Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR akhirnya memutuskan untuk menyidangkan kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto. Politisi Partai Golkar yang karib disapa Setnov itu dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD.
Pencatutan nama Presiden dan Wapres itu diduga dilakukan Setnov saat bertemu bos PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin dan seorang pengusaha minyak M Riza Chalid, yang kemudian dianggap sebagai pelanggaran etika anggota DPR.
Sebelum menyidangkan Setnov, MKD memulainya dengan memanggil para pihak yang diduga mengetahui pelanggaran itu. Untuk persidangan perdana, MKD memanggil Sudirman. Dalam sidang yang digelar sejak Rabu siang itu, 17 anggota MKD bergantian menanya Sudirman.
Advertisement
Tak mau menutup-nutupi apa yang dia ketahui, Sudirman langsung menggebrak dengan mengatakan Setnov adalah pihak yang mengondisikan permintaan saham kepada PT Freeport Indonesia. Setnov juga disebut menekan Presdir PT Freeport Indonesia terkait saham.
Hal itu diungkap Sudirman menjawab pertanyaan anggota MKD dari PDI Perjuangan Marsiaman Saragih, yang menanyakan pihak yang menjadi inisiator dalam pertemuan itu.
"Informasi yang kami terima dari Pak Maroef, stafnya SN (Setya Novanto) menelepon untuk mengurus pertemuan," jawab Sudirman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (2/12/2015).
Tidak hanya itu, Marsiaman juga bertanya siapa yang menawarkan saham 20 persen itu. "Kalau didengar secara utuh, meski pun yang mengatakan angka (saham) Riza, tapi yang mengondisikan, merespons, dan memberikan penekanan adalah Pak SN," jawab Sudirman.
Untuk memperjelas keterangan yang disampaikan, mantan Dirut PT Pindad itu kemudian ‎membacakan penggalan transkrip yang sudah dibagikan ke anggota MKD. Bagian yang dibacakan adalah lembar ke-9 baris ke-7.
‎
"Lembar ke-9 baris ke-7 Pak SN mengatakan, 'Pak Luhut bicara dengan Jim Bob. Pak Luhut juga ada unek-unek'," kata Sudirman.
"Disambut Pak MR (Muhammad Riza Chalid): Pak kalau gua, bakal ngomong ke Pak Luhut, jangan lah ambil 20 persen. Ambil lah 11 persen. Kasih lah ke Pak JK 9 persen juga. Harus adil, kalau enggak nanti ribut," tambah Sudirman.
Kemudian, Sudirman melanjutkan, pernyataan Riza Chalid itu disambut lagi oleh Setya Novanto. Dalam transkrip, Novanto menyebut nama Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan. ‎
"Kata Pak SN, 'ya jadi kalau bicaranya Pak Luhut di sana itu, dengan Jim Bob 4 tahun lalu, dari 30 persen itu mintanya 10 persen. 10 Persen dibayar pakai deviden. Jadi dipinjem dan dibayar tunai pakai deviden. Caranya begitu, sehingga mengganggu konstelasi ini. Begitu dengar istilah cawe-cawe, Presiden enggak suka. Pak Luhut nanti dikerjain," ujar Sudirman.
Bertemu Bos Freeport 3 Kali
Sudirman menambahkan, Setnov bersama pengusaha minyak M Riza Chalid bertemu bos PT Freeport Indonesia sekitar 3 kali di tempat berbeda.
Pada pertemuan ketiga, Sudirman mengatakan, banyak hal yang dibicarakan Setnov tentang Freeport. Menurut dia, dalam rekaman yang berdurasi kurang lebih 120 menit itu banyak tindakan Setnov yang dianggap melanggar etik sebagai anggota DPR.
"Ada suasana seolah-olah di mana Setya Novanto bisa mengatur semua hal yang itu bukan wewenangnya," kata Sudirman.
‎Mendengar keterangan tersebut, anggota MKD dari Fraksi Hanura Sarifuddin Sudding kemudian mempertanyakan mengenai alur pertemuan Setya Novanto dengan Maroef dan pengusaha M Riza Chalid.
Sudirman menjelaskan, pertemuan pertama dan kedua dirinya tidak begitu tahu apa yang dibicarakan oleh ketiga orang tersebut. Ia hanya mengetahui isi pembicaraan pada pertemuan ketiga di Pacific Place Jakarta, 8 Juni 2015.
"Pertemuan pertama dan kedua saya tidak begitu tahu karena menurut saya tidak relevan dengan tugas saya," jawab Sudirman.
Yang jelas, lanjut Sudirman, dirinya memang meminta bos PT Freeport Indonesia itu melaporkan setiap kegiatan yang menyangkut perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, termasuk pertemuan dengan para pejabat negara.
"Saya yang minta agar setiap pertemuan dengan pejabat negara dilaporkan kepada saya dan Pak Maroef melakukannya," ungkap Sudirman.
Akbar Faisal kemudian bertanya lagi, siapa yang menyerahkan bukti rekaman tersebut. "Pak Maroef menyerahkannya ke kantor saya langsung," jawab Sudirman.
Kendati sudah memperoleh rekaman percakapan dalam pertemuan itu, Sudirman mengatakan, dirinya tak langsung memutuskan melaporkan pencatutan nama itu ke MKD. Terlebih dulu, dia 3 kali membahas masalah tersebut dengan Presiden Joko Widodo.
"Saya dan Presiden mendiskusikan ini sampai 3 kali," ujar Sudirman.
Dia juga menegaskan tak ingin berpolemik dan semakin memperkeruh suasana dengan menanggapi pernyataan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, yang mengatakan dirinya tidak berkoordinasi dengan Presiden.
"Saya tak ingin berpolemik dengan menteri lain karena arahan Presiden. Pemahaman saya, pertama kali saya laporkan pada atasan," ujar dia.
Sudirman juga mengatakan dirinya hanya berkoordinasi ‎ dengan Presiden Jokowi tanpa perlu ke Menko Polhukam.‎ "Kami merasa, Yang Mulia, pemimpin saya adalah Presiden. Maka, kalau ada hal yang sensitif saya lapor Presiden," tegas dia.
Sudirman Said Geram
Persidangan yang berlangsung hingga Rabu malam itu juga ditingkahi sejumlah pertanyaan dari anggota MKD yang membuat Sudirman geram. Bukannya menanyakan dugaan pelanggaran etika oleh Setya Novanto, anggota MKD justru 'menyerang' Sudirman.
Emosi Sudirman sempat memuncak setelah mendapat cecaran pertanyaan dari Wakil Ketua MKD Kahar Muzakir. Dia mencecar Sudirman dengan ‎menanyakan tentang status rekaman yang didapat Sudirman. Ia mempertanyakan tindakan rekaman itu diduga melanggar undang-Undang tentang penyadapan.
"Menurut yang saya dengar, tidak sepengetahuan yang direkam, berarti mendukung perbuatan ilegal?" tanya Kahar.
Merespons pertanyaan politisi Partai Golkar itu, Sudirman memilih tidak menyimpulkan tentang legal atau tidaknya rekaman tersebut. Dia hanya menerima rekaman tersebut untuk kemudian dilaporkan ke MKD.
"Sa‎ya memperoleh dari Pak Maroef, dia warga negara yang tak punya masalah hukum," ucap dia.‎
‎Kahar lalu menanyakan kebenaran berita tentang keputusan Sudirman mengizinkan ekspor konsentrat. ‎Kahar bertanya soal apakah Sudirman tahu dan mengizinkan pembuangan limbah beracun Freeport di Papua.
Sudirman pun menjawab dengan menyatakan, pertanyaan tersebut tak relevan dan bertanya apakah layak dijawab. Namun, karena tak mendapat respons, mantan Dirut PT Pindad itu tetap menjawab singkat.
"Tidak benar (mengizinkan pembuangan limbah Freeport di Papua). Saya mendapat laporan dari tim soal ketaatan kepada ketentuan pembuangan limbah," ucap dia.
Kahar lalu kembali mencecar dengan pertanyaan lain. Ia mengungkit visi Sudirman memberantas pemburu rente. Karena merasa tak puas dengan jawaban Sudirman tentang limbah Freeport, Kahar mencurigai Sudirman adalah bagian dari pemburu rente.
"Bapak kan bilang ingin membersihkan pemburu rente. Kalau begini jangan-jangan Anda bagian dari itu," kata Kahar menanggapi Sudirman.‎
Mendengar tudingan itu, ‎Sudirman menyebut Kahar sudah menuduhnya melanggar hukum. Ia tak terima dan beberapa kali mengatakan kalau apa yang disampaikan Kahar merupakan tuduhan yang tidak berdasar.
"Saya keberatan dengan tuduhan, Yang Mulia. Yang Mulia menuduh saya, mengakimi saya melanggar hukum. Saya catat, Saudara menuduh saya melanggar hukum," ucap Sudirman dengan raut wajah serius. ‎
Mendapat respons keras dari Sudirman, Kahar membantah menuduhnya. Ia mengaku hanya mengklarifikasi berita yang beredar di berbagai media. "‎Saya cuma dengar-dengar saja, saya tidak menuduh, saya hanya mengklarifikasi kepada Anda," ujar Kahar.‎
Siap Dikonfrontir
Untuk membuktikan kalau dirinya tak punya keterkaitan dengan kasus ini, Sudirman menegaskan siap dikonfrontasi dengan berbagai pihak MKD DPR. Termasuk dengan Setya Novanto dan Luhut Pandjaitan.
"Insya Allah saya siap," ujar Sudirman saat menjawab pertanyaan Ketua MKD Surahman Hidayat di ruang persidangan MKD.
Sudirman yakin apa yang dilakukannya dengan mengadukan kasus pencatutan nama Presiden dan Wapres merupakan tindakan tepat.
"Pandangan saya, rekaman itu sama dengan catatan. Kalau tidak jadi perkara, rekaman itu tidak berarti apa-apa. Jadi insya Allah saya siap, dan saya merasa tidak berbohong," kata dia.
Setelah sempat ditunda untuk menjalankan ibadah salat magrib, sidang MKD DPR kembali dilanjutkan untuk memperdengarkan rekaman yang menjadi alat bukti dalam kasus Setnov.
Rekaman berdurasi 1 jam 20 menit itu diperdengarkan secara terbuka sekitar pukul 19.30 WIB di hadapan Sudirman dan para pimpinan MKD. ‎
"Kita putar yak. Tidak ada interupsi," ucap Ketua MKD Surahman Hidayat yang memimpin sidang.
Sebelum diputuskan memperdengarkan rekaman transkrip tersebut, sempat terjadi perdebatan di antara anggota MKD untuk memutar rekaman itu malam ini atau besok. Voting pun menjadi jalan keluar untuk memutuskannya.
4 Orang tidak setuju diputar hari ini, yaitu Dasco Sufmi Ahmad (Gerindra), Ridwan Bae (Golkar), Adies Kadir (Golkar), dan Supratman ‎Andi Agtas (Gerindra).
Alasan tidak perlu diputarkan hari ini karena rekaman ‎tersebut bukan yang orisinal, tapi kopian dari rekaman milik petinggi PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Selain itu, ada pula yang beralasan karena Sudirman juga sudah punya janji dan harus berangkat ke bandara untuk naik pesawat malam ini sekitar pukul 22.00 WIB.
Rekaman Dipersoalkan
Setelah berakhirnya rekaman itu diputar, sempat terjadi sejumlah interupsi dari anggota MKD menyoal isi rekaman. Perdebatan yang terjadi lantara beberapa anggota mempertanyakan ucapan otentik Setya Novanto mengenai permintaan saham seperti yang diadukan Menteri ESDM.
Anggota MKD Sarifuddin Sudding menjadi yang pertama yang mempertanyakan, mana ucapan Setya Novanto yang terkait dengan permintaan saham dan dianggap mencatut nama presiden.
"Mana yang dianggap meminta saham? Saya belum mendengar yang dimaksud," ucap Sudding, Rabu (2/12/2015). ‎
Kemudian Ridwan Bae ikut menyampaikan instrupsi. Ridwan merasa rekaman itu tak menunjukkan hal-hal yang digambarkan selama ini. Bahkan, dia merasa Novanto tak melakukan hal yang melanggar aturan di percakapan itu.
"Saya tidak mendapatkan berita heboh soal adanya saham 20 persen dan pencatutan presiden dan wapres. Satu pun nggak ada di jam itu," kata Ridwan. ‎
Atas dasar itu, dia bahkan meminta Sudirman bertanggung jawab bila maksud permintaan saham yang disebut Novanto dalam rekaman tersebut tidak ada.
"Yang saya‎ ingin sampaikan, dia harus tanggung jawab atas ini. Dia harus tanggung jawab secara dalam. Dia harus lakukan menunjukan satu fakta bahwa ada atau tidaknya itu," ujar dia. ‎
Melihat situasi sidang yang memanas, ‎Wakil Ketua MKD Junimart Girsang menilai cara para anggota MKD seperti tersangka pelaku kejahatan. Padahal, Sudirman merupakan pihak pengadu yang semestinya diperlakukan dengan baik. ‎
"Kita harus sepakati jangan dudukan beliau sebagai terdakwa, tinggal sekarang bagaimana kita mencermati hasil-hasil temuan selama persidangan. Kita pelajari lah nanti, tidak perlu kita perdebatkan," kata Junimart. ‎
Semantara, anggota MKD Akbar Faizal juga ikut menyampaikan interupsi. Akbar pun membacakan transkrip yang memuat soal permintaan saham, ada 3 halaman yang dibacakan Akbar.
Ia menganggap tindakan anggota MKD yang meragukan keberadaan pernyataan Novanto tentang permintaan saham dirasa aneh. Sebab, dalam transkrip rekaman tertulis jelas adanya pernyataan yang dimaksud.
Usai sidang, Sudirman menyampaikan bahwa kedatangannya dalam sidang MKD perdana hari ini bermaksud untuk memuliakan lembaga MKD dan tidak ada maksud untuk menjatuhkan pihak mana pun.
"Saya‎ ingin memuliakan dewan. Tidak bermaksud menyerang siapa pun," ucap Sudirman.
Karena mempunyai maksud yang baik, ia berharap sudah semestinya sebagai pihak pengadu, dirinya diperlakukan dengan baik. "‎Seharusnya pengadu dimuliakan, bukan sebagai orang bersalah," tegas dia.
Meski demikian, Sudirman mengaku dirinya merasa tidak dipersalahkan dalam laporannya itu. ‎"Saya tidak merasa ada yang disalahkan. Semoga pengaduan ini berjalan baik," pungkas Sudirman.‎
Ini barulah awal dari rangkaian persidangan yang akan mendudukkan Setnov sebagai teradu pelanggaran etika. Karena ini merupakan sidang di lembaga politik, bukan lembaga yudikatif, maka atmosfer yang terasa di dalam ruang sidang juga sangat berbeda.
Namun, apa pun itu, sidang ini jelas akan menjadi pertaruhan bagi lembaga DPR, termasuk presentasi partai politik melalui anggota MKD. Karena sidangnya digelar terbuka, akan mudah melihat anggota MKD yang berbicara dengan logika serta mereka yang sibuk memutarbalikkan logika.
Â