Walhi: Perubahan Keppres SBY Buka Jalan Reklamasi Bali

Pihaknya telah menduga Perpres Tata Ruang Sarbagita akan direvisi. Perpres itulah yang selama ini menjadi batu sandungan rencana reklamasi.

oleh Dewi Divianta diperbarui 13 Jun 2014, 07:24 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2014, 07:24 WIB
Tolak Reklamasi Tanjung Benoa
(balebengong.net)

Liputan6.com, Denpasar - Keputusan Presiden (Keppres) yang merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 1011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita) membuat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melakukan protes keras.

Walhi menilai SBY membuka jalan untuk PT Tirtha Wahana Bali Internasional  melakukan reklamasi di Teluk Benoa. Seperti diketahui Walhi sangat menolak proyek reklamasi tersebut. Dengan mendirikan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali), Walhi merangkul dari berbagai lapisan di Bali yang tidak menginginkan reklamasi terjadi.

Koordinator ForBali Wayan Suardana memaparkan, keluarnya perpres tersebut menimbulkan keresahan masyarakat Bali. "Perpres ini membuat kami galau," ucap pria yang biasa disapa Gendo ini di Kantor Walhi, Kamis 12 Juni 2014.

Gendo menambahkan, pihaknya sudah memprediksi perpres tata ruang sarbagita akan direvisi. Karena, katanya, perpres itulah yang selama ini menjadi batu sandungan proyek reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar itu. "Perpres itulah yang selama ini menjadi batu sandungan proyek reklamasi Teluk Benoa itu," tambahnya.

Ia menambahkan, Perpres 45 Tahun 2011 dalam pasal 55 ayat 5 menyebutkan, kawasan Teluk Benoa merupakan kawasan konservasi perairan. Termasuk juga Pulau Pudut yang ada di situ. Aturan lain yang menghambat reklamasi adalah Perpres 122 Tahun 2012, yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa reklamasi tidak bisa dilakukan di kawasan konservasi perairan. "Jika dipaksakan, jelas itu pidana tata ruang. Satu-satunya jalan adalah merevisi," paparnya.

Di dalam isi perubahan perpres itu, Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi perairan diubah menjadi kawasan budaya, masuk menjadi zona penyangga. "Dia menjadi kawasan pemanfaatan umum. Konsekuensi hukumnya bisa direklamasi," tutur dia.

"Secara eksplisit diatur juga pada pasal 63 dan 101 A, untuk kawasan budidaya Zona penyangga dapat dilakukan revitalisasi, termasuk reklamasi sepanjang luasnya 700 hektar," tambahnya.

Luasnya sama dengan ukuran reklamasi yang diajukan PT TWBI. Menurutnya, perpres ini diterbitkan bukan untuk melindungi masyarakat Bali, namun hanya agar bisa terlaksananya investasi itu.

"Konsep yang baru. Karena, di perpres yang lama tidak dikenal kawasan penyangga. Cara yang kejam mereduksi konservasi untuk kepentingan modal. Ini adalah langkah buruk pengaturan hukum tata ruang yang manipulatif. Ini pelanggaran HAM melalui hukum. Negara takluk kepada kepentingan modal," imbuhnya.

"Perpres ini bukan memitigasi bencana tetapi malah menambah bencana. Jika Teluk Benoa dipaksakan direklamasi, sejumlah penelitian telah menyebut akan terjadi erosi, merusak kawasan mangrove, merusak empat sungai besar yang tampungannya di Benoa. Proyek ini menambah risiko bencana, terutama tsunami," tutup  Gendo.

Wacana reklamasi di perairan Tanjung Benoa memicu kontroversi. Gubernur Bali telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) No. 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali tertanggal 26 Desember 2012.

Pihak PT Tirtha Wahana Bali Internasional menyatakan proyek itu bertujuan membangun obyek wisata baru dan menyerap tenaga kerja. Reklamasi berencana membuat beberapa pulau buatan di dalam teluk, di sekitar Pulau Pudut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya