Standar BBM Indonesia Paling Buruk di ASEAN

Kualitas BBM di Indonesia, bahkan milik SPBU asing, tak lebih baik daripada bensin yang dijual Pertamina. Benarkah?

oleh Gesit PrayogiSeptian PamungkasYongki Sanjaya diperbarui 27 Apr 2015, 20:46 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2015, 20:46 WIB
Ilustrasi Pertalite
Ilustrasi Pertalite

Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) menuai sorotan publik kala mengungkapkan rencananya untuk memasarkan jenis BBM baru, Pertalite. Beda dengan Premium yang memiliki RON 88, Pertalite dijanjikan memiliki kualitas yang lebih baik. Di atas kertas, jenis BBM ini memiliki RON 90.

Namun, tak semua optimistis dengan Pertalite. Ahmad Safrudin, Executive Director Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), menilai, jika Pertamina kekeuh memasarkan jenis BBM itu, maka perusahaan minyak plat merah tersebut bakal melanggar hukum.

"Produksi dan pemasaran Pertalite 90 inkosistensi terkait beberapa peraturan perundangan di Indonesia," kata pria yang karib disapa Puput itu.

Sebab, menurut dia, hadirnya Pertalite tidak sejalan dengan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jo PP No 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dan jo Kepmen KLH No 141/2003 tentang Standar Emisi Kendaraan Tipe Baru dan Current Procution, yang mengacu pada standar emisi Euro 2 sejak 1 Januari 2007.

Ilustrasi Pertamina

"Persyaratan standar ini adalah besin RON 91 dan solar minimal Cetane Number 51," imbuh dia. Hadirnya Pertalite juga bertentangan program Blue Sky yang menargetkan penurunan Emisi Rumah Kaca sebesar 41 persen pada 2020.

Lebih dari itu, Pertalite yang sesuai dengan standar emisi pun berimbas pada konsumen. Karena mereka tidak mendapat jaminan pasokan BBM yang sesuai dengan vehicle engine technology requirement.


"Kebijakan ini juga missleading dan cenderung menjadi pembohongan publik serta perbuatan melawan hukum karena memasok premium without premium quality," ujar dia.

Selanjutnya: Tak Penuhi Standar Euro 2...

Tak Penuhi Standar Euro 2

Tak Penuhi Standar Euro 2

Berkaca pada standar emisi Euro 2 yang diteken sejak 2007, Ahmad Safrudin juga menilai bahwa Pertalite tak memenuhi batasan tersebut.

Untuk memenuhi standar itu, BBM untuk bensin minimal RON 91, memiliki kandungan benzene maksimum 2,5 persen, aromatic 40 persen, dan sulfur 500 ppm. Sementara untuk solar Cetane Number minimal 51 dan kandungan sulfurnya maksimum 500 ppm.  Praktis, Petralite yang sejatinya mengandung RON 90 tak memenuhi standar emisi Euro 2.

"Kengototan untuk memproduksi BBM di bawah standar engine technology seperti Bensin RON 90 dengan kadar sulfur di atas 500 ppm atau hanya akan merugikan industri otomotif," katanya.

Sementara itu, Product Planning Expert PT Mazda Motor Indonesia (MMI) Bonar Pakpahan menilai, BBM yang dipasarkan di dalam negeri idealnya memiliki RON di atas 90.

"Efek penggunaan RON di bawah standar biasanya penumpukan karbon tapi ini jangka waktunya cukup lama tidak dalam hitungan minggu atau bulan," kata Bonar.

Jika konsumen memaksa menggunakan BBM dengan kadar sulfur yang tinggi, kinerja mesin tentunya akan terganggu yang diakibatkan penumpukkan karbon pada klep.

Di sisi lain, hadirnya Pertalite dianggap baik untuk menghapus bensin RON 88 yang sudah tak layak lagi ditenggak kendaraan yang dipasarkan di Indonesia.

Dadi Hendriadi, General Manager Technical Service PT Toyota Astra Motor, menjelaskan,  Premium yang memiliki RON 88 kurang cocok dengan mesin mobil Toyota. Sehingga hadirnya Pertalite yang memiliki RON 90 dinilainya lebih bagus.

"Kita selaku manufaktur mobil Toyota, saat ini mengeluarkan mobil tidak (untuk) menggunakan bensin RON 88. Mobil yang kita keluarkan di Indonesia direkomendasikan menggunakan bensin dengan RON di atas 90,"  jelas dia.

Dadi pun menegaskan jika pihaknya selaku APM Toyota mengikuti regulasi pemerintah yang menetapkan standar emisi Euro  2. Ia memastikan, mobil Toyota yang ada di Indonesia tidak hanya memasarkan kendaraan dengan standar emisi Euro 2 bahkan banyak di antaranya memiliki standar emisi di atas regulasi yang ditetapkan pemerintah.

"Ada beberapa mobil yang secara spesifikasi memiliki standar emisi di atas regulasi pemerintah. Namun pada dasarnya, emisi mobil sesuai atau tidak dengan standar Euro tidak hanya tergantung dari kendaraan tetapi juga dari BBM," tandasnya.

Selanjutnya: Kualitas BBM di Indonesia terburuk se-ASEAN...

Kualitas BBM di Indonesia terburuk se-ASEAN

Kualitas BBM di Indonesia terburuk se-ASEAN

Ahmad Safrudin, Executive Director Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPPB), mengungkap, kualitas BBM di Indonesia, bahkan milik SPBU asing tak lebih baik daripada bensin yang dijual Pertamina, khususnya untuk urusan emisi.

"Produk Shell dan Total juga hanya untuk standar Euro 2," katanya saat dihubungi Liputan6.com. Di Indonesia, Shell punya Super (RON 92) dan V Power (RON 95) sementara Total meniagakan 92 dan 95.

Pria yang karib disapa Puput itu menjelaskan, dengan hanya memenuhi standar Euro 2, maka bensin yang dijual dua SPBU asing itu memuat konten benzene lebih dari 2,5 persen, aromatic content melebihi 40 persen, dan olefin di atas 20 persen.

"Pertamax dan Pertamax Plus juga untuk Euro 2. Ini disebabkan kandungannya yang tak sesuai, seperti kadar belerangnya masih 100 ppm," imbuh dia. Untuk memenuhi standar Euro 3, kandungan belerang maksimal 50 ppm dan Euro 5 (10 ppm).

Harus diakui, Indonesia memang masih berada di belakang dalam penerapan standar emisi yang lebih baik. Dari aspek ini, BBM yang dijual di dalam negeri bisa dikatakan paling buruk se-ASEAN. Bahkan sejak 2009, standar emisi bensin di Indonesia hanya mencapai Euro 2.

"Negara di ASEAN yang memiliki standar kualitas BBM paling baik hanya Singapura. Di sana, BBM yang dijual telah memenuhi kriteria untuk mesin mobil  dengan standar emisi EURO 5,"  ujarnya. (Ein)

Berikut daftar penerapan standar emisi di kawasan ASEAN:

Thailand  : Euro3 (2009) - Euro4 (2012)

Indonesia : Euro2 (2009)

Malaysia   : Euro2 (2009) - Euro3 (pertengahan 2011) - Euro4 (2014)           

Filipina      : Euro2 (2009) - Euro4 (2016)

Vietnam    : Euro2 (2009) - Euro4 (2014)

Singapura  : Euro2 (2009) - Euro5 (2014)



Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya