Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Pasal 7 huruf r UU Pilkada tentang larangan keluarga petahana mencalonkan diri sebagai kepala daerah inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga.
Namun keputusan tersebut dianggap oleh sejumlah pihak justru berpotensi memuluskan praktik politik dinasti di daerah. Kedekatan calon dengan petahana dikhawatirkan dapat menimbulkan kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan. Terlebih karena petahana memiliki kewenangan dan kekuasaan di pemerintahan daerah.
Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, pasal tersebut tidak menjamin kecurangan akan tiada jika pengawasan tetap lemah. Ia balik bertanya, kenapa bukan keluarga KPU yang dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
"Kenapa yang dilarang dalam UU tidak boleh nyalon kok nggak yang saudara dengan KPU. Kan ini malah berpotensi (curang) ya, karena (KPU) yang menyelenggarakan," ujar Arief saat ditemui di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (9/7/2015).
Ia menjelaskan, untuk menghindari terjadinya kecurangan dan praktik politik dinasti, maka pengawasan terhadap petahana perlu ditingkatkan. Pengawasan yang dimaksud adalah membatasi kekuasaan petahana. Jangan sampai kekuasaan dan kewenangan disalahgunakan untuk memuluskan pencalonan kerabatnya.
Sehingga aturan yang menyasar keluarga petahana justru tidak tepat. Apalagi aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28 j ayat 2 UUD 1945 tentang HAM.
"Memang boleh hak itu dibatasi oleh undang-undang. Tapi batasnya tidak sampai melanggar HAM atau hak konstitusional warga," kata Arief.
Hak Mencalonkan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini juga mengatakan, di sejumlah negara demokrasi modern, setiap warganya mendapatkan hak menjadi calon dalam pemilihan, tanpa terkecuali.
"Baik di Amerika, di mana saja dalam negara demokrasi modern, negara yang berdasarkan atas hukum, setiap warga negara itu punya right to be candidate atau hak untuk bisa mencalonkan," ucap Arief.
Yang bisa membatalkan pencalonan hak pilih dan dipilih hanyalah pengadilan. "Misalnya ada hukuman tambahan (terhadap seseorang) maka itu tidak bisa memilih dan dipilih," pungkas Arief. (Mvi/Sss)