Liputan6.com, Jakarta - Pengacara mantan Dirut PLN Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra membantah jawaban yang disampaikan Kejati DKI Jakarta dalam duplik atau jawaban atas replik Pemohon. Yusril bersikukuh, replik yang disampaikan pihaknya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa 28 Juli kemarin sudah benar.
Menurut pihak Dahlan selaku Pemohon praperadilan, sanggahan-sanggahan yang disampaikan dalam duplik Kejati DKI Jakarta masih mengulang jawaban yang disampaikan Kejati DKI Jakarta sewaktu menjawab permohonan Dahlan.
Mereka melihat, Kejati DKI Jakarta masih tetap mempertahankan anggapannya kalau Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang memutus perkara yang terkait penafsiran terhadap Pasal 1 nomor 14 dalam KUHAP dan Pasal 183 dan 184 di mana penetapan tersangka masih dianggap bukan objek praperadilan.
"Kalau dikatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 bahwa putusan MK tidak merupakan peraturan perundang-undangan. Tapi kita semua paham dari segi teori maupun doktrin bahwa MK berwenang membatalkan Undang-Undang sehingga putusan MK itu setara dengan Undang-Undang. Sebenarnya ini logika hukum," ujar Yusril Ihza Mahendra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/7/2015).
Terkait telah ditemukannya barang bukti dan hasil audit dari ahli Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwalian DKI Jakarta pada saat proses penyidikan sebelum pada akhirnya dikembangkan dalam penyelidikan dan berujung pada penetapan tersangkanya Dahlan Iskan, Yusril beranggapan bahwa dugaan kasus yang ditujukan pada kliennya adalah bukan kasus yang dakwaannya secara bersama-sama.
"Tapi 1 orang sudah didakwa lebih dahulu, Pak Dahlan baru mau didakwa belakangan. Dikeluarkan sprindik sendiri. Ditetapkan tersangka sendiri. Maka persoalan bagi kita, sejak kapan mereka menemukan alat bukti untuk Pak Dahlan. Bukan alat bukti untuk perkara orang lain," lanjut dia.
Masih dalam bantahannya, terkait alat bukti dalam duplik Kejati DKI Jakarta, Yusril memberikan tanggapan terhadap sikap Kejati DKI Jakarta yang menggunakan bukti penyidikan untuk mengembangkan penyidikan dan menetapkan seseorang sebagai tersangka baru.
"Itulah yang mereka sebut sebagai pengembangan. Pengembangan itu kan analisis, bukan fakta. Analisis saja. Misalnya kita bilang ini awan mendung sebentar lagi hujan. Faktanya hujan atau tidak kan kita tidak tahu. Kalau hukum ini bicara yang pasti, bicara alat bukti, pengembangan itu analisis," pungkas Yusril.
Sidang berlangsung cukup singkat hanya sekitar 1 jam sejak dimulai pukul 10.00 WIB tadi pagi. Seusai menyatakan duplik dari Kejati DKI Jakarta, baik Termohon maupun Pemohon menyerahkan bukti surat kepada hakim tunggal Lendriaty Janis.
Dalam sidang praperadilannya, Dahlan menggugat penetapan tersangka yang dijeratkan padanya oleh Kejati DKI Jakarta. Dahlan ditetapkan tersangka oleh Kejati DKI Jakarta atas kasus dugaan korupsi pembangunan Gardu Induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tahun anggaran 2011-2013 dengan total anggaran lebih dari Rp 1 triliun.
Dahlan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati DKI Jakarta pada 6 Juni silam karena diduga melakukan korupsi dalam proyek pembangunan 21 Gardu Induk. Saat itu ia menduduki posisi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Berdasarkan hasil penghitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan DKI Jakarta, kerugian negara atas kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 33 miliar.
Kejati DKI Jakarta menjerat Dahlan sebagai tersangka karena diduga telah melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Mvi/Mut)