Soeharto dan Polemik yang Tersisa

Gelar Pahlawan Nasional masih menjadi kontroversi hingga saat ini.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 27 Jan 2016, 10:30 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2016, 10:30 WIB
Ini Foto Keseharian Soeharto yang Tak Terpublikasi
Foto-foto keseharian Soeharto berikut belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Seperti apa kesehariannya?

Liputan6.com, Jakarta - Hari ini tepat sewindu meninggalnya Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto. Dalam kepemimpinannya selama 32 tahun, banyak jasa yang ditorehkan untuk Indonesia. Namun, di masa sekarang, zaman orde baru lekat dengan kesan otoriter.

Akibatnya, ketika pemerintah ingin memberikan gelar pahlawan bagi Soeharto masyarakat pun bereaksi. Ada yang berpendapat bahwa ia layak mendapatkan gelar karena berjasa dalam pembangunan Indonesia.

Namun, ada pula yang menilai, pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto membutuhkan kajian mendalam karena sejumlah peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahannya.

Ketua MPR Zulkifli Hasan, menganggap gelar pahlawan nasional untuk Soeharto pantas diberikan. Sebab dia menganggap Soeharto memiliki jasa besar dalam hal pembangunan untuk Indonesia.

"Kita serahkan pada pemerintah dan saya rasa (pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto) itu pantas," ucap Zulkifli pada Selasa 10 November 2016.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun mendukung Presiden ke-2 RI itu menjadi pahlawan nasional. Meskipun dikenal sebagai pemerintah yang otoriter selama menjabat 32 tahun,‎ namun menurutnya Soeharto tetap berjasa kepada bangsa Indonesia.

"(Soal) Soeharto, saya termasuk orang yang setuju Soeharto dapat gelar pahlawan. Dia salah satu presiden berkuasa selama 32 tahun. Ada juga jasa yang dia buat. Kalau ada yang tidak suka kepadanya itu persoalan lain," kata Fahri.

Fahri bahkan mempertanyakan Presiden Joko Widodo tak kunjung memberikan gelar pahlawan bagi Soeharto.

Sementara, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan, penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto, hanya tinggal menunggu keputusan presiden (keppres).

Tim Peneliti dan Pengkajian Gelar Pahlawan (TP2GP) bahkan telah menyerahkan hasil studinya mengenai Soeharto ke Dewan Gelar. Menurut Khofifah, tak ada lagi pembahasan di Dewan Gelar dan tinggal menunggu waktu.

Antikepahlawanan?

Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia

Setara Institute menilai pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto, akan selalu menimbulkan kontroversi karena belum dilakukan klarifikasi politik terhadap penguasa orde baru itu.

"Gelar Pahlawan untuk Soeharto masih prematur karena klarifikasi politik atas peranannya dalam berbagai peristiwa politik dan kekerasan sistematis belum pernah dilakukan, sehingga tidak pernah akan diperoleh fakta obyektif atas kepahlawanan Soeharto," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, yang juga pegiat HAM.

Menurut Hendardi, Soeharto banyak mencatatkan praktik antikepahlawanan selama memimpin bangsa, sekalipun tetap diakui ada peran positif Soeharto.

"Karena posisinya yang demikian, maka selalu akan timbulkan kontroversi setiap upaya glorifikasi atas Soeharto, salah satunya dengan menjadikannya sebagai pahlawan nasional," ujarnya.

Lebih lanjut, Hendardi mengatakan, dibanding mengkaji upaya pemberian gelar pahlawan, lebih baik pemerintah melakukan klarifikasi politik atas kejahatan Soeharto.

"Termasuk dalam peristiwa 'kudeta' atas Soekarno, berbagai pelanggaran HAM dan korupsi. Klarifikasi politik ini dipilih karena tidak mungkin lagi melakukan proses hukum atas Soeharto karena kehilangan subyek," kata Hendardi.

Sementara, Politikus PDIP Pramono Anung mengatakan, sebaiknya perdebatan soal gekar bagi Soeharto ini diendapkan sambil menetapkan status dan kedudukan Soeharto.

Ia menilai perdebatan yang terjadi memperlihatkan adanya kelompok tertentu yang ingin berlindung dengan meninggalnya Pak Harto. "Saya melihat motif politik lebih dominan daripada ketulusan memberikan tanda jasa," ujar Pramono.

Perdebatan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto muncul setelah sejumlah pengurus Partai Golkar mengusulkan pemerintah memberikan gelar pahlawan atas dasar jasa dan perjuangan Soeharto terhadap bangsa dan negara. Namun, sejumlah pihak menolak usulan itu karena kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun menjadi presiden dianggap menyakiti hati rakyat.


Yayasan Supersemar

 

 

Jaksa Agung HM Prasetyo.

 
Selain soal gelar Pahlawan Nasional, polemik lain yang ditinggalkan Soeharto adalah kasus Yayasan Supersemar. Negara meminta Yayasan itu mengembalikan uang sebesar Rp 4,4 triliun.

"Sejak awal kami berharap Yayasan Supersemar sukarela untuk memenuhi putusan pengadilan. Mereka harus bayar Rp 4,4 triliun kepada negara," kata Prasetyo.

Kejaksaan, sambung Prasetyo, hanya memverifikasi dan menelusuri aset Yayasab Supersemar. Sementara untuk eksekutornya adalah tugas dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"(Aset Supersemar) Ada sebagian saham di Kosgoro, ada tanah di ‎Mega Mendung. Kita juga minta bank untuk blokir asetnya. Dalam hal ini posisi kejaksaan tidak punya kepentingan. Keputusan sebenarnya dari Pengadilan Negeri Jaksel," imbuh Jaksa Agung.

Pemerintah melalui Kejaksaan Agung menggugat mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Supersemar, terkait dugaan penyelewengan dana beasiswa. Pemerintah mengajukan ganti rugi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar atau total sekitar Rp 4,4 triliun dengan kurs saat ini, terhadap yayasan yang didirikan pada 1974 yang bertujuan sosial tersebut.

Namun ganti rugi tersebut tidak dapat dieksekusi Kejaksaan Agung, karena terjadi kesalahan administrasi di MA dalam putusan kasasi‎. Kemudian, Kejaksaan Agung mengajukan PK yang kemudian dikabulkan MA.

MA dalam amar putusan PK itu juga sekaligus meralat kesalahan ketik yang seharusnya menuliskan Rp 139,2 miliar, namun ditulis Rp 139,2 juta.


Jasa Soeharto

Soeharto | Via: asiafinest.com

Soeharto diketahui banyak membangun insfrastruktur nasional, di antaranya Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dengan pemerintahan stabilitas pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan, dia bisa mengantar Indonesia menuju tahap tinggal landas.

Pada masa pemerintahannyalah disusun GBHN sebagai tuntunan pembangunan nasional, Pelita dan Repelita pada jangan pendek-menengah, dan skema waktu Pembangunan Jangka Panjang I dan II.

Selain itu, dia meletakkan sistem pemerintahan yang berjenjang berbasis birokrasi yang rapi. Wajib belajar 9 tahun juga dicanangkan pada masa dia memerintah, dengan Keluarga Berencana yang dipujikan internasional.

Pada masa pemerintahannyalah, konsep pembangunan fisik dan ekonomi diberi tempat penting, bersama Emil Salim, seorang ahli ekonomi dan menteri di bidang ekonomi di posisi menteri lingkungan hidup.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya