WNI Disandera Lagi, Sampai Kapan?

Menurut Menlu, segala cara akan diambil agar WNI bisa lepas dari penyanderaan. Namun, keselamatan tetap jadi prioritas utama.

oleh Ahmad Romadoni Hanz Jimenez SalimAndreas Gerry Tuwo diperbarui 24 Jun 2016, 19:11 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2016, 19:11 WIB
Perompak
Perompak

Liputan6.com, Jakarta Kabar mengenai penculikan dan penyanderaan WNI yang menjadi anak buah kapal (ABK) kembali mengguncang. Setelah sebelumnya pada Maret lalu, 10 ABK disandera oleh kelompok bersenjata Abu Sayyaf, kabar terbaru menyebutkan 7 WNI kembali disandera saat berada di perairan Filipina.

Namun, banyak pihak yang membantah kabar tersebut. Polri, misalnya, menyatakan kabar yang menyebutkan penyanderaan ABK Tag Boat Charles oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina, tidak benar.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Agus Rianto mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pihak kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kolonel Yus Usmani terkait soal dugaan penyanderaan.

"Beliau katakan info itu tidak benar. Kemudian kabar dari Muda selaku perwakilan pemilik kapal, yakni PT PP Rusianto Bersaudara, tidak ada pemberitahuan dari aparat maupun dari internal kapal," kata Agus dalam pesan tertulisnya di Jakarta, Rabu 22 Juni 2016.

Dugaan adanya penyanderaan berawal dari pengakuan istri salah satu ABK bernama Ismail pada pada pukul 11.03 Wita. Dia mengaku mendapat kabar langsung dari suaminya yang mengatakan tengah disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Kabar itu disampaikan melalui telepon. Ismail bercerita bahwa tawanan dibagi menjadi dua kelompok.

"Suaminya itu memerintahkan Dian agar berkoordinasi dengan pihak perusahaan karena Abu Sayyaf meminta tebusan sebesar 20 juta ringgit serta meminta untuk dipublikasikan ke media," terang Agus.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) siap membantu pembebasan WNI yang disandera Abu Sayyaf.

Namun, keterangan berbeda didapat dari pihak perusahaan. Mereka, menuturkan menurut pantauan satelit dan GPS perusahaan pada pukul 11.00 Wita, posisi kapal ada di perairan Tarakan, Kalimantan Utara. Kemudian pada pukul 18.18 Wita posisi kapal sudah berada di Berau, Kalimantan Timur.

"Sehingga tidak ada kemungkinan disandera. Namun, akan selalu dimonitor perkembangannya dengan pihak perusahaan pemilik kapal," terang Agus.

Bantahan juga datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memastikan kabar itu tidak benar. Pria yang akrab disapa JK itu bahkan sudah mendengar langsung informasi dari Kedutaan Besar Indonesia di Manila, Filipina.

"Enggak ada penyanderaan. Tadi saya baca laporan kedutaan kita di Manila," ujar JK di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Kamis malam 23 Juni 2016.

Kepastian dari Menlu

Kepastian akhirnya didapat pada Jumat pagi. Pihak Kementerian Luar Negeri memastikan penculikan memang dialami awak kapal tug boat Charles 001 dan tongkang Roby 152. Ada 13 WNI ABK dalam kapal itu, tapi yang diculik 7 orang, sementara 6 bebas sambil membawa kapal mereka ke Samarinda, Kalimantan Timur.

"Penyanderaan terjadi di Laut Sulu, Filipina terjadi dalam 2 tahap pada tanggal 20 Juni 2016, yaitu sekitar pukul 11.30 waktu setempat," ujar Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi di kantornya, Jumat (24/6/2016).

"Lalu penculikan kedua terjadi pada pukul 12.45. Penculikan dilakukan oleh dua kelompok bersenjata yang berbeda," lanjut Menlu Retno.

Namun, mantan Dubes RI untuk Belanda itu enggan menyebut nama kelompok bersenjata yang menculik dan menyandera 7 ABK WNI itu.

Menurut Menlu, segala cara akan diambil agar WNI bisa lepas dari penyanderaan. Namun, keselamatan tetap jadi prioritas utama.

"Pemerintah Indonesia akan lakukan semua cara yang memungkinkan untuk membebaskan para sandera tersebut. Keselamatan ketujuh WNI merupakan prioritas," tegas Retno.

Menlu Retno Marsudi berbincang dengan WNI yang disandera Abu Sayyaf di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (13/5). Kapal mereka dibajak saat melintas di perairan sekembali dari Filipina menuju Tarakan, Kaltim. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dia menambahkan, agar kejadian serupa tak terulang, Pemerintah Indonesia meminta agar Filipina memperketat keamanan di lautan tersebut. Hal itu mendesak karena Laut Sulu adalah wilayah kegiatan ekonomi penting di kawasan Asia Tenggara.

"Pemerintah Indonesia meminta kepada pemerintah Filipina untuk memastikan keamanan di wilayah perairan Filipina selatan sehingga tidak mengganggu kegiatan ekonomi kawasan sekitar," jelas dia.

Retno pun menyebut, Indonesia siap membantu Filipina agar lautan Sulu bisa aman dari penyanderaan yang kerap dilakukan kelompok bersenjata.

Selain itu, penyanderaan yang berulang ini juga berdampak pada hubungan ekonomi kedua negara, setelah Indonesia meneruskan untuk menghentikan pengiriman batu bara ke Filipina. Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan dari yang sudah pernah diambil karena tak kunjung adanya jaminan keamanan.

"Bahwa Pemerintah Indonesia sudah memutuskan moratorium pengiriman batubara akan terus dijalankan," ucap Retno.

Moratorium tak akan dilakukan selamanya. Namun, dapat dicabut sampai Pemerintah Filipina mengeluarkan jaminan keamanan.

"90 persen lebih kebutuhan batubara di wilayah Filipina selatan tergantung dari ekspor Indonesia," ucap Retno.

"Karena itu moratorium kita lanjutkan sampai pemerintah Filipina menjamin keamanan perdagangan batubara dari Indonesia dan Filipina," pungkas Retno.

Merisaukan Negara Tetangga

Di sisi lain, terulangnya penyanderaan ini membuat geram wakil rakyat. Karena itu, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto meminta semua pihak bekerja sama untuk membebaskan para sandera.

"Kok masih ada rakyat kita yang disandera oleh pihak asing? Tentunya ini harus melibatkan keamanan, baik di indonesia dan terlebih lagi di Filipina," ungkap Agus di Senayan Jakarta, Jumat (24/6/2016).

Ia pun mengimbau agar jangan sampai ada rakyat Indonesia yang disandera lagi oleh kelompok tersebut. Politikus Partai Demokrat ini meminta Filipina dapat menyelesaikan masalah itu agar tidak berkelanjutan.

"Tentunya Filipina harus menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam negerinya sehingga tidak membuat kerisauan negara tetangga. Kami melihat harus dilakukan akumulasi kekuatan yang penuh untuk penyelesaian permasalahan ini sehingga tidak banyak merepotkan negara tetangga," papar Agus.

Pria berambut putih ini juga meminta agar pengawasan di perairan perbatasan Indonesia lebih ditingkatkan. Demikian pula di zona perairan lainnya.

"Tapi manakala ini sudah memasuki perairan Filipina, ini kan merupakan otoritas keamanan di Filipina sehingga kita mengimbau dan menekankan bahwa Filipina harus memperkuat keamanan yang ada di sana terlebih lagi secara progresif," tutur Agus.

Sementara itu, Wapres JK belum mau menyebutkan tindakan apa yang akan dilakukan pemerintah setelah penyanderaan yang ketiga kali ini terjadi. Yang pasti, seluruh otoritas terkait sedang bekerja menyelesaikan masalah ini.

Punya Sindrom

"Sekali lagi soal sandera itu, tentu pihak Menlu dan BIN, TNI sedang berusaha menyelesaikannya," tegas JK.

Pemerintah memang telah bereaksi keras atas penyanderaan warganya untuk kalim ketiga di wilayah negara tetangga yang sama. Bahkan, untuk ukuran seorang menteri luar negeri, apa yang diucapkan oleh Menlu Retno sudah sangat keras.

"Pemerintah Indonesia mengecam keras terulangnya penyanderaan terhap (ABK) WNI oleh kelompok bersenjata di Filipina Selatan. Kejadian yang ketiga kalinya ini sangat tidak dapat ditoleransi," kata Menlu Retno pada Jumat pagi.

Memang tak cukup hanya sekadar mengecam, karena langkah konkret lebih diperlukan. Namun, karena menyangkut wilayah kedaulatan negara lain, kita tak bisa leluasa untuk menuntaskan masalah yang ada.

Karena itu, langkah Kementerian Perhubungan yang melarang pelayaran di wilayah Fipilina patut diapresiasi. Dalam Maklumat Pelayaran No. 130/VI/DN-16 tanggal 24 Juni 2016 Direktur Jenderal Perhubungan Laut Tonny Budiono melarang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Indonesia menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar menuju Filipina.

Dalam maklumat pelayaran tersebut ditegaskan bahwa Syahbandar dilarang keras untuk menerbitkan SPB bagi semua kapal berbendera Indonesia yang akan berangkat menuju Filipina tanpa terkecuali.

Selain itu, pemerintah harus tetap memberikan tekanan kepada Filipina agar segera membersihkan wilayah perairannya yang telah berubah menjadi sarang penyamun itu.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya