Oesman Sapta: Perubahan UUD 1945 Merupakan Kehendak Bangsa

UUD 1945 yang berlaku saat ini merupakan hasil dari 4 kali perubahan.

oleh Aceng Mukaram diperbarui 15 Jul 2015, 14:37 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2015, 14:37 WIB
Pimpinan MPR RI Terima Deligasi World Congress
Oesman Sapta Odang memberikan keterangan pada panitia World Congress di Ruang Delegasi Parlemen RI, Jakarta, Senin (16/02/2015). Soy Martua Pardede mengundang Pimpinan MPR hadir dalam World Congress of Consuls di Bali. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Pancasila harus menjadi dasar pijakan dalam menyusun dan menetapkan segala kebijakan dan peraturan perundangan-perundangan yang ada di Indonesia. Selain itu, Pancasila juga harus menjadi bintang pengarah yang akan menjadi kompas penyelenggaraan kehidupan berbangsa bernegara.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang, di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (15/7/2015).

"Merujuk pada posisi dan fungsi Pancasila di atas, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai WNI untuk benar-benar memahami filosofis yang terkandung dalam 5 sila dari Pancasila," ujar dia.

Pria yang akrab disapa Oso ini mencontohkan, UUD 1945 yang berlaku saat ini merupakan hasil dari 4 kali perubahan. Oso mengatakan, pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ‎1945 yang pertama kali disahkan pada 18 Agustus 1945.

"Perlu juga kita pahami bahwa perubahan UUD 1945 ini merupakan manifestasi kehendak bangsa Indonesia dalam niatnya membentuk konstitusi. Selain itu juga dapat mewujudkan keadilan bagi seluruh Indonesia," ujar Oso.

Namun, kata dia, keberhasilan yang diupayakan dengan jalan melakukan perubahan UUD 1945 tidak sendirinya menjamin bahwa apa yang dikehendaki konstitusi dapat terwujud. "Atas berbagai problema itulah maka kami berkesimpulan bahwa peningkatan kesadaran hukum dan budaya berkonstitusi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus menjadi agenda utama," jelas Oso.

Selain Pancasila dan UUD 1945, lanjut dia, memasyarakatkan bentuk negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol negara adalah hal yang penting pula. Bentuk negera kesatuan yang telah ditetapkan para pendiri negara pada 1945 kembali dipertahankan MPR RI pada tahun 2002 melalui perubahan keempat UUD 1945 yang menyepakati bahwa bentuk negara tidak dapat dilakukan perubahan.

"Putusan MPR tersebut, tidak terlepas dari pengalaman sejarah‎ bangsa kita yang pernah menggunakan bentuk negara serikat mulai 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950," ujar Oso.

Secara historis, kata Oso, jauh sebelum orang-orang barat memikirkan konsep multikulturasisme, ratusan tahun yang lalu Mpu Tantular telah menuliskan apa yang disebut dengan Bhinneka Tunggal Ika.

"Bhinneka Tunggal Ika awalnya merupakan landasan ideologis dalam mengatasi pruralisme pada jalannya. Kemudian oleh para pendiri bangsa diadopsi sebagai konsep politis yang mendorong kita semua pada sebuah persatuan dalam kemajemukan," ucap Oso.

Kata Oso, sejarah pun akhirnya membuktikan bahwa dengan segala perbedaannya bangsa Indonesia hingga hari ini tetap utuh dalam sebuah wadah yang bernama NKRI. (Mut)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya