Liputan6.com, Jakarta Kata-kata ‘Merokok membunuhmu’ kini seperti menjadi mantra. Ia diyakini hingga kemudian disebarluaskan dan menjadi “kuntilanak” bagi para perokok.
‘Merokok membunuhmu’ sejatinya ‘propaganda’ yang dipaksakan. Seolah rokok adalah faktor tunggal penyebab aneka penyakit berbahaya dan berujung pada kematian. Padahal, urusan hidup mati,Tuhan yang tahu. Mengutiap bait lagu para demonstran, “Kematian hadir tanpa sebab”.
Jika ditelusuri lebih jauh, kampanye anti-rokok di Indonesia sebagian besar merujuk pada data-data kesehatan yang dilansir WHO. Masalahnya, sulit mencari pihak-pihak yang mau bersikap kritis terhadap data-data tersebut.
Advertisement
Lihatlah fakta-fakta seputaran penyebab merokok. Sedemikian mematikankah? Faktanya, sekali lagi ini fakta, dari seluruh orang yang mati di Indonesia, 9,8% meninggal akibat penyakit paru kronik dan emfisema. Soal penyakit paru dan emfisema itu karena kebiasaan merokok atau terpapar asap rokok, tidak ada bukti kongkrit mengenai itu.
Tidak hanya itu, rokok menjadi penyebab kasus stroke di Indonesia pada tahun 2001 sebanyak 5%.
Kalau diamati lebih jeli, data ini secara statistik jelas menunjukkan betapa kecilnya persentase pengaruh rokok, bahkan terhadap penyakit paru yang seharusnya sangat berhubungan dengan asap rokok.
Dengan kata lain, data ini mengimplikasikan bahwa rokok bukan penyebab utama yang dominan dari penyakit-penyakit tersebut. Data lain mengatakan bahwa pada tahun 2001, rokok mengakibatkan 22,6% dari 3320 kematian yang disebabkan oleh penyakit yang berkaitan dengan rokok.
Dengan prosentase ini, terlihat bahwa untuk penyakit yang secara umum dianggap berkaitan dengan rokok pun, hanya sebagian kecil yang memang disebabkan oleh rokok itu sendiri (jika data ini memang benar).
Fakta angka itu, tersaji dalam buku Kriminalisasi Berujung Monopoli: Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional, terbitan Indonesia Berdikari, 2011.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamudin Deng, dalam buku itu menyebutkan, terlepas dari data-data yang “ganjil” semacam ini, Pemerintah tetap kukuh bahwa rokok itu berbahaya dan layak dimusnahkan. Namun, adalah suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa tidak pernah ada upaya untuk meneliti bahaya rokok secara independen oleh pemerintah.
Atau, lebih jauh lagi, meneliti apakah “bahaya” pada rokok putih dan rokok kretek adalah sama; karena penelitian-penelitian WHO adalah didasarkan pada analisis terhadap rokok-rokok putih yang diproduksi di Amerika Serikat dan negara maju lainnya, bukan rokok kretek yang lazim dikonsumsi masyarakat di Indonesia.
Padahal berdasarkan data-data itulah kebijakan publik yang berkaitan dengan pembatasan dan pelarangan rokok dilakukan.
Peneliti Lembaga Studi Sosial dan Budaya (LS2B) Sumur Tolak Kudus dan Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo), Zamhuri, dalam tulisan di Kompasiana menyebutkan, susunan kata pada teks “merokok membunuhmu” juga rancu logika kebahasaan dalam penyusunan teks.
Kata merokok dan membunuh keduanya merupakan predikat. Jika digabung kata “me(menghisap)rokok” dan “membunuh” tidak memiliki makna kalimat karena keduanya kata kerja.
Lebih ironis lagi, sumber justifikasi adanya klaim bahwa rokok dianggap sebagai “mesin” pembunuh, diadopsi dari luar negeri, tidak berdasar penelitian di dalam negeri. Bahkan, konten label warning berupa teks dan gambar disinyalir tidak bersumber dari produk hukum buatan pemerintah sendiri.
Teks-teks dalam lampiran Permenkes nomor 28 tahun 2013 yang menjadi rujukan peringatan bahaya rokok, diadopsi dari tujuh peringatan serupa yang sudah terlebih dahulu diterapkan oleh Administrasi Obat dan Makanan (US Food and Drug Administration, FDA) pemerintah Amerika Serikat. Penerapan serupa di negara-negara seperti Canada, Australia, Kolumbia dan di berbagai negara lain yang telah menerapkan regulasi Graphic Health Warning (GHW).
Artinya, pemerintah, selain malas melakukan kajian dampak rokok, juga lebih senang mengkopi langsung kebijakan asing tanpa menyesuaikan dengan realitas konsumen perokok di Indonesia.
Maka, tak heran jika Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komunitas Kretek Alfa Gumilang pernah menyebut, menuding rokok sebagai penyebab kanker paru-paru merupakan bentuk informasi sesat dan keliru.
Ia mencontohkan Menkes Endang Rahayu yang tutup usia mengidap kanker paru-paru. Padahal, almarhumah dikenal sebagai tokoh kesehatan yang sangat antirokok, dan selalu jauh dari asap rokok. Artinya, kanker paru, bisa menyerang siapa pun.
Kata Alfa, di masyarakat sudah banyak ditemukan kasus orang kena kanker padahal bukan perokok. Atau, orang panjang umur dan sehat-sehat saja, padahal perokok berat. Tapi, selama ini masyarakat menutup mata.
Asal tahu saja, Prof Sutiman Bambang Sumitro dari Pusat Penelitian Peluruhan Radikal Bebas di Malang menemukan fakta, dari hasil penelitian yang dilakukan belasan tahun, salah satu bukti ilmiah yang ditemukan bahwa asap rokok memang mengandung zat merugikan, namun tak cukup kuat sebagai penyebab kanker.
Rokok menyebabkan kanker kebanyakan hanya hasil pengolahan data di rumah sakit, bukan di lapangan. Jadi, asal ada pasien mengidap kanker, dan kebetulan dia merokok, serta-merta rokok lah yang dituding sebagai penyebab tunggalnya. Ini artinya, variabel-variabel lain yang terkait dengan gaya hidup si pasien, semisal ‘asupan’ polusi asap kendaraan, konsumsi MSG, dan sebagainya, diabaikan.
Ingat, banyak tokoh nasional yang perokok kretek tetap bugar dan produktif hingga usia senja. Sebut saja misalnya Haji Agus Salim, mantan Menteri Pendidikan Prof Fuad Hasan, penulis besar Pramoedya Ananta Toer, master menggambar Pak Tino Sidin, tokoh Muhammadiyah Prof Malik Fadjar, dan masih banyak contoh lain.
So, marilah adil sejak dalam pikiran.
(Adv)