalu, Hatta dan sejumlah rekannya menghadiri pertemuan Liga Anti-Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussels, Belgia, pada 10-15 Februari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan aktivis buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi pemimpin politik seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika).

Pada 23 September 1927, bersama Nazir Sutan Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta ditangkap polisi Belanda. Tuduhannya menghasut publik untuk melawan pemerintah, terutama via tulisan-tulisan di Indonesia Merdeka. Jaksa juga menuduh Perhimpoenan Indonesia bekerja sama dengan kaum komunis dalam menggalang pemberontakan di Hindia Belanda pada 1926.

Pada 9 Maret 1928, Hatta menyampaikan pidato pembelaan yang termasyhur, Indonesie Vrij atau Indonesia Merdeka. Dalam pidato sepanjang 3 setengah jam itu, Hatta menguliti praktik eksploitasi yang dilakukan rezim kolonial di Hindia Belanda. Ia memanfaatkan hasil belajarnya dalam bidang ekonomi-politik untuk melakukan hal tersebut dengan bernas.

Dalam salah satu bagian pledoi, Hatta menulis, "Kami percaya masa datang bangsa kami dan kami percaya atas kekuatan yang ada dalam jiwanya. Kami tahu bahwa neraca kekuatan di Indonesia senantiasa berkisar ke arah keuntungan kami." 13 hari kemudian, pengadilan di Den Haag membebaskan mereka semua.   

Hatta meneruskan kegiatan politik. Ia baru meraih gelar sarjana ekonomi pada Juli 1932. Hatta menghabiskan 11 tahun sebelum pada akhirnya lulus. Galibnya hanya dibutuhkan 5 tahun. 13 tahun kemudian, bersama Sukarno, ia memproklamasikan kemerdekaan.

 

Baca juga:

Bung Hatta, Teladan Sikap Jujur dan Bersahaja

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya