Liputan6.com, Jakarta - Suharnas dan kekasihnya, Yusra Fitriani, harusnya mengikat janji suci sebagai pasangan suami istri pada Kamis 8 Desember. Namun, nasib berkata lain. Calon pengantin pria, Suharnas, harus menghadap Sang Ilahi setelah gempa mengguncang Aceh, Rabu 7 Desember 2016 pagi.
Saat gempa 6,5 Skala Ritcher mengguncang Aceh, Suharnas tengah berada di rukonya, Meureudu, Pidie Jaya. Dia tak sempat menyelamatkan diri sehingga tertimbun reruntuhan bangunan. Selain Suharnas, 3 orang adik, kakak, dan seluruh anggota keluarganya yang datang dari Padang untuk menghadiri acara perkawinannya, juga tewas terjebak dalam puing-puing ruko.
"Hari ini adalah hari pernikahan antara saudara kita di Padang ini dengan orang di Pidie Jaya ini, cuman Allah berkata lain, semua keluarga yang datang pada malam itu semuanya sudah meninggal," ujar kerabat korban, Yusri Abubakar, Kamis 8 Desember 2016.
Advertisement
Tidak hanya Suharnas dan keluarganya, setidaknya di Komplek Ruko di Ulee Gle, Pidie Jaya ini 23 orang tewas terjebak reruntuhan bangunan. Sementara 40 ruko ambruk meninggalkan kesedihan mendalam bagi keluarga dan orang-orang tercinta.
Gempa Aceh juga menewaskan pasangan suami istri, H Rajali dan Harfiah. Keduanya tewas terjebak di reruntuhan ruko mereka di Desa Meusanah Kaye, Jato, Sigli. Sang suami terjebak usai berwudu dan hendak menunaikan salat Subuh.
Pada pukul 11.00 WIB, jasad Rajali berhasil dievakuasi. Tubuhnya yang sudah terbujur kaku ditemukan di dekat pintu masuk ruko. Sementara jasad sang istri hingga pukul 14.00 WIB Rabu 7 Desember, belum ditemukan.
"Mereka terperangkap saat suaminya jelang (salat) subuh, habis wudu," kata Joni, salah seorang warga yang tempat tinggalnya tidak jauh dari lokasi kejadian.
Beberapa jam setelah gempa, alat-alat berat mulai mengeruk puing-puing dan material bangunan yang runtuh, sehingga berhasil menemukan sebagian korban.
"Dia (korban) sempat keluar untuk salat Subuh, tapi ke rumah lagi pas gempa selamatkan istrinya," kata Joni.
Bencana gempa memang tak memilih-milih korbannya. Di gampong (Desa) Kuta Pangwa, Kecamatan Tringgadeng, Pidie Jaya, seorang ibu yang tengah hamil hamil tujuh bulan ikut menjadi korban.
"Almarhum sedang hamil dan masuk bulan ketujuh," kata Sekretaris Gampong (Desa) Kuta Pangwa, Kecamatan Tringgadeng, Zulkifli, dengan mata berkaca-kaca sembari menunjuk jenazah korban yang terbujur kaku di antara jenazah korban lainnya.
Trauma Tsunami 2004
Â
Sementara Sofian, warga Pante Raja, Pidie, langsung menghidupkan kendaraan roda duanya, menyelamatkan istri dan ketiga anaknya ke tempat yang lebih tinggi, saat merasakan getaran gempa.
"Kami trauma tsunami dulu, takut tsunami lagi makanya saya ngebut melarikan diri," ujar Sofian yang terbaring lemas di Rumah Sakit Umum Daerah Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis 8 Desember 2016.
Saat tsunami 2004 lalu, Sofian juga turut menjadi korban. Karena itu dia berusaha menyelamatkan keluarga kecilnya agar tidak menjadi korban gempa Aceh kali ini.
Namun nahas, saat mencoba menyelamatkan diri, sepeda motor Sofian terperosok ke dalam jalan yang terbelah karena gempa. Akibatnya, ia beserta anak dan istrinya tersungkur ke jalan.
"Saya tidak tahu kalau banyak jalan yang terbelah, suasana juga gelap karena mati lampu, ban Honda (sepeda motor) saya masuk dalam lobang hingga kami jatuh semua," tutur dia.
Lantaran mengalami luka, Sofian pun menjalani perawatan di RSUD Sigli bersama putranya, M Rifal. Sedangkan anak keduanya, Novi yang berusia 9 tahun terbaring lemas dengan infus di tangan.
Selain Sofian, ada ratusan korban lainnya yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Sigli.
Pada umumnya, korban dirawat dalam tenda darurat yang didirikan di halaman rumah sakit. Hal ini sebagai langkah antisipasi menghindari jika gempa susulan kembali terjadi.
Sekitar 500 lebih korban gempa dirawat di rumah sakit Sigli kabupaten Pidie Jaya. Lantaran banyaknya jumlah pasien, ruang di rumah sakit itu pun penuh sesak. Hingga menjelang malam korban terus berdatangan, ambulans berseliweran antarjemput korban luka maupun meninggal yang dievakuasi tim SAR dari dalam reruntuhan.
Advertisement
Setara Bom Atom
Gempa menguncang wilayah Pidie Jaya, Aceh, Rabu 7 Desember 2016, pukul 05.03 WIB. Gempa terjadi tepatnya di Jalan Banda Aceh-Medan, sekitar 200 kilometer dari pusat Ibu Kota Provinsi Aceh.
Hingga Kamis 8 Desember 2016, korban meninggal akibat gempa mencapai 102 orang, dan 700-an warga luka-luka. Sementara 3,267 warga mengungsi.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, bangunan yang rusak berjumlah 559 unit. Bangunan rusak tersebut meliputi, ruko, rumah, masjid, musala, dan rumah sakit.
"Seratus lima ruko roboh, 19 ruko rusak berat, 5 ruko rusak ringan, 429 rumah rusak (348 rusak berat, 42 rusak sedang, 39 rusak ringan), 14 Masjid rusak berat, 6 unit musala/meunasah rusak, 1 unit bangunan RSUD Pidie rusak berat, 1 unit bangunan Kampus STAI AL-Azziziyah Mudi Mesra Roboh, 3 unit bangunan pesantren rusak," beber Sutopo.
Banyaknya masyarakat yang mengungsi, kata Sutopo, karena rumah warga tergolong rusak berat akibat gempa Aceh. Bahkan, sebagian rumah warga tidak mungkin lagi ditempati.
Meski kekuatannya 6,5 Skala Ritcher, namun Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebut, kekuatan gempa di Pidie Jaya, Aceh, setara dengan kekuatan empat hingga enam kali bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang, pada Agustus 1945.
"Gempa dangkal dekat bibir pantai, tapi secara magnitude tidak sampai sebabkan tsunami. Kekuatannya setara empat hingga enam kali bom Hiroshima. Karenanya bisa ratusan bangunan rusak," kata Manager Teknik Uji Numerik Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai BPPT Widjo Kongko di Yogyakarta.
Aktivitas Sesar Mendatar
Gempa Aceh yang berpusat di 5,25 Lintang Utara (LU) dan 96,24 Bujur Timur (BT), tepatnya di darat pada jarak 106 kilometer arah tenggara Kota Banda Aceh pada kedalaman 15 kilometer itu, bukan berasal dari aktivitas sesar subduksi, tetapi sesar mendatar.
Aktivitas sesar mendatar Samalanga-Sipopok Fault yang jalur sesarnya berarah barat daya-timur laut, menurut dia, dampaknya bisa sama parahnya dengan sesar yang bergerak naik-turun karena cukup dangkal kedalamannya.
Meski demikian, aktivitas sesar mendatar di dalam laut tidak memicu tsunami. Berbeda dengan sesar yang bergerak naik-turun (subduksi).
"Mekanisme aktivitas sesar bisa mendatar atau naik-turun, lebih karena dipengaruhi kondisi setting tektonik yang usianya bisa ratusan hingga jutaan tahun," ujar dia.
Pada sesar ini, menurut dia, tercatat dua kali gempa berkekuatan 7 SR. Meski demikian, belum ditemukan catatan kerusakan yang ditimbulkan.
"Gempa ini jadi test case (uji kasus) juga untuk kesiapan early warning system (sistem peringatan dini) dan sistem manajemen bencana yang sudah ada. Apakah semua itu sudah berjalan baik?" ujar Widjo.
Dia menjelaskan, pada dasarnya bukan gempa yang "membunuh", tetapi reruntuhan bangunan yang menimbulkan korban. Jumlah korban gempa Aceh dapat ditekan jika peta detail mikrozonasi daerah vital, permukiman, dan daerah industri serta aturan standar bangunan tahan gempa dan mitigasi bencana dipatuhi.
"Dari sana standar bangunan tahan gempa harus ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jadi perlu ada audit soal manajemen dan mitigasi bencana ini, apakah semuanya sudah dijalankan sesuai hasil rekomendasi peneliti dan ahli," ujar dia.
Selain itu, Widjo juga menekankan pentingnya pembangunan kapasitas sumber daya manusia dalam mendukung penerapan sistem mitigasi bencana yang baik.
Advertisement
Darurat Bencana
Guna mempercepat pemulihan, Gubernur Aceh telah mengeluarkan status tanggap darurat bencana skala provinsi selama 14 hari, dari 7-20 Desember 2016.
Penetapan status darurat skala provinsi dikarenakan dampak gempa yang terjadi di tiga Kabupetan yaitu Pidie Jaya, Bireun, dan Pidie.
Sebanyak enam langkah dilakukan dalam masa tanggap darurat gempa Aceh. Pertama, pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya. Kedua, penentuan status keadaan darurat bencana.
Kemudian ketiga, penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana. Keempat, pemenuhan kebutuhan dasar. Kelima, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan keenam pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan sejumlah petinggi di Tanah Air juga sudah tiba di Aceh untuk melihat langsung dampak yang ditimbulkan gempa Aceh. Saat tiba di Banda Aceh, sekitar pukul 17.30 WIB, Jokowi langsung menjenguk korban gempa yang dirawat di Rumah Sakit Zainal Abidin, Kota Banda Aceh.
Â