MPR Desak Pemerintah Genjot Pembangunan Kawasan Perbatasan

Pemandangan timpang antara warga Indonesia dan Malaysia di wilayah perbatasan berpotensi melunturkan semangat nasionalisme masyarakatnya.

oleh Audrey Santoso diperbarui 12 Nov 2015, 17:39 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2015, 17:39 WIB
Diskusi Rupiah Terpuruk dan Dampaknya bagi Perekonomian Indonesia
Wakil Ketua MPR Mahyudin (tengah) saat menjadi pembicara pada diskusi "Rupiah Terpuruk dan Dampaknya bagi Perekonomian Indonesia", Jakarta, Kamis (19/03/2015). (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Denpasar - Pemerintah dari masa ke masa selalu melemparkan wacana pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia. Namun hal itu seperti masih jauh panggang dari api.

Faktanya hingga kini, masyarakat di willayah perbatasan masih hidup dalam garis kemiskinan dan bergantung dengan produk negara tetangga untuk pemenuhan kebutuhan.

"Kawasan perbatasan itu perlu dibangun sebagai kawasan ekonomi khusus, supaya pertumbuhan ekonomi bisa baik. Jadi ekonomi kita dengan negara tetangga tidak jomplang," tandas Wakil Ketua MPR RI Mahyudin di Universitas Dhyana Pura, Badung, Bali, Kamis (12/11/2015).

Mahyudin mendesak pemerintah untuk tak lagi menyanyikan lagu lama pembangunan ekonomi di perbatasan. Ia ingin pemerintah segera merealisasikan hal tersebut secara kongkrit.

Hasil pengamatan langsung dirinya saat menyambangi ke wilayah-wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan menunjukkan perbedaan kehidupan yang sangat timpang.

"Sekarang di bandingkan di Kalimantan Utara, misalnya orang Tawau dengan orang wilayah Indonesia, kelihatan sekali orang Indonesia miskin, Malaysia sejahtera. Harus ada lagu baru jangan lagu lama terus," kata Mahyudin.

Menurut politisi Partai Golkar ini, pemandangan timpang antara warga Indonesia dan Malaysia di wilayah perbatasan berpotensi melunturkan semangat nasionalisme masyarakat perbatasan, karena mereka menganggap lebih makmur bila hidup sebagai warga Malaysia.

"(Kejomplangan) itu kan bisa menimbulkan keirian. Dan mental bisa terganggu, nasionalismenya hilang. Apalagi di perbatasan, kebutuhan pokok banyak disuplai dari Malaysia," jelas Mahyudin.

Sebagai contoh di Pulau Sebatik, banyak masyarakat Indonesia yang memiliki perkebunan sawit di perbatasan.

Namun hasil kebun mereka akhirnya dijual ke Malaysia karena tidak ada pihak dari dalam negeri yang mampu mengolah minyak sawit di perbatasan.

"Ada masyarakat Indonesia punya kebun sawit, jual sawit ke Malaysia. Karena di wilayah perbatasan Indonesia tidak ada pabriknya. Ini saatnya kita bangun kawasan perbatasan," pungkas Mahyudin. (Dms/Mut)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya