Jangan Salahkan Hujan! Walhi Beberkan Penyebab Banjir Ekstrem di Sulsel

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel membeberkan penyebab terjadinya banjir ekstrem di tanah Angin Mamiri.

oleh Tim Regional diperbarui 14 Feb 2025, 06:24 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2025, 06:24 WIB
Banjir Makassar
Para relawan membantu warga melewati derasnya banjir di Makassar pada 12 Februari 2025. (DAENG MANSUR/AFP)... Selengkapnya

 

Liputan6.com, Makassar - Bukan cuma perkara hujan ekstrem, banjir dan longsor yang terjadi berulang kali di banyak titik Sulawesi Selatan tiap tahun disebabkan karena perusakan hutan yang terjadi secara masif. Hal itu diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Kamis (13/2/2024). 

"Berdasarkan kajian kami, tingginya angka kehilangan tutupan hutan di wilayah ini dipengaruhi beberapa faktor utamanya soal masifnya izin pertambangan di wilayah hulu atau kawasan hutan, alih fungsi lahan, penebangan liar, serta pembangunan," ungkap Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel, Slamet, seperti dikutip dari Antara.

Slamet menyebutkan, dari catatan akhir tahun Walhi Sulsel, ada sekitar 362 kejadian bencana di seluruh kabupaten/kota se-Sulsel. Dari hasil kajian, Provinsi Sulsel sudah mengalami penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungannya.

Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya angka kejadian bencana di Sulsel meningkat enam kali lipat. Dimana tahun 2014 tercatat hanya ada 54 kejadian angka bencana dan 2024 angkanya mencapai 362 kejadian.

Selain itu, menurut Slamet, kerugian yang dialami oleh masyarakat Sulsel akibat bencana tahun lalu itu jumlahnya sangat fantastis, yakni mencapai Rp1,95 triliun lebih.

Beberapa penyebab dari kritisnya kondisi lingkungan yang ada di Sulsel, katanya, karena tutupan hutan terus berkurang. Di Sulsel hanya memiliki luas tutupan hutan pada tahun 2023 sekitar 1.359.039 hektare atau hanya tersisa 29,70 persen dari luas provinsi.

Dengan luasan tutupan hutan yang hanya tersisa di bawah 30 tersebut, maka Sulsel dapat menjadi salah satu provinsi yang masuk dalam kategori kritis.

Hilangnya tutupan hutan di Sulsel dalam jumlah yang masif tiap tahunnya berbanding lurus dengan kritisnya Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di berbagai daerah.

Tercatat, dari 139 DAS yang ada di Sulsel, hanya sekitar 38 DAS yang masuk dalam kategori sehat karena memiliki tutupan hutan di atas 30 persen. Sedangkan sisanya, sebanyak 101 DAS atau 72,6 persen DAS mengalami kritis.

Bila dihubungkan dengan kejadian banjir dan longsor yang terjadi sejak kemarin di tiga daerah di Kabupaten Maros, Gowa dan Kota Makassar tercatat dari data BPBD sebanyak ribuan keluarga terdampak pada belasan kecamatan, itu adalah akumulasi kerentanan ekologi yang setiap tahun semakin meningkat.

"Selain intensitas hujan dan air pasang yang membuat aliran air di sungai tidak langsung menuju ke lepas pantai. Secara hidrologi hal ini berakibat pada meluapnya sungai-sungai di dua DAS yakni Maros dan Tallo," katanya.

 

Wilayah Resapan Air Semakin Hilang

Masalah lainnya adalah wilayah resapan air yang semakin terbatas, drainase yang buruk, dan tutupan hutan di dua DAS ini semakin berkurang. Bahkan DAS Maros saja menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terakhir luas hutannya mengalami penurunan sebesar 1.057,90 hektare.

Dengan kejadian bencana terus berulang tiap tahun, Walhi Sulsel mengimbau agar pencegahan dan penanganan bencana sudah harus dilakukan secara holistik dan pendekatannya berbasis bentang alam.

"Sudah seharusnya pemerintah memikirkan ulang serta merumuskan konsep pencegahan dan penanganan yang tidak dibatasi wilayah administratif melainkan sudah harus berbasis bentang alam. Pemerintah diminta monitoring, evaluasi, dan menindak tegas para pelaku usaha yang merusak dan memperparah kondisi lingkungan," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya