Fahri Hamzah: Surat Edaran Kapolri Tak Boleh Jadi Aturan Baru

Menurut Fahri, polisi tidak berhak membuat aturan sendiri untuk menegakkan hukum.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 06 Nov 2015, 10:36 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2015, 10:36 WIB
Fahri Hamzah
Fahri Hamzah (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti mengenai penanganan ujaran kebencian tidak boleh menjadi hukum baru.

Menurut dia, landasan hukum atau regulasi tetap harus mengacu pada Undang-Undang (UU). Jika memang hate speech mau dijadikan aturan, maka hal itu harus dilakukan dalam cara yang benar atau dengan mengundangkan aturan tersebut.

"Segala bentuk peraturan itu harus dibuat dalam kerangka menyusun regulasi dan surat edaran tidak bisa digunakan untuk menegakkan hukum, karena hukum harus ditegakkan dengan UU," kata Fahri melalui pesan tertulis di Jakarta, Jumat (6/11/2015).

Tugas lembaga kepolisian, menurut Fahri, adalah memberikan penerangan kepada masyarakat agar UU yang sudah disahkan dan memiliki kekuatan itu diimplementasikan. Sehingga masyarakat tidak boleh melakukan tindakan yang bisa menyerat ke pidana. Polisi tidak berhak membuat aturan sendiri untuk menegakkan hukum.

"Jadi jelas tidak benar kalau SE dijadikan landasan hukum, karena surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum. Apalagi jika ada penangkapan dilakukan berdasarkan surat edaran," ujar dia.


Pasal pencemaran nama baik ataupun penghinaan, menurut dia, adalah delik aduan. Dalam UU diatur, jika tidak ada pengaduan, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan delik oleh aparat hukum seperti polisi.

"Pasal menghina atau pencemaran nama baik itu delik aduan, tidak bisa menjadi persoalan kalau tidak ada laporan. Tugas kepolisian itu adalah memastikan UU berlaku sebagaimana seharusnya. Surat edaran itu tidak boleh menjadi semacam peraturan baru, dia hanya menjadi tentang cara untuk menerapkan UU di tengah masyarakat," kata dia.

Fahri mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut pasal penghinaan karena dianggap merupakan pasal karet.

"Polisi sebagai aparatur negara tidak boleh bermain di wilayah yang tidak jelas. Kehadiran penegak hukum harusnya memiliki efek membuat sesuatu menjadi jelas. Yang hitam ya hitam, dan yang putih ya putih. Makanya kalau aturan ini sudah dicabut oleh MK, polisi harusnya menjelaskan pasal itu sudah dihapus," kata dia.

Jika nantinya muncul aspirasi baru untuk menghidupkan pasal ini, lanjut Fahri, maka hal tersebut harus dilakukan lewat DPR. Pemerintah atau DPR mengusulkan atau mengajukan peraturan UU baru.

"Mungkin Polri ingin sekadar mengingatkan masyarakat dengan SE itu. Tapi tetap cara mengingatkan harus jelas. Jangan sikap Polri menjadi tidak terang," demikian Fahri Hamzah. (Nil/Sss)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya